Ohhh... jika saja waktu bisa kuputar kembali. Aku pasti tak akan membiarkan dia pergi kemarin. Aku pasti-
"Ini Non kamarnya," seru Pak Tino membuyarkan lamunanku.
Walaupun rasa takut mulai menguasai diriku dan membuatku ingin kabur saja, tapi aku menguatkan diriku dan membuka pintu kamar rumah sakit itu perlahan.
Sesampainya di dalam, aku langsung di peluk mama Alex yang tampaknya sedari tadi terus-terusan menangis.
"Syukurlah kamu datang, An. Dari tadi Alex nyariin kamu terus."
Perkataan mama Alex hanya sayup-sayup terdengar olehku. Perhatiaanku terfokus pada cowok yang sedang terbaring dengan perban di kepala dan tangan kirinya saat itu. Dia tampak sangat lemah dan kesakitan.
"Gi...mmana keadaan Alex, tante?"tanyaku sambil masih tak berkedip memandangi Alex.
Mama Alex terlihat makin sedih dan bolak balik menyeka air matanya dengan sapu tangan.
"Kata dokter sih kepalanya nggak terlalu parah lukanya. Dalam waktu kurang lebih dua minggu, pasti sembuh. Tapi tangannya..."
"Tangannya kenapa tante?" tanyaku cepat-cepat.
"Tangan kirinya cedera cukup parah sehingga kemungkinan besar selamanya nggak akan bisa berfungsi senormal dulu."
"Ha? Maksudnya nggak normal? Lumpuh maksud tante?" Mendengar pertanyaanku, tangis mama Alex semakin menjadi. Melihatnya seperti itu, ketakutanku semakin bertambah.
"Heiii... aku belum mati. Nggak usah pakai nangis segala lah kalian!"
Tangis mama Alex terhenti seketika saat mendengar suara Alex. Dengan langkah seribu aku langsung menghampiri ranjang temanku itu.
"Ngapain kamu datang? Aku cuma kecelakaan biasa doang, dan untuk menjawab pertanyaanmu yang tadi, tanganku nggak lumpuh. Masih bisa berfungsi kok. Memang sih nggak bisa seperti dulu lagi, tapi ya... nggak parah-parah banget kok," serunya enteng.
"Nggak bisa seperti dulu lagi? Maksudnya?"
"Ah masalah sepele kok. Kata dokter tanganku yang sebelah kiri nggak bisa di gerakkan seleluasa dulu lagi. Jika cuaca dingin kemungkinan besar akan terasa sedikit nyeri. Truss... nggak bisa di gunakan ngangkat yang berat-berat. Ehm... apa lagi yah? Oh ya... gitar. Dokter bilang kemungkinan besar aku nggak bisa bermain gitar lagi selamanya. Cuma itu doang."
"Cuma itu doang?! Ini bukan masalah sepele, lex! Kok kamu bisa setenang ini sih?!" hardikku keras.
"Trus gimana? Menangis? Ato berteriak? Aku kan bukan kamu Anna! Sudahlah, lebih baik kamu pulang saja. Nggak ada gunanya kamu di sini!" jawab Alex dingin sambil menghindari tatapanku.
Aku sadar aku nggak seharusnya berteriak pada pasien, tapi saat itu aku benar-benar emosi. Emosi mendengar fakta bahwa tangan Alex nggak bisa berfungsi normal lagi. Emosi melihat Alex yang bersikap menyepelekan masalah yang dihadapinya. Tapi yang membuatku emosi adalah fakta bahwa aku nggak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya.
"Sorry... aku memang nggak seharusnya memarahimu. Aku-"
Tiba-tiba tenggorokanku tercekat. Air mata yang sedari tadi kutahan, tidak bisa kubendung lagi. Kubalikkan badanku menghadap jendela. Aku tidak mau Alex melihat air mataku dan jadi tambah marah.
"Sudahlah, lex. Anna begini kan karna dia peduli sama kamu. Sudahlah jangan marah-marah lagi, bukannya tadi kamu nyari-nyari Anna, sekarang uda datang kok malah di usir-usir?" bujuk mama Alex.
"Hah? Siapa yang nyariin dia? Uda deh, kepalaku sakit nih! Lebih baik kalian keluar dulu saja. Aku perlu istirahat!" semprot Alex sambil memegangi kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERNIKAHAN PARO WAKTU
RomancePengalaman cinta terpahit adalah jatuh cinta pada seseorang yang menyimpan cinta untuk orang lain di hatinya. Anna Karenina mencoba peruntungannya dengan menikahi Alex Tjandra, walaupun dia tahu secuil pun tak pernah ada perasaan di hati sahabatnya...