CHAPTER 12

2.8K 531 13
                                    


Seolhee selalu bertanya-tanya, mengapa ia ditakdirkan lahir menjadi seorang perempuan? Makhluk lemah lembut yang sering kali menjadi korban pelecehan seksual. Pelecehan terhadap laki-laki mungkin pernah terjadi, tapi perempuan manakah yang memiliki pemikiran tidak tahu malu itu? Semua wanita menjunjung tinggi harga dirinya.

"K-kau apa tadi?" Jungkook tergagap, kepalanya terasa berat dan pusing setelah mendengar pernyataan jujur Seolhee.

"Tiga belas tahun. Pria tua itu mencoba meraba tubuh gadis berusia tiga belas tahun dengan tidak tahu malunya. Memanfaatkan keadaan lengahku yang sedang tertidur lelap karena lelah dengan bertumpuk tugas sekolah," ujar Seolhee kembali mengingat kejadian buruk dalam hidupnya. "Bukan sekali, tapi berkali-kali di luar kesadaranku."

"Berengsek!" umpat Jungkook terlihat marah sekali. Giginya bergemeletuk, tangannya terkepal kuat siap menghajar lawannya hingga mampus. "Kenapa kau tidak pernah bercerita, Seolhee!"

Seolhee tersenyum paksa, aneh sekali mendengar perkataan Jungkook yang begitu peduli padanya tapi tidak akan memberikan dampak apapun.

"Lalu apa yang bisa kau lakukan jika aku bercerita, Jung? Kau hanyalah orang luar yang masih berusia tiga belas tahun juga!"

"Setidaknya aku atau kau bisa melapor pada orang dewasa lain, Seolhee!"

Tawa renyah meluncur dari bibir gadis itu sebelum berucap sinis, "Orang dewasa? Mereka iblis, Jungkook! Mereka tidak akan pernah mendengar kesaksian gadis kecil tanpa bukti yang jelas. Ibuku bahkan menyalahkanku, bukan manusia menjijikan itu!"

"I-ibumu?"

"Ya. Wanita tua itu yang pertama kali mengetahuinya lewat bola matanya sendiri. Dan kau tahu apa yang dia katakan? Dia menyalahkanku, Jungkook! Menyalahkan pakaian yang kukenakan pada saat itu." Seolhee menggeram marah, setetes bulir air mata menetes setiap kali mengingat perkataan ibunya. "Dia menangis, sama sepertiku. Tapi terus menyalahkanku. Aku terus bertanya-tanya, apakah piyama tidur bergambar beruang bisa menggoda pria dewasa? Atau apakah tubuh tidak berisi gadis berusia tiga belas tahun begitu terlihat menarik? Wanita itu hanya melihat cinta butanya pada sang suami tanpa melihat penderitaan putrinya, Jung."

Pedofilia, gadis itu tidak pernah berpikir jika dirinya akan menjadi korban kelainan seksual pria itu. Seolhee begitu membenci ayah tirinya meskipun tidak pernah ditunjukkannya terang-terangan. Ia mengabaikannya, berpura-pura tidak pernah mengingat kejadian yang hampir merusak masa depannya. Semuanya hanya demi ibunya.

Kata cinta yang selalu dikatakan ibunya bak bom waktu yang melekat pada tubuhnya. Seolhee membencinya. Begitu benci setiap kali orang mengatas namakan cinta untuk menghalalkan segala perbuatan busuknya. Memang serendah apa cinta itu? Melebihi sampah, kah?

Seolhee mengusap kasar air matanya, napasnya tersendat-sendat.

"Tidak ada gunanya bercerita pada orang dewasa, Jung. Mereka hanya menganggapku makhluk bodoh yang suka membual agar mendapatkan perhatian."

Seolhee mengingat jelas semuanya. Saat tangan kotor itu berusaha menyentuh tubuh kecilnya dengan dalih merindukan putri kandungnya yang tinggal jauh dengan istri sebelumnya. Tapi manusia bodoh mana yang akan mempercayai alasan bodoh seperti itu? Rindu? Benarkah rindu seorang ayah dapat merelakan jika putri kandungnya diperlakukan menjijikan seperti itu juga?

"Seolhee..." lirih Jungkook. Pria itu ikut meneteskan air mata, perempuan di sampingnya pasti begitu banyak menahan beban kesakitannya.

"Saat itu aku hanya ingin mati, Jung. Tapi Tuhan tidak pernah mengizinkanku untuk pulang ke rumahnya dengan tanganku sendiri. Berapa banyak usaha yang kulakukan semuanya gagal begitu saja. Aku memang ditakdirkan untuk terluka, Jung."

"Tidak, Seol. Kau pantas untuk bahagia!" bantah keras Jungkook.

"Tidak ada kata bahagia dalam hidupku, Jung. Seharusnya aku bahkan sudah mati sedari dulu. Saat wanita itu mencoba menggugurkanku, atau saat wanita itu menghukumku dengan segala pukulannya." Seolhee meremas surainya kasar, begitu depresi dengan hidup yang dimilikinya. "Sial, kenapa aku belum mati juga, Jungkook! Semua usahaku untuk membantu wanita tua itu melenyapkan nyawaku berakhir sia-sia. Kenapa, Jung? Kenapa!"

"Karena kau pantas bahagia, Seolhee!" Jungkook menarik kuat lengan Seolhee. Memeluk tubuh bergetar gadis itu seolah memberikan ketenangan. "Tuhan tidak mengizinkanmu kembali tanpa senyum di bibirmu. Kau harus bahagia sebelum pergi meninggalkan dunia terkutuk ini, Seolhee."

Seolhee menangis kencang, meraung dan memukul tubuh sahabatnya dengan tangan lemahnya.

"Kapan, Jung? Kapan! Semuanya terlalu menyakitkan, Jungkook. Saat tidak ada yang menginginkanku, aku merasa seperti orang yang tersesat. Saat tidak ada yang mempercayai perkataanku, aku merasa sangat rendah. Lalu aku bertanya, untuk siapa aku dilahirkan? Tidak ada yang meminta kelahiranku, Jungkook."

"Maka terlahirlah untukku, Seolhee." Jungkook semakin merengkuh erat tubuh bergetar Seolhee. "Aku yang meminta pada Tuhan agar kau terlahir. Agar kau selalu menemaniku meski kita sama-sama hancur berantakan."

Setiap bayi terlahir atas sebuah doa. Mereka terlahir bukan sebagai hukuman, melainkan sebagai hadiah atas permintaan dan penantian panjang manusia. Entah di mana atau kapan keberadaan sang pendoa itu akan mengambil hadiahnya, mereka pasti akan hadir. Hanya bagaimana hadiah itu dapat bertahan menghadapi banyaknya rintangan badai, angin, dan segala hal yang berusaha merusaknya ketika menunggu pemiliknya menjemput.

Tiga puluh menit Seolhee membasahi seragam Jungkook dengan air matanya sebelum akhirnya melepaskan diri.

"Aku lapar," bisik Seolhee seraya menghapus sisa-sisa air matanya. "Kau bawa snack tadi, kan?"

Jungkook memaksakan senyumannya, lagi-lagi Seolhee bertindak seperti tidak terjadi apapun beberapa saat lalu. Sebenarnya, terbuat dari apa hati gadis itu?

"Kau mau makan di sini?" tanya Jungkook yang diangguki oleh Seolhee.

"Iya, memangnya kenapa? Nenek juga tidak akan marah jika melihatku makan beberapa cemilan. Nenek justru akan tersenyum lebar karena melihat cucunya makan dengan baik."

Jungkook menggeleng kecil lalu segera membuka tas besarnya. Mengeluarkan beberapa makanan ringan yang diberikan penggemarnya di sekolah tadi. Lalu secepat kilat juga Seolhee langsung membuka setiap bungkusan makanan, melahap isinya begitu nikmat.

"Pelan-pelan, Seolhee. Kau bisa tersedak."

"Kau bawa minum, kan?"

Jungkook mengangguk ringan.

"Ya sudah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Cah, buka mulutmu." Seolhee menyodorkan keripik kentang pada Jungkook, berniat menyuapinya agar sahabatnya itu berhenti berbicara.

Jungkook melirik sekilas wajah Seolhee. Masih dengan mata yang sedikit bengkak tapi Seolhee bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Tidak ingin memperburuk suasana Jungkook segera membuka lebar mulutnya, membiarkan keripik kentang di tangan Seolhee berpindah ke dalam mulutnya lalu segera mengunyahnya.

"Jungkook, ayo kita kencan!"

"Uhuk... uhuk..." Keripik kentang yang dikunyah Jungkook sukses kembali keluar begitu mendengar seruan Seolhee, pria itu tersedak hebat dan buru-buru meminum air yang ia bawa di dalam tasnya. "Seol, kau membuatku tersedak!"

"Apa? Memangnya aku melakukan apa sampai kau tersedak begitu?" tanya Seolhee seperti tidak merasa bersalah sedikit pun.

Jungkook mendesis pelan, kesal tiap kali Seolhee bersikap bak putri polos yang tidak melakukan kesalahan apapun.

"Cih, lupakan! Kau tadi bilang apa?"

"Ayo kita kencan," ulang Seolhee. "Akhir bulan, selesai ujian akhir. Bagaimana, kau mau?"

Jungkook berpikir sejenak. Akhir bulan, selepas keduanya melaksanakan ujian akhir sekolah. Waktu yang sangat pas, pikirnya.

"Kau mau kencan ke mana, memangnya?" tanya Jungkook.

"Festival musim semi. Pasti banyak bunga cantik."

"Oke! Call!"

[]

LILIUM✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang