CHAPTER 13

3K 548 8
                                        


Jungkook sudah siap dengan mantel panjangnya, menunggu Seolhee keluar dari rumahnya. Udara masih sedikit terasa dingin, lebih baik menggunakan pakaian panjang agar tetap merasa hangat, pikirnya.

Hari ini ia akan pergi berkencan dengan Seolhee, persis seperti janji keduanya beberapa minggu yang lalu. Ujian akhir sekolah pun sudah dilakukan keduanya, tinggal menunggu hasilnya. Kalau Seolhee sih sudah yakin akan lulus dengan nilai tertinggi, berbeda dengan Jungkook yang masih harap-harap cemas menanti keajaiban akan nilainya.

"Sudah lama?" tanya Seolhee begitu keluar dari rumahnya. Gadis itu sedikit berdandan kali ini, sekedar memakai bedak tipis dan pewarna bibir. Setidaknya tidak akan membuat Jungkook mentertawakan penampilannya.

"Lumayan. Tapi tidak mengecewakan setelah melihatmu berdandan kali ini," jawab Jungkook disertai senyum kecilnya. "Ah, jadi kali ini kita benar-benar kencan, ya?"

Seolhee sedikit merasa malu, baru kali ini ia merasa tersipu. Padahal hanya akan pergi jalan-jalan dengan seorang Jeon Jungkook tapi rasanya mendebarkan sekali.

Tidak ingin semakin dibuat malu, Seolhee segera meraih jemari besar Jungkook. Menautkannya dengan miliknya.

"Ayo!"

Keduanya berjalan beriringan, melewati setapak demi setapak jalan panjang yang dipenuhi bunga-bunga merah muda yang berguguran. Langkah keduanya terasa lebih lambat, tidak ingin melewatkan setiap detik waktu berharga yang dimiliki keduanya.

Jungkook diam-diam terus melirik ke arah wajah Seolhee dari samping. Memerhatikan wajah cantik yang terpoles bedak tipis, tapi bukan itu yang menjadi pusat perhatiannya. Melainkan sebuah luka lebam di ujung bibir yang coba disembunyikan dengan alas bedak oleh Seolhee.

Kaki panjang Jungkook sukses berhenti melangkah, membuat Seolhee ikut berhenti dan memandang Jungkook dengan pandangan bertanya.

"Ada apa? Kenapa berhenti?"

"Pria sialan itu menyakitimu lagi?"

"Apa?"

"Atau wanita tidak punya hati itu yang melakukannya?"

"K-kau bicara apa, Jungkook. Aku tidak mengerti."

"Jangan berbohong, Seolhee!" Jungkook berteriak marah, lagi-lagi Seolhee berusaha menyembunyikan rasa sakitnya padanya. "Katakan dengan jujur atau aku akan kembali ke rumahmu dan menghabisi mereka dengan kedua tanganku sendiri!"

Berbohong pada Jungkook itu tindakan sia-sia. Kau harus memiliki kemampuan besar untuk mengelabuinya. Terkadang Seolhee bahkan berpikir jika Jungkook lebih cocok menjadi seorang psikolog daripada seorang gamer seperti yang pria itu impikan.

"Pria itu menamparku," jawab Seolhee jujur.

"Kenapa?"

"Aku berkata kasar padanya dan dia langsung menamparku dengan kencang di depan Ibuku." Seolhee kembali mengingat perkataan kasarnya yang ia lontarkan pada ayah tirinya beberapa saat lalu. "Padahal mereka sering sekali berbicara dengan bahasa bintang padaku, kenapa aku tidak boleh ya, Jung? Aku hanya mencoba mengikuti apa yang mereka ajarkan."

Satu hal yang pasti, orang tua Seolhee pasti telah bertindak kelewat batas hingga membuat putrinya berbicara kasar. Jungkook mengenal betul bagaimana sahabatnya itu, Seolhee tidak akan berbicara kasar jika tidak ada hal buruk yang memancingnya.

"Cih, jadi sekarang kau sudah menyerah? Sudah membuat keputusan untuk pergi bersamaku?"

"Belum. Aku belum mau menyerah, Jungkook. Setidaknya sampai mereka memutuskan untuk mengusirku."

Kembali lagi, Seolhee itu perempuan keras kepala.

"Sudah, ayo! Jangan khawatir, lukanya akan segera mengering," ucap Seolhee lalu segera kembali menarik jemari besar Jungkook untuk melanjutkan perjalanan keduanya.

Hari ini Seolhee hanya ingin menikmati waktu berharganya dengan sahabat sedari kecilnya, bukan mengingat perlakuan buruk kedua orang tuanya.

"Bunganya cantik ya, Jung?"

"Hmm."

Seolhee mendecak kecil.

"Ck, hanya itu?"

"Apa?"

"Hanya itu jawabanmu?"

"Lalu kau mau aku menjawab apalagi, Seolhee?"

"Kau merusak suasana, Jungkook!" sentak Seolhee lalu menghempaskan kasar jemari Jungkook, berakhir berjalan mendahului pria itu.

Sementara Jungkook hanya terkikik geli, Seolhee-nya sedang merajuk. Dengan cepat ia kembali menautkan jemari besarnya dengan milik Seolhee lagi. Memasukkannya ke dalam kantong mantel hangatnya.

"Iya, bunganya cantik. Tapi lebih cantik dirimu."

"Rayuan murahan."

"Setidaknya aku hanya merayu untukmu," jawab Jungkook disertai senyuman manisnya.

Dasar perayu ulung!

"Jika dilahirkan menjadi bunga, kau ingin jadi bunga apa?" tanya Jungkook pada Seolhee.

"Lili. Aku ingin jadi bunga lili," jawab Seolhee dengan yakin.

"Kenapa lili? Wanita biasanya menyukai bunga mawar, Seol. Karena selain cantik, bunga mawar memiliki arti mendalam. Bahkan durinya pun ikut memiliki arti."

"Memang kau pikir bunga lili tidak memiliki arti, begitu?" tanya Seolhee pelan. "Lili juga memiliki arti yang indah, Jungkook. Lili putih melambangkan kesucian, kemurnian, ketulusan, kemuliaan, pengabdian juga persahabatan. Aku ingin terlahir dalam kemurnian tanpa titik noda sedikit pun. Yang selalu dipandang tinggi bukan rendahan. Yang selalu ingin dilindungi bukan dibuang."

Jungkook membasahi bibir bawahnya sejenak, ia tahu maksud gadis itu yang ingin terlahir atas dasar keinginan kedua orang tuanya, bukan sebaliknya. Menjadi anak di luar pernikahan tanpa asal-usul yang jelas tentu bukan hal yang diinginkan siapa pun.

"Tapi lili putih juga melambangkan kematian, Seol. Maksudku, bunga itu sering digunakan pada pemakaman, kan? Meskipun sering digunakan dalam pernikahan juga."

Seolhee tersenyum tipis, mengingat kembali saat dirinya memberikan bunga lili pada peristirahatan terakhir neneknya.

"Aku justru senang jika bunga lili digunakan dalam pemakaman. Saat di pemakaman orang-orang akan menangis karena merasa kehilangan, kan? Setidaknya aku juga ingin mendapatkan hal itu untuk terakhir kalinya."

"Hah? Kau bicara apa sih, Seolhee. Tidak ada yang ingin melihat air mata kehilangan."

"Aku ingin!" sahut Seolhee cepat. "Air mata kehilangan itu pertanda jika mereka benar-benar menyayangi apa yang telah pergi. Tapi aku... aku mungkin tidak akan mendapatkan hal seperti itu, Jung. Mereka mungkin saja akan menangis tapi bukan air mata kehilangan. Melainkan air mata penyesalan," lanjutnya terdengar pilu.

Benar, kedua orang tuanya belum tentu menangisi apa yang seharusnya mereka buang sedari dulu. Sekalipun menangis, mereka mungkin hanya merasa menyesal karena telah memperlakukan Seolhee begitu buruk.

"Kalau aku mati... tolong tangisi aku ya, Jung!"

"Jangan gila! Kau tidak boleh mati, bodoh!" teriak Jungkook hingga beberapa orang di pinggir jalan melihat ke arah keduanya.

Tawa kecil meluncur dari bibir merah muda Seolhee. Mata berbinarnya menatap dalam pada manik hitam milik Jungkook.

"Kematian itu bukan hal yang harus ditakuti, kan? Tapi bukan berarti juga menjadi hal yang harus ditunggu-tunggu. Lebih baik menikmati waktu yang tersisa." Seolhee mengerjap beberapa kali, memberikan senyuman manisnya pada Jungkook sebelum kemudian kembali berbicara, "Tapi jika waktu itu datang menjemputku, tolong setidaknya menangislah untukku. Mungkin terdengar memaksa, tapi aku hanya ingin merasakan begitu dicintai hingga begitu sulit dilepaskan."

"Aku..." Jungkook terlihat begitu sulit melanjutkan perkataannya. Ada perasaan marah juga sedih yang teramat menyakitkan setiap kali melihat pancaran redup kehidupan di mata Seolhee. "Tidak akan pernah melepaskanmu, Seolhee."

[]

LILIUM✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang