CHAPTER 24

6.7K 515 58
                                    

ANNA'S POINT OF VIEW

Aku berusaha menenangkan debaran kencang di dadaku, akibat informasi yang mengagetkan yang barusan saja kudengar. Seumur-umur aku tidak pernah bermimpi akan menerima warisan dari siapapun. Apalagi jika warisan itu milik Alex.

Bayangkan saja kalau Alex tau. Aku bisa pastikan pasti dia kembali salah paham dan membenciku. Bisa-bisa malah ini bisa menghancurkan hubungan kami selamanya. Lebih baik aku menghadapi Erna daripada harus kehilangan Alex selamanya.

"Ehem... sebenarnya sih... ide papa-mama ini bagus. Mungkin saja dengan memindahkan warisan kalian ke tanganku bisa mengusir Erna dari hidup kami selamanya. Tapi... hal ini juga bisa membuat Alex salah paham. Papa tau sendiri kalau Alex sampai tahu, dia pasti menganggap aku benar-benar ingin menguasai hartanya saja, sama seperti yang di pikirkannya sebelumnya tentang aku. Kalau itu sampai terjadi, bukannya itu malah bisa merusak hubungan kami nantinya?"

"Kalau soal itu, nanti bisa di atur. Papa bisa jelasin sama Alex nanti. Pokoknya yang penting kita menjauhkan nenek sihir itu dari Alex secepatnya," seru papa sambil mengeluarkan hpnya dari kantong

Wah, jangan-jangan papa benaran menelepon pengacaranya sekarang untuk membuat pemindahan surat wasiat itu! Aku harus membujuknya dulu sebelum terlanjur masalah ini jadi tambah rumit.

"Aku ngerti pa, tapi ini tidak bisa di putuskan dengan cara terburu-buru seperti ini. Bagaimana kalau papa beri Anna waktu dulu sebulan untuk berpikir. Nanti setelah itu baru di bicarakan sekali lagi." Dengan segenap hati aku berharap bujukan ku ini berhasil

"Aku rasa Anna benar, pa. Kalau didesak jawab sekarang takutnya nanti menyesal. Apalagi mama juga lihat kalau Alex banyak berubah. Kita lihat dulu saja dalam waktu sebulan ini. Toh kalau mau dipindahkan, nunggu sebulan lagi juga nggak akan berpengaruh apa-apa." Mama pun akhirnya ikut-ikutan membujuk papa. Mungkin mama melihat raut mukaku yang kelihatan panik, jadi akhirnya ikutan membujuk papa.

"Ya sudah. Kamu boleh pikir-pikir dulu. Tapi tidak dalam waktu sebulan. Papa nggak suka masalah ini di biarkan terlalu lama. Jadi papa kasih kamu seminggu saja untuk berpikir!" seru papa dengan nada tegas

"Tapi pa... mana mungkin masalah sepenting ini di pikirkan dalam seminggu?"

"Pokoknya pikirkan dalam waktu seminggu! Papa kenal betul watak keluarga Erna dari dulu. Detik kita lengah dan berpikir semua baik-baik saja, dia akan mulai rencana busuknya dan mulai menghancurkan kita di saat-saat yang tidak kita sadari!"

Takut papa semakin emosi, terpaksa aku mengangguk setuju. Walaupun aku tahu seminggu berpikir keras sekali pun, keputusanku tetap menolak warisan itu.

"Oke... kalau gitu sekarang waktunya memberikan kado buat mamanya Anna, pa!" Dengan senyumnya yang menenangkan mama mertuaku mengeluarkan beberapa bingkisan dari dalam goodie bag yang di bawanya.

"Aduh ma... nggak usah repot-repot. Kami sudah siapin kok hadiah buat mama."

"Lho itu kan hadiah dari kalian. Ini khusus dari mama dan papa. Lagian nggak repot kok. Ini semua mama ambil dari butik mama. Sampaikan sama mamamu ya salam dari kami. Maunya sih kami ikut ngerayain tapi papa sudah ada janji makan malam dengan klien. Mungkin besok lusa baru bisa kesana."

"Iya ma makasih banyak ya ma."

.

Sejak kedatangan papa dan mama mertua yang membahas tentang warisan tersebut, hatiku jadi tidak karuan. Aku sebenarnya sudah membulatkan hatiku untuk tidak menerima warisan itu, tapi aku bingung bagaimana menyampaikannya ke mereka. Aku terjepit antara menjaga perasaan Alex dan menjaga perasaan mertuaku.

Hal itu pun berlanjut sampai kami dalam perjalanan ke rumah orang tuaku. Di dalam mobil aku sama sekali tidak menyimak celotehan Alex. Aku hanya sesekali mengangguk dan tersenyum. Untunglah suamiku tidak menyadari ketidak fokusanku. Dia terus saja bercerita tiada habisnya.

PERNIKAHAN PARO WAKTU  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang