Jam sekolah sudah berakhir sedari tadi, seharusnya Seolhee sudah dapat pulang ke rumah dan mengerjakan beberapa pekerjaannya. Tapi yang dilakukannya kali ini adalah menunggu seorang Jeon Jungkook. Memenuhi janjinya untuk ikut ke tempat indah yang Jungkook ceritakan.
Kelas Jungkook dan Seolhee memang berbeda, malah hampir tidak pernah satu kelas. Alasannya karena Seolhee masuk kelas unggulan, sementara Jungkook terlalu malas untuk belajar. Kerjaannya hanya bermain game komputer sampai pagi, belajar seperlunya saja seperti saat akan menghadapi ujian kenaikan kelas. Tidak mungkin akan menyusul Seolhee ke tingkat yang sama, terlalu jauh.
"Hey, sudah lama menungguku?"
Jungkook datang dengan senyum lebarnya, tidak merasa bersalah karena telah membuat seorang gadis menunggu di bawah sengatan terik matahari.
"Sangat lama sampai rasanya aku sudah seperti pangsit rebus yang di masak langsung di atas bara api," sahut Seolhee begitu juteknya.
"Ahaha maaf. Wali kelasku kembali memberikan pidato panjangnya."
Seolhee hanya menggelengkan kecil. Sudah hal biasa jika kelas Jungkook selalu menjadi bulan-bulanan ceramah para guru. Maklum, kelas Jungkook itu terkenal dengan kumpulan siswa pemalas. Well, meskipun begitu masih banyak gadis-gadis cantik yang mengidolakan Jungkook karena ketampanannya.
"Ya sudah, cepat! Katanya mau mengajakku ke tempat indah."
"Kau tidak mau makan dulu?" tanya Jungkook.
"Tidak."
"Aku yang traktir, bagaimana? Bukan snack dua ribuan kok."
Seolhee berpikir sejenak. Sebenarnya perutnya memang sedikit lapar, tapi kalau ia pergi makan dengan Jungkook maka akan semakin sore ia pulang nanti. Pekerjaan rumahnya masih menunggunya, harus diselesaikan sebelum kedua orang tuanya pulang bekerja.
"Snack yang tadi, masih?"
Jungkook mengernyit tapi segera menganggukkan kepalanya.
"Masih, kenapa?"
"Ya sudah. Tidak usah beli makanan lagi. Kita makan itu saja," ucap Seolhee lalu melangkah terlebih dahulu meninggalkan Jungkook. "Tunggu apa lagi? Ayo!"
Buru-buru Jungkook segera mengejar langkah kaki Seolhee. Berjalan beriringan menuju tempat indah yang dimaksudnya.
Keduanya tampak biasa saja, seperti tidak ada percakapan istimewa beberapa jam yang lalu, tepatnya pada jam istirahat di meja kantin sekolah tadi. Yang Seolhee tahu, baik dirinya maupun Jungkook hanyalah bersahabat. Sudah biasa saling menggoda sekedar berbicara melantur seperti tadi. Tidak akan membuat salah satunya menjadi tersipu malu atau merasa tersinggung sekalipun. Mereka belum benar-benar pernah membawa perasaan ke dalam hubungan persahabatannya.
"Seol... menurutmu, bagaimana kematian itu?"
Bagai dipaku paksa, kaki Seolhee sukses berhenti sempurna. Beralih menatap Jungkook dengan pandangan luar biasa bingung.
"Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?"
Jungkook hanya terkekeh kecil, merangkul bahu Seolhee untuk kembali melanjutkan perjalanan.
"Hanya bertanya. Kau 'kan pintar, pasti punya jawaban yang bagus."
Seolhee tidak tahu ada apa dengan sahabatnya itu. Tiba-tiba bertanya hal aneh yang cukup tabu untuk dipertanyakan, pastilah ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Kendati begitu Seolhee memilih untuk tidak bertanya lebih jauh, Jungkook mungkin juga sedang tidak ingin bercerita padanya.
"Well, kematian itu sudah pasti hal yang akan terjadi. Cepat atau lambat semua yang hidup pasti akan mengalaminya," ujar Seolhee mengeluarkan pendapatnya.
Jungkook mengangguk ringan, setuju atas apa yang dikatakan Seolhee.
"Kau pernah berpikir untuk mati lebih cepat? Maksudku seperti melawan takdir, mungkin?"
Seolhee justru tertawa kecil mendengar pertanyaan Jungkook, ingatannya seolah dipaksa kembali pada beberapa tahun silam, tepatnya saat gadis itu mengalami masa-masa sulit hingga tidak mengenal apa itu sebuah kehidupan.
"Pernah. Bahkan, mungkin terlampau sering sampai aku tidak bisa menghitungnya," jawabanya begitu lirih. "Semua orang pasti pernah memikirkannya walau hanya sekali, Jung."
"Lalu apa yang kau lakukan? Melupakannya atau-"
"Aku melakukannya," potong Seolhee cepat. "Semua hal buruk yang pernah kau pikirkan sudah pernah aku lakukan. Tapi sia-sia."
Bibir gadis itu seolah ditarik ke atas secara paksa, memberikan senyuman pahit tiap kali mengingat kegagalan usaha percobaan bunuh diri yang dilakukannya berulang kali.
"Aku melakukan banyak percobaan bunuh diri sampai rasanya sudah tidak memiliki semangat lagi untuk melakukannya. Semuanya gagal. Terkadang aku bahkan berpikir jika aku benar-benar seperti seekor kucing yang katanya memiliki sembilan nyawa. Tapi sepertinya aku memiliki lebih dari sembilan."
"K-kenapa... bisa gagal?" tanya Jungkook begitu enggan tapi teramat penasaran.
"Entahlah, aku juga tidak mengerti, Jung. Yang kutahu aku memang terlahir untuk hidup lebih lama. Tuhan belum mengizinkanku untuk menemuinya." Seolhee melirik sebentar wajah Jungkook dari samping sebelum melanjutkan ucapannya, "Terkadang kita memang tidak bisa melawan takdir, kan? Seperti... kau tidak memiliki hak apapun untuk menentukan kehidupan lalu sehebat apa dirimu hingga ingin mempercepat kematian?"
"Seol..., aku masih tidak mengerti. Maksudku, jika kau melakukan percobaan bunuh diri berulang kali, bagaimana bisa tidak ada satu pun yang berhasil? Setidaknya kau mungkin pernah mengunjungi apa itu rumah sakit. Terbaring kaku, menanti antara hidup dan mati."
Jungkook memang masih belum begitu mengerti, ia tahu betul seorang Park Seolhee itu. Gadis pemberani yang selalu bersungguh-sungguh dalam mengambil setiap keputusannya. Jungkook yakin Seolhee tidak akan segan-segan melukai dirinya sendiri hanya untuk mendapatkan keinginannya. Tapi ini, gagal. Bagaimana bisa?
"Dua usaha yang paling kuingat adalah kecelakaan dan melukai diri. Kau ingat sepeda tua nenek?" tanya Seolhee.
Sepeda tua? Ah, ya. Jungkook ingat. Kendaraan roda dua milik nenek Seolhee semasa hidupnya.
"Aku mengendarai sepeda nenek di jalan raya. Padahal aku baru saja belajar, hanya tahu cara bergerak lurus," ucap Seolhee setengah tertawa geli mengingat kebodohannya. "Lalu tiba-tiba ada sebuah truk besar dari arah depan. Kakiku terasa lemah tiap kali suara klason besar itu dibunyikan, yang kuingat aku hanya tinggal menunggu kematian, tapi coba tebak apa yang terjadi. Pegangan tanganku berbelok dengan sendirinya, seperti digerakkan oleh tangan tidak kasat mata."
Keajaiban, benarkah itu?
"Well, sebenarnya bukan hanya itu saja. Kau tahu 'kan aku ini ceroboh, Jung? Berulang kali hampir tertabrak kendaraan besar karena tidak lihat kiri dan kanan pada jalur penyeberangan, tapi coba tebak apa lagi keajaiban yang kuterima. Kendaraan itu berhenti tepat beberapa senti dari kakiku. Menurutmu bagaimana cara sebuah kendaraan yang dipacu dengan kecepatan tinggi berhenti tepat sebelum melukai kakiku? Benar-benar aneh!"
"Lalu melukai diri itu?" tanya Jungkook. Ia tahu keajaiban dalam sebuah kecelakaan itu sering kali terjadi, tapi jika melukai diri sendiri secara sengaja tentu memiliki akibat lain, bukan?
"Aku juga melakukan itu. Seingatku, pertama kali aku melukai diriku saat duduk dibangku dasar. Mungkin kelas tiga."
"Apa?! Bagaimana bisa kau memikirkan hal seperti itu diusiamu yang belum mencapai sepuluh tahun, Seolhee!"
Seolhee tersenyum masam, lalu menjawabnya begitu enggan, "Tayangan televisi. Tolong salahkan tayang tidak mendidik yang begitu cantiknya muncul di layar kaca itu lalu menggodaku untuk mengikutinya!"
[]
![](https://img.wattpad.com/cover/160325818-288-k357059.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
LILIUM✓
FanfictionJeon Jungkook itu hancur, tapi Park Seolhee jauh lebih hancur. Keduanya memiliki penyebab kehancuran yang sama tapi berbeda cara dalam menanggapinya. Satu hal yang keduanya tahu, mereka ditakdirkan untuk bersama. Started : 28 August 2018 Published ...