Seolhee terpaku begitu sampai pada tempat indah yang Jungkook maksud. Bibirnya mengeluarkan napas pelan sebelum menyunggingkan senyuman masam.
"Kau bersemangat mengajakku pergi hanya untuk kemari?" tanya Seolhee dengan nada yang sedikit sinis.
"Ya, kau sudah lama tidak mengunjunginya, kan?"
"Jung, ini bukan tempat untuk bersenang-senang!"
"Memang bukan," jawab Jungkook begitu santainya. "Tapi ini tempat yang pas untuk melepaskan bebanmu. Tempat yang seharusnya kau kunjungi sejak terakhir kali kepergiannya. Nenek... juga pasti menunggu kunjunganmu."
Benar, sudah lama sekali rasanya Seolhee tidak pernah menginjakkan kakinya pada tanah pemakaman sang nenek. Mungkin terakhir kali saat ia ikut mengantar kepergiannya. Selebihnya tidak pernah lagi. Seolhee terlalu takut akan meruntuhkan pertahanan yang selama ini coba ia bangun.
"Kau pria sialan, Jung. Pertahananku benar-benar akan roboh," ujar Seolhee lalu melangkahkan kakinya memasuki area pemakaman. Begitu sepi, tapi menenangkan.
Jungkook mengikutinya dari arah belakang. Berharap perempuan di depannya dapat lebih terbuka di makam sang nenek. Bukan tanpa alasan Jungkook melakukannya, sudah beberapa minggu ini pria itu tidak melihat api semangat hidup seorang Park Seolhee. Kendati bibir manis itu selalu menyunggingkan senyuman lebar, Jungkook tahu, Seolhee ingin kembali mengakhiri hidupnya.
Langkah keduanya terhenti tepat di depan pohon besar yang begitu rindang. Di bawahnya terdapat gundukan makam nenek Seolhee yang sedikit terlihat tidak terawat. Tanpa banyak kata, Seolhee menjatuhkan dirinya tepat di samping batu nisan itu. Tangannya terkepal kuat, matanya berulang kali berkedip menahan bulir air mata yang mendesak ingin keluar.
"Maafkan aku, Nek."
Jungkook bisa melihat betapa rapuhnya gadis di depannya, tangan ringkih itu mulai mencabuti beberapa rumput liar yang tumbuh pada tempat peristirahatan terakhir sang nenek. Jungkook ikut duduk di samping Seolhee, membantunya membersihkan apa yang bisa ia gapai.
Hampir dua puluh menit setelahnya, yang dilakukan Seolhee hanyalah berdiam diri. Tidak berbicara sepatah kata pun, sementara Jungkook juga tidak berniat untuk menghentikan keheningan yang dibuat gadis itu. Membiarkan Seolhee mendapatkan waktu untuk menenangkan jiwanya.
"Apa yang ingin kau tanyakan?" ucap Seolhee setelah sekian lama berdiam diri.
Jungkook mengusap pelan tengkuknya, bertanya-tanya apakah ia boleh menanyakan hal yang tidak ingin gadis itu ceritakan. Tapi sudah terlanjur, ia sudah melangkah terlalu jauh.
"Kenapa kau... menyakiti dirimu. Lenganmu-" Jungkook melirik sekilas lengan putih Seolhee yang selalu ditutupinya dengan cardigan. "Kau melukainya lagi, kan?"
Sejujurnya pertanyaan itu sudah lama sekali ia pendam. Tapi tidak tahan juga akhirnya untuk menanyakannya. Waktu itu Jungkook tidak sengaja melihat beberapa garis pada lengan Seolhee, bekas sayatan benda tajam yang sepertinya sudah lama sekali tapi masih meninggalkan bekas lukanya.
"Sejak kapan kau mengetahuinya?" tanya balik Seolhee karena merasa selalu berhasil menyembunyikannya dengan pakaian panjang.
"Sudah lama. Mungkin dua atau tiga tahun lalu. Dan ya, selama itu aku hampir gila karena digerogoti rasa penasaran."
"Wow, kau cukup menahan diri juga ternyata, Jung." Seolhee akhirnya menggulung lengan cardigannya. Membiarkan Jungkook melihat lebih jelas garis-garis putih yang sudah lama bersarang. "Aku menyayatnya beberapa tahun lalu. Seingatku saat kita masih di awal semester kelas tujuh. Sebenarnya itu jelas bukan pertama kalinya, tapi menjadi kali pertama yang memberikan sensasi berbeda hingga membuatku melakukannya hingga berulang kali."
Awal tahun sekolah menengah pertama? Sudah sangat lama sekali, pikir Jungkook. Tapi apa yang menyebabkan sahabatnya begitu nekat?
"Kenapa... kenapa kau melakukannya, Seol? Karena dibully, kah?"
"Ahaha, jangan bercanda, Jung. Kau tahu 'kan, pembullyan itu sudah menjadi makanan sehari-hari untukku," ujar Seolhee sembari mengingat kenangan pahit yang selalu ia dapatkan. "Ingat saat mereka selalu mengejekku miskin karena tidak mampu membeli makanan di kantin sekolah, atau saat mereka merasa iri karena aku selalu menjadi siswi tersayang guru-guru. Semuanya berakhir dengan pembullyan, Jung."
Jungkook mengingatnya, sejak dibangku dasar pun teman-teman sekolahnya selalu mengejek Seolhee gadis miskin karena hampir tidak pernah mengunjungi kantin sekolah. Dan selama itu juga Jungkook selalu membagi makanan yang dimilikinya, meski terkadang Seolhee selalu menolak pemberiannya.
"Jadi kenapa?"
"Tentu saja karena orang tuaku, bodoh!" Seolhee tersenyum miris, lagi-lagi kedua manusia itu yang selalu memberikannya rasa sakit. "Kau ingat tidak, dulu kau pernah bertanya mana yang lebih baik, Ayah atau Ibu?"
Pertanyaan saat di kelas sembilan, Jungkook mengingatnya. Dulu ia bahkan terang-terangan lebih memilih Ibu daripada ayah karena pria paruh baya itu selalu memukuli sang ibu. Meski sekarang ia sedikit merasa menyesal, seharusnya ia tidak usah memilih sama sekali. Keduanya sama saja menurutnya.
"Ya, dan kau menjawab tidak tahu karena belum pernah merasakan kasih sayang seorang ayah," tutur Jungkook.
Seolhee mengangguk membenarkan.
"Ya, dan sampai sekarang pun aku belum tahu apa itu perasaan sayang dari seorang ayah. Sejujurnya ada perasaan benci pada pria yang disebut dengan panggilan ayah itu, Jung."
"Kenapa... apa karena kau tidak menyetujui pernikahan keduanya?"
Seolhee mengangguk kecil lalu segera menjawabnya, "Salah satunya, mungkin. Coba kau pikirkan, seorang anak mana yang membiarkan Ibunya menikah lagi dengan pria pengangguran dan suka main tangan? Jika saja bukan karena kata cinta yang selalu Ibuku umbar, mungkin aku tidak akan pernah menyetujuinya. Ah, tapi meskipun aku tidak menyetujuinya mereka tetap akan menikah, kan? Memang siapa aku sampai mereka membutuhkan izin dariku?"
Sepuluh tahun lalu wanita tua itu mengatakan pada Seolhee kecil akan segera menikah dengan pria yang dicintainya. Seorang pria berumur yang tidak memiliki pekerjaan dan suka memukul tanpa sebab. Hanya kata cinta yang selalu wanita tua itu umbar kepada Seolhee meskipun berulang kali gadis kecil itu menolak. Tapi perasaan gadis kecil begitu murni pada saat itu, merasa kebahagiaan ibunya berada di atas segala-galanya.
Tidak apa jika Seolhee tidak merasakan apa itu kebahagiaan, setidaknya ibunya harus merasakannya setelah mengalami banyak penderitaan yang disebabkan oleh dirinya.
"Jadi, ayahmu ken-"
"Dia melecehkanku, Jung. Pria tua itu berulang kali mencoba menyentuhku dengan tangan kotornya!"
[]

KAMU SEDANG MEMBACA
LILIUM✓
FanfictionJeon Jungkook itu hancur, tapi Park Seolhee jauh lebih hancur. Keduanya memiliki penyebab kehancuran yang sama tapi berbeda cara dalam menanggapinya. Satu hal yang keduanya tahu, mereka ditakdirkan untuk bersama. Started : 28 August 2018 Published ...