Senjani Sabiya Shazfa

1.3K 39 10
                                    


“ Ayaah, aku gamau kuliah disini , bosen di Jakarta terus, kan Senja bakalan jadi dokter yang hebat kalo kuliah di luar negeri. ” 

Sulit untuk aku menerima keputusan ayahku saat itu, aku tidak bisa menolak ataupun membantahnya , nanti dibilang anak durhaka kan bahaya. Mungkin sebenarnya, tujuan ayahnku tidak mengizinkan putri bungsunya  kuliah di luar negeri karena dia masih sangat khawatir, ayahku tahu bagaimana keseharian putrinya yang sangat manja , tidak bisa mencuci ataupun memasak,memasak telur pun sampai gosong, parah kan aku ini haha. Tapi yang paling penting,ayahku takut jika aku disana bisa terjun ke dalam pergaulan bebas, dan jika disini aku masih bisa dipantau oleh ayahku itu.

Aku baru saja lulus dari salah satu SMA Swasta di Bandung dengan nilai yang Alhamdulillah memuaskan. Dalam anganku jelas terukir berbagai kegiatan dan cita-cita yang telah aku idamkan. Memasuki salah satu perguruan tinggi di luar negeri impianku sejak dulu.

Tetapi angan tetaplah angan. Dan impian tak selamanya dapat tercapai. Rupanya ayahku sudah mempunyai rencana tersendiri untuk masa depan putri bungsunya itu , ya siapa lagi kalo bukan aku.

“ Beneran Senja ngga dizinin nih ?” aku memasang nada memelas, dengan harap ayah bisa mengubah keputusannya,tapi ngga mungkin juga, keputusan ayah sulit untuk dibantah.

“ Kirim aja yah, jangan ditanggepin wajah melasnya si jani, palingan cuma akting.”

“Ahhh kak diem!!!”

Satu bantal sofa melayang ke arah kak Radit, kakak lelaki satu-satunya yang aku miliki ,kakak yang menyebalkan sekaligus tersayang, aku mengakui kalo ngga ada kak Radit pasti rumah ini jadi sepi.

“ Udah udah, keputusan ayah ngga bisa di ubah Senja, kan di Indonesia juga enak, cowo-cowo di indonesia ngga kalah ganteng ko sama di luar negri,” sahut bunda.

“ Tuh dengerin Jani, atau mungkin kamu mau sekalian nyari cowo disana buat memperbaiki keturunan? Wah parah dasar haha,”  tangannya menepuk paha sembari tertawa  yang berhasil membuat aku tambah kesal dengannya.

“ Seraah kakak, dasar nyebelin,” Ku lipat kedua tanganku dan membuang muka dari tatapan kak Radit.

“ Haha si Jani ngambek,” dia menjulurkan lidahnya kepadaku.

Lihat betapa manisnya kakakku ini, eh bukan lebih tepatnya manis yang tercampur dengan asem. 

“Udah de mending kamu beliin kakak mie ayam, tenang nanti kakak coba ngebujuk ayah ,”ucapnya sambil mengambil uang dua lembar lima ribu.

“Beneran nih kak?” aku melihat wajah kak Radit dengan intens mencari tanda-tanda kebohongan tapi ka Radit mah mau bohong atau ngga mukanya tetap sama.

“Yaudah kalo kamu nggak mau, kakak ngga maksa,” kak Radit hendak berlalu, tapi tanganku cepat-cepat meraih tangannya.

“Iya iya deh sini uangnya.”

<<<<<<>>>>>>

Aku menyelusuri jalan yang sepi  , ah gara-gara kak Radit aku harus jadi seperti ini.

“Woyy woy liat tuh..” ujar salah satu laki-laki yang ada ditepi jalan.

Dua orang laki-laki berjalan menuju temannya yang sedang mengotak-ngatik handphonenya tanpa memperdulikan sekitar.

“Van, kok masih disitu buruan sini” teriak temannya.

“Oh namanya Van,” batinku.

“Lakukan apa yang kalian mau Haikal, Naufal. Gue lagi nggak mood nih ikut dengan permainan kalian. Gue tunggu disini aja main game,” jawabnya yang masih tetap masih setia ditempatnya, sepertinya dia tidak mau melewatkan keseruan ini bersama teman-temannya tapi terlihat dari wajahnya moodnya sedang kacau.

Senja dan Hujan [Tahap REVISI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang