Part 6

4.9K 136 22
                                    

Di sekolah baru, aku langsung saja menjadi buah bibir penghuni sekolah. Memang penampilanku terbilang berbeda dari siswi kebanyakan. Memakai seragam yang cukup ketat, serta rok di atas lutut. Rambut bergelombang panjang berwarna merah maroon, karena di sekolah lama tidak ada larangan mengecat rambut.

Pada hari pertama masuk, sudah ditegur oleh kepala sekolah maupun wali kelas. Mereka meminta aku segera kembali menghitamkan rambut, serta tidak lagi memakai pakaian seketat dan rok sependek yang kukenakan saat itu. Namun esok harinya, masih berpenampilan sama. Tiap kali ditanya, hanya beralasan belum sempat mengecat rambut dan belum membeli seragam baru. Hingga guru-guru mulai kesal hingga menghukum beberapa kali. Akhirnya aku pun terpaksa menuruti kemauan mereka, daripada harus terus menerus menerima hukuman.

Kesan pertama yang muncul dari guru-guru maupun para siswa, mereka mengatakan aku tampak seperti seorang anak pindahan yang nakal. Namun tidak sedikit yang malah mengagumi. Menurut beberapa diantaranya aku keren, cantik, dan sexy. Memang bila dilihat, siswi-siswi di sekolah ini cenderung tampak seperti anak baik-baik. Di sekolah ini belum ada yang pernah mencoba pergaulan malam seperti kegiatan yang selama ini rutin kulakukan.

Sekolah ini memang terletak di pinggir kota Bandung. Jauh dari keramaian kota. Nuansa pedesaan pun masih terasa di sekitar. Itu pula yang menjadi alasan papah memilih sekolah ini. Menjauhkan dari pergaulan malam yang biasa kugeluti.

Banyak murid pria yang mencoba mendekati, tapi aku sama sekali tidak tertarik. Bagiku mereka tampak bagaikan anak-anak. Termasuk Sandy, yang terus menerus mencoba mencuri perhatian.

Saat jam istirahat, Sandy menegur dari balik jendela kelas. Bertingkah sekonyol biasanya.

"Soniaaa ... ga liat Sonia di kantin. Aku susul kemari. Ini buat kamu."

Menerima sebuah bungkusan sambil bertanya, "Apa ini?"

Sandy berucap dengan nada menggoda, "Tadi kelas praktek bikin donat. Itu buat kamu. Kuring nyieun na pinuh ku rasa cinta, Sayang."

"Apaan?" tanyaku tak mengerti bahasanya.

"Aku buat dengan penuh cinta, Sayang."

"Ga usah, makasih," tolakku sambil menyerahkan bungkusan kembali padanya.

"Yahhh ... naha ditampik? Cukup cintanya aja yang ditolak, donatnya jangan dong."

"Ga doyan donat," jawabku ketus.

Sandy berusaha membujuk. "Sonia ... nanti donatnya sedih, kasian dia."

"Cerewet ih! Sana lah! Jangan ganggu gue. Usil banget sih!"

Beranjak dari kursi, kemudian pergi meninggalkannya. Sandy pun masih terus membujuk agar ku menerima pemberiannya.

"Soniaaa ... ulah mangkattt ... jangan pergiii ... tungguuuu ...."

Aku berjalan cepat pergi meninggalkannya menuju toilet. Memang cukup banyak teman pria yang mencoba mendekati. Namun Sandy yang paling gencar. Tak tahu apakah segala yang ia ucapkan hanya sekedar candaan atau memang serius, karena aku masih belum bisa membedakan mana candaan dan mana yang serius. Ia tampak seperti seorang siswa aneh dengan segala gelagat konyolnya. Bahkan tak tahu malu. Berkali-kali kutunjukkan sikap ketus, tapi ia tetap saja mendekat.

Baru kali ini menemukan sosok yang begitu keras kepala dan seolah tak punya emosi. Meski begitu banyak perkataan kasar terlontar untuknya. Tak henti ia terus berusaha menggoda.

Beberapa bulan telah bersekolah di sekolah baru. Meski begitu jauh berbeda dengan kehidupan sebelumnya di Jakarta. Namun tak juga terasa menyiksa. Aku mulai terbiasa dengan kehidupan baru. Teman-teman yang terbilang polos, tapi baik hati. terlebih Sandy, yang masih saja terus berusaha mendekati dengan berbagai tingkah konyolnya.

Diary Perawan (Selesai √)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang