Part 12

2.6K 99 0
                                    

Tiba di Jakarta, Mawar menjemput kami di terminal bersama kekasihnya, Adibio. Dalam perjalanan, ia menginstruksikan kepada aku dan Sandy mengenai berbagai hal.

"Untuk sementara kalian tinggal di kostan Boy dulu ya. Kost gue khusus Cewek. Sandy ga bisa masuk. Nanti kita pikirin lagi gimana selanjutnya."

"Ya, Boy mana?"

"Lagi ngerapihin kostan. Kita sewain satu kamar lagi kok buat kalian. Eh ... bukan buat kalian. Kalian belum nikah kan? Lu sekamar sama Boy, Sandy sendiri. Misah dulu sampe kita urus pernikahan. Biar ga dikira kumpul kebo."

"Ya, atur aja deh."

"Nanti Sandy dicariin kerja sama Adib. Ya ... ga yang muluk-muluk dulu. Sedapetnya ya."

"Iya, ga apa. Makasih banyak ya, Mawar, Adib," ucap Sandy berterima kasih.

"Iya, sama-sama," jawab Adib yang saat itu sedang menyetir mobil yang akan membawa kami ke kostan Boy.

"Kita bantu semampunya," tambah Mawar.

***

Tiba di kost tempat tinggal Boy. Ia menyambut kedatangan kami. Sandy tampak terkejut ketika melihat sosok Boy. Seperti kebanyakan orang yang salah terka, ia sempat mengira sahabatku itu seorang laki-laki.

"Hai, Sandy. Gue Cewek loh," sapa Boy menawarkan jabat tangan.

"Ooh ... i- iya, salam kenal, saya Sandy," balas Sandy sungkan.

Sandy masih tampak canggung terhadap teman-temanku. Tak secerewet biasanya. Ia hanya menyimak tiap percakapan dan rencana yang disusun oleh Mawar dan Boy untuk kelangsungan hidup kami.

Mawar meminta kekasihnya mencarikan pekerjaan untuk Sandy. Diajaknya bekerja di sebuah tempat kursus untuk mengajar berbagai materi pelajaran yang dikuasainya. Ia pun menjalankan pekerjaan kecil yang ditawarkan Adib padanya.

Boy memberikan sejumlah uang untuk memenuhi segala kebutuhan kami. Ia pula yang membelikan berbagai perlengkapan Mentari. Mulai dari popok hingga pakaian bayi.
Hampir setiap hari Mawar datang ke kost untuk membantu mengasuh Mentari. Ia tampak lebih lihai dariku ketika mengurus bayi. Memang ia pernah mengurus bayi-bayi di rumah singgah yang pernah menjadi tempat tinggalnya dulu.

Sehari-hari Sandy bekerja, sedangkan aku berdiam di kostan mengurus Mentari. Mawar dan Boy mulai mencarikan beasiswa untuk Sandy. Memasukkan ke beberapa sumber, persis seperti yang mereka lakukan ketika mengejar biaya kuliah gratis. Mereka begitu serius menolong kami. Tampak ketulusan dari tiap sikap dan perbuatan yang ditunjukkan.

Memperhatikan berbagai tindakan sahabat-sahabatku, Sandy mengaku terharu.

"Betapa beruntungnya kita, dikelilingi orang-orang baik," tutur Sandy.

"Iya, teman-temanku, maupun teman-temanmu, mereka semua orang baik."

"Maafin aku ya, belum bisa membahagiakan kamu," keluh Sandy.

"Ngomong apa sih? Jelas-jelas aku sangat bahagia saat ini."

"Ya sih, aku juga bahagia, tapi aku teh belum bisa memenuhi kewajibanku. Untuk sekedar tempat tinggal, bahkan makan aja kesulitan gini. Aku teh malu sama kamu."

"Ga apa lah. Kan berproses."

***

Beberapa bulan sudah kami hidup bergantung pada sahabat-sahabatku. Meski mereka berdua dengan ikhlas membantu. Namun aku mulai merasa tak enak. Penghasilan Sandy mengajar tak seberapa, hingga Mawar dan Boy harus menyisihkan uang pribadinya untuk memenuhi kebutuhan kami.

Aku mulai berinisiatif untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi kami. Menawarkan diri untuk mencucikan pakaian para penghuni kost untuk sekadar mendapat bayaran. Lumayan membantu kebutuhan ekonomi yang saat itu sangatlah pas-pasan.

Diary Perawan (Selesai √)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang