13. PEREMPUAN MURAHAN

55K 1.1K 142
                                    

Setelah kejadian di rumah Alex, hari-hariku benar-benar diliputi kegelisahan. Antara mempercayai Erna atau perkataan mamanya Alex. Di hari yang ke lima, penasaran dan kegelisahanku semakin memuncak. Dengan tak sabaran, Aku langsung membuka amplop coklat itu dan membaca alamat Erna yang tertera di dalamnya. Sambil dengan kondisi hati yang tak karuan, aku menyetir sepeda motorku ke alamat tempat kos Erna.

Setelah kurang lebih sejam mencari, akhirnya sampailah aku ke tempat yang kutuju. Tempat kos Erna tampak kecil dan kumuh. Benar-benar jauh beda dengan rumah mewah yang ditinggalinya dulu.

Sebenarnya, aku sedikit ragu-ragu untuk mengetuk pintu kamar kos itu. Aku takut kalau ternyata tuduhan mama Alex itu salah. Tapi karna sudah terlanjur datang, tanganku pun bergerak dan mengetuk pintu tersebut berkali-kali sambil memanggil nama Erna. Lama sampai akhirnya pintu terbuka dan wajah Erna muncul dari balik pintu. Dengan kikuk, aku pun tersenyum dan menyapanya.

"Anna?! Darimana kamu tau tempat kos ku?" sapa Erna yang terlihat seperti orang yang baru bangun tidur.

"Boleh aku masuk?" tanyaku tak menghiraukan pertanyaan Erna.

"Tapi..."

"Sebentar saja," seruku sambil langsung menyerobot masuk ke dalam.

Di dalam keadaannya benar-benar berantakan. Di mana-mana terlihat tumpukan baju, sepatu, dan tas berserakan. Aku melihat ke sekeliling ruangan. Aneh sekali, pikirku. Semua baju, tas, dan sepatu yang dimiliki Erna terlihat mahal-mahal, tapi di dalam rumahnya hanya sedikit saja perabot yang tersedia. Isinya cuma kasur lipat, cermin, kipas, tv, dan beberapa alat masak.

"Maaf An, rumahku berantakan. Silahkan duduk."

"Aku datang kesini sebenarnya karna ada yang mau aku tanyakan," seruku sambil duduk di kursi kayu kecil di pojok kamar kos Erna.

"Soal apa?" Kening Erna terlihat berkerut penuh dengan tanda tanya.

"Bisakah kau jelaskan soal ini," tanyaku sambil menyodorkan foto-foto tersebut padanya. Tak sedikitpun aku berniat untuk berbasa-basi dahulu.

"Ini apa? Oh... foto apaan ini? Aku nggak ngerti kok bisa ada foto-foto kayak gini?!" Erna melemparkan amplop berisi foto-foto itu ke atas meja dan menatapku dengan raut wajah bingung. "Siapa sih yang beraninya mengedit mukaku dan membuatnya seakan-akan akulah wanita di dalam foto itu. Lagipula ini foto-foto yang sedang gituan. Mana mungkin aku yang ada dalam foto itu, sedangkan cuma Alex saja satu-satunya cowok yang pernah aku kenal! Kau tahu sendiri gimana hati-hatinya aku kalau menyangkut soal cowok," jawabnya dengan raut muka yang tiba-tiba memucat.

"Jadi, kau berkata kalau ini bukan foto-foto kamu?" Erna mengangguk cepat-cepat.

"Lalu bagaimana bisa wajah wanita di foto ini benar-benar mirip kamu?"

"Ya nggak tau. Rekayasa komputer mungkin."

"Baiklah. Aku percaya. Kalo kamu bilang ini bukan kamu berarti ini memang bukan kamu." Walaupun begitu aku tetap mempelajari mimik mukanya.

"Ya iyalah An... Aku kan bukan perempuan gampangan!" tegasnya sambil melotot ke arahku. Mungkin dia tersinggung, pikirku. Saat itulah, aku sadar aku tak boleh terlalu mencurigai Erna. Kasihan kalau sampai dia tau sahabatnya sendiri sempat mencurigainya sebagai wanita malam.

"Baik. Maafkan aku kalo membuatmu tersinggung. Ya sudah kalo gitu aku pulang dulu." Aku memang tak bisa lama-lama di tempat Erna. Pertama, karna kita sudah terlalu lama berpisah, jadi saat bertemu lagi, semuanya terasa canggung. Tidak mengalir seperti dahulu. Kedua, sedari tadi Erna terlihat tidak nyaman saat berbicara denganku. Terlihat sekali dia tak terlalu suka dengan kedatanganku. Ya... kemungkinan besar karena pertanyaanku yang lancang tadi.

Belum sempat aku berbalik ingin berpamitan sekali lagi, Erna langsung menutup pintunya cepat-cepat.

Memang terlihat ada beberapa kejanggalan, tapi ini Erna sahabatku. Dia tidak pernah berbohong padaku sebelumnya. Oleh karena itu aku membuang kecurigaanku jauh-jauh dan memilih mempercayai dia.

Sesampainya aku di tempat motorku di parkirkan, tiba-tiba ponselku berdering. Nama Alex lah yang muncul di layar.

"Ada apa, lex?" tanyaku agak nggak nyaman. Aku tau soalnya kenapa bocah ini menelpon.

"Ini lho... aku cuma mau nyampein kalo besok kamu di suruh mama papa datang. Tahu lahh... mereka soalnya masih ingin mendengarkan jawabanmu. Dan yaaa... kamu akan jawab tidak, kan?"

"Nggak usah kuatir... dari awal aku memang tidak pernah berniat menerima tawaran itu. Aku sudah bilang kan waktu itu. Hanya saja, om dan tante masih belum terima kayaknya.

"Nah... itulah. Aku juga bilang gitu! Nggak tau tuh... mereka berdua kayaknya bersemangat banget menjodohkan kita! Ya udah deh... pokoknya aku uda tau jawabanmu, jadi aku lumayan lega. Moga-moga aja besok papa mama mau nerima juga. Aku tunggu besok ya, An. Jangan terlambat!"

Setelah menutup telpon, aku tiba-tiba sadar kalau amplop coklat tadi tidak ada di tasku. Amplop tadi tertinggal di meja dan aku kelupaan membawanya gara-gara buru-buru keluar dari kamar Erna tadi, pikirku. Kakiku segera berjalan kembali menuju tempat kos Erna. Sesampainya di sana aku melihat pintu kamarnya terbuka dan tidak ada siapa-siapa di dalamnya.

"Lagi mandi mbak, orangnya. Itu kamar mandinya di ujung sana," seru tetangga Erna yang melihat aku kebingungan.

"Nggak apa-apa bu, saya tunggu di sini saja."

Benar dugaanku amplop coklat tersebut masih tergeletak di meja. Aku langsung mengambil dan memasukkannya ke tas. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Aku menoleh dan melihat seorang laki-laki bertubuh besar sedang berdiri di depan pintu.

"Ernanya ada ya mbak?"

"Oh Ernanya lagi mandi. Silahkan tunggu di luar sebentar. Mungkin beberapa menit lagi selesai," Orang itu sebenarnya berusaha masuk dan menunggu di dalam tadi. Tapi aku langsung keluar menemuinya dan menutup pintu, supaya pria itu tak bisa masuk. Aneh aja membiarkan cowok masuk kamar cewek. Tentunya, aku ikut juga duduk di bangku di depan kamar kos Erna, supaya orang itu tak tersinggung.

Sebenarnya, aku merasa jengah duduk berdekatan begini dengan pria asing. Apalagi orang ini dari tadi melihatku dengan tatapan aneh. Ingin rasanya aku segera pergi tapi mana mungkin aku meninggalkan orang asing ini di kamar Erna. Bagaimana kalau dia berniat jahat?!

"Temennya Erna ya mbak?" aku mengangguk sambil pandanganku tetap mengarah ke sepeda motorku yang aku parkirkan dekat gerbang masuk.

"Kerja di bar juga? Bar mana?"

Aku yang terkejut mendengar pertanyaan itu, kontan langsung menoleh dan bertanya balik memastikan, "Bar? Maksudnya?"

"Oh... bukan to. Saya kira sama seperti Erna kerjanya di bar."

Mataku membelalak, terkejut dengan perkataan pria asing di sampingku. "Erna kerja di bar??? Ya ampun!"

"Lha kok balik tanya? Situ kan temannya, kok nggak tau? Wong kerjanya uda lama kok, hampir tiga tahun, jadi nggak mungkin lah kalau temannya sendiri nggak tau."

"Kerja apa dia di bar? Bartender?" Aku berharap tebakanku benar. Tentunya tak ada yang salah kan kalau cuma membuat minuman saja kerjanya.

"Ya nggak lah. Sekarang kan bartender harus ada sekolahnya. Erna kan SMA aja nggak tamat. Kalau level kayak Erna ya biasanya jadi wanita penghibur mbak."

Aku langsung merinding mendengar jawaban itu. Ekspresi pria itu tampak serius dan tak terlihat kalau dia berbohong. Namun, aku masih tak bisa percaya... Erna yang aku kenal pandai, cantik, dan sangat polos, bisa-bisanya terjun ke dunia pekerjaan terlarang seperti ini.

***

PERNIKAHAN PARO WAKTU  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang