BACA DARI AWAL KARENA BANYAK YANG BERUBAH!!!
Karna emosi, aku tak sadar akan siapa saja di sekelilingku. Mama dan papaku sedang bersantai dan menonton televisi di ruang keluarga, tapi aku yang baru datang dari luar setelah bertengkar dengan Alex tadi, tak sengaja melampiaskan emosiku dengan membanting pintu rumahku keras.
Kontan saja, papa langsung keluar untuk melihat siapa yang membanting pintu sekeras itu. "Ya ampun, kamu itu, An?! Nutup pintu kok pakai dibanting, kita sampai kaget tadi di dalam,"tegur papaku dengan tatapan papaku yang khas. Rasanya seperti baru kena marah dosen killer.
"Oh... nggak sengaja, pa. Tadi mungkin karena terburu-buru." Masih dengan tatapan mata yang serius itu, papa berbalik hendak kembali menonton televisi bersama mama.
Tapi kemudian aku berpikir kalau lebih baik aku memberitahukan mereka tentang pernikahanku, sebelum mereka mendengarnya dari ortunya Alex dan ujung-ujungnya malah aku nantinya yang kena marah.
"Pa, jangan masuk dulu. Tolong panggil mama juga, soalnya ada yang mau aku bicarakan."
Sepertinya aku tak bisa menyembunyikan kegelisahanku, karena papa langsung menyipitkan matanya dan mengamati bahasa tubuhku. Itu adalah kebiasaan papa kalau ada yang sedang dicurigainya. "Masalah apa? Penting?!"tanyanya lagi masih dengan raut wajah waspada.
Aku mengangguk sekilas dan melihat itu, papa langsung memanggil mama untuk berkumpul di ruang makan. Di rumah kami, sudah menjadi kebiasaan jika ada yang harus didiskusikan, kami melakukannya di ruang makan. Mungkin karna kami mempunyai meja makan yang besar, jadi lebih nyaman untuk membicarakan masalah keluarga di sana.
"Hmmm... ini sebenarnya mendadak soalnya keputusannya juga baru tadi diambil. Gini pa ma... ehem... Anna sudah memutuskan untuk menikah." Aku tau kata-kataku terdengar aneh. Tapi mau bagaimana lagi. Harusnya Alex yang datang ke rumah ini dan melakukan ini. Dengan itu, kata-katanya bisa seperti 'pa ma kami sudah memutuskan untuk menikah'. Tapi masalahnya kan memang aku sendirian yang memutuskan semua ini. Lagian, Alex memang bukan pacarku dan orang tuaku tau itu. Makanya aku memilih pembukaan yang tak membawa nama Alex dulu, supaya mereka bisa mencerna tentang kabar pernikahanku dulu.
Mama mengerutkan keningnya bingung. "Menikah? Dengan siapa? Kok bisa? Pacaran aja kamu belum pernah kok."
Inilah yang membuat segalanya ruwet. Mereka tahu persis aku tak pernah pacaran.
"Ya... memang sih aku nggak pernah pacaran. Tapi... menurutku lebih baik menikah dengan sahabat yang sudah tau tentang aku luar dalam, daripada cowok yang kemungkinan besar tak tahu apa-apa tentangku."
Papa tak tahan dan langsung nyeletuk. "Sahabat yang kau maksud itu siapa? Alex? Selain Alex... papa nggak kenal ada cowok lain yang pernah jadi temanmu."
"Iya Alex. Dia yang akan menikahiku."
"Lho kok bisa? Bukannya dia baru beberapa hari yang lalu main ke rumah, ngenalin pacarnya ke mama." Kini giliran mamaku yang menanyaiku. Ah... sudah kuduga ini nggak akan mudah.
"Mmm... mereka baru saja putus. Lagipula, Alex sudah setuju kok ma dengan pernikahan ini,"jawabku membohongi mereka.
"Aneh. Yakin kamu meneruskan pernikahan seperti ini. Kok sepertinya asal-asalan saja. Gini aja deh... suruh aja Alex datang ke rumah, biar mama papa bicara dulu sama dia. Kalau nggak, ya papa sama mama mana mungkin bisa setuju dengan rencana pernikahan aneh ini."
Kata-kata papa barusan, langsung membuatku lesu. Inilah ganjaran karena berbohong. Entah bagaimana nanti aku membujuk Alex untuk datang dan menemui orang tuaku? Setelah pertengkaran kami tadi, aku ragu dia mau datang. Walaupun dia jadi datang, kecil kemungkinannya dia akan membantuku bicara pada mama dan papaku. Yang ada malah dia akan mengadukan semua yang sebenarnya terjadi.
***
Restoran Alex terlihat penuh dengan pengunjung untuk makan siang. Aku menyempatkan datang setelah mengajar. Untunglah, hari itu hari Jumat, jadi kami pulang bekerja jam sebelas dari sekolah tempatku mengajar.
Seperti dugaanku, muka Alex terlihat masam saat aku mengunjungi kantornya di lantai atas. Dia menolak melihatku dan hanya berkutat dengan kerjaannya. Bocah menyebalkan ini bahkan sengaja memarahi sekertarisnya di depanku untuk membuatku tak nyaman.
"Lex... kalau kamu ngacangin kamu terus, aku akan mengumumkan di bawah pada semua karyawanmu dan tamu-tamu yang sedang makan siang kalau kita sebentar lagi akan menikah. Aku jamin akan terjadi keributan yang terjadi dalam waktu singkat, mengingat banyak karyawan dan tamu cewek yang ngefans sama kamu. Selamat diprotes sama cewek-cewek itu seharian dan membereskan semua akibatnya kalau itu terjadi,"ancamku kemudian, saat aku menghabiskan waktu setengah jam untuk berbicara dengannya, tapi malah dicuekin.
"Apa sih maumu?! Nggak cukup pertengkaran kita kemarin?" Akhirnya Alex membuka mulutnya.
"Papa mamaku menyuruhmu datang ke rumah untuk membicarakan pernikahan kita. Tolong kamu jangan bicara yang aneh-aneh. Cukup bilang kalau kau juga setuju dengan pernikahan ini."
Alex tertawa terpingkal-pingkal. "Kapok! Karma kamu. Nggak nyangka kan kamu kalau halangan yang terbesar justru datang dari keluargamu sendiri. Bilang aja aku nggak mau. Ngapain juga aku dukung kamu dihadapan orang tuamu!"
"Ayolah, lex... tolong aku sekali ini saja. Lagian pernikahan ini suka atau nggak, kamu kan juga harus melakukannya. Oke gini deh... kamu minta apa... ntar aku kasih. Tapi janji harus bagus kamu nanti di depan mama papaku."
"Lagakmu uda kayak gangster aja. Abis maksa trus ngiming-ngimingi hadiah."
"Please... lex... gawat kalau kamu sampai nggak datang."
Alex menumpuk dokumen yang diperiksanya tadi dan meminggirkannya ke samping. "Aku nggak mau hadiah. Aku lebih suka kalau kau membuat perjanjian denganku."
Perasaanku mulai nggak enak mendengar kata 'perjanjian' dari mulut Alex. Kelihatannya, perjanjian ini akan memberatkanku. Tapi mau gimana lagi. Waktunya sudah mepet dan aku butuh persetujuan dari orang tuaku.
"Oke terserahlah. Perjanjian apa sih?"
"Perjanjian bahwa kita akan menikah tapi takkan hidup sebagai suami istri. Kita boleh tinggal serumah, tapi tidak akan berhubungan suami istri sama sekali. Aku dan kamu akan tinggal di kamar berbeda. Kamu tak boleh mencampuri urusanku dan begitu juga sebaliknya. Bagaimana?!" Senyum menyeringai muncul di wajah Alex saat melihatku terkejut.
"Lha terus... ngapain nikah kalau gitu. Nggak ada bedanya kayak teman satu kos kalau gitu!"protesku kesal. Benar dugaanku. Perjanjian ini konyol dan sengaja membuatku terperangkap.
"Ya uda... terserah. Aku sudah memberimu kesempatan."
Aku berpikir ulang dan mulai melakukan negoisasi. "Sampai kapan emangnya kita akan hidup seperti itu? Nggak mungkin sampai selamanya kan?!"
"Hmmm... selamanya juga nggak mungkin. Gini aja... gimana kalau sampai lima tahun aja kadaluarsanya. Setelah lima tahun, kita bicarakan lagi pernikahan ini ke depannya akan bagaimana. Dibuat seperti pernikahan pada umumnya atau malah bercerai."
Aku terdiam sejenak. Aku sadar bahwa tak mudah bagi Alex untuk menjadi suamiku seutuhnya tiba-tiba, apalagi karena dia tak ada perasaan sama sekali denganku. Mungkin saja dengan hidup bersama selama lima tahun nanti, perasaan Alex berubah dan pernikahan ini bisa dipertahankan sampai akhir.
"Oke... tapi sungguhan hanya sampai lima tahun saja ya. Nggak boleh lebih dari itu."
"Jangan kuatir. Kita buat aja perjanjian di atas kertas. Sebentar biar aku ketik dulu sebentar."
Dengan bersemangat, Alex mengetikkan surat perjanjiannya yang sesuai dengan apa yang dikataknnya tadi. Setelah selesai, dia mencetaknya menjadi dua bagian dan menyuruhku untuk langsung menanda tangani surat itu.
Meskipun agak nggak rela, tapi aku terpaksa menanda tangani perjanjian itu. Setiap gesekan dari tanda tanganku, setiap itulah senyum kebahagiaan Alex semakin mengembang.
"Oke terima kasih. Sekarang pulanglah. Nanti sore pulang kerja, aku langsung datang ke rumahmu."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
PERNIKAHAN PARO WAKTU
RomancePengalaman cinta terpahit adalah jatuh cinta pada seseorang yang menyimpan cinta untuk orang lain di hatinya. Anna Karenina mencoba peruntungannya dengan menikahi Alex Tjandra, walaupun dia tahu secuil pun tak pernah ada perasaan di hati sahabatnya...