Demi menghargai Sandy, kuputuskan untuk menolak kebaikan Dito. Malam itu tetap keluar cafe. Duduk di pinggir jalan menunggu matahari terbit sambil memangku Mentari yang telah tertidur. Sebenarnya bisa saja langsung kembali ke kost Mawar, tapi aku tak ingin membuatnya merasa khawatir.
Saat sedang melamun, tiba-tiba seseorang menyapa.
"Sonia, kok malah di pinggir jalan gini?"
Menoleh ke arah sumber suara. Ternyata itu Dito.
"Di sini bahaya."
"Di tempat tertutup lebih bahaya," ucapku seolah mengingatkan kejadian yang barusan terjadi.
"Beneran ga mau ke apartement?"
"Kenapa kamu ada di sini? Bukannya dari tadi udah pergi?"
"Saya ngikutin kamu."
"Hahhh ... buat apa? Jangan-jangan kamu merencanakan sesuatu ya?" Aku menatap curiga.
"Ahh ... enggak ... enggak. Masa begitu. Saya cuma khawatir."
"Kenapa harus khawatir? Saya kan bukan siapa-siapa."
"A- iya ... memang bukan siapa-siapa sih."
Tak lagi berkata-kata. Dito duduk di sebelahku. Hanya terdiam sambil memandangi lalu lalang kendaraan.
"Ngapain ikut duduk di sini?"
"Nungguin kamu. Sampe punya rencana."
"Saya ga butuh dikasihani ya!" responku ketus.
"Kenapa sih, Sonia. Udah bertahun-tahun ga ketemu tetep aja judes. Masih jijik ya sama saya?"
Dito menduga sikapku padanya masih sama seperti dulu. Menolak dugaannya, aku pun menyampaikan bahwa yang ia pikirkan adalah salah.
"Bukan jijik, tapi curiga aja. Saya udah berubah kok. Banyak berubah."
Dito memandangku. Entah apa yang ada dipikirannya saat itu. Namun sikapnya seolah membiarkanku merasa nyaman dengan kesendirian. Untuk itu ia terdiam. Tak lagi banyak tanya.
Beberapa saat kami hanya saling terdiam. Ia mulai kembali membuka pembicaraan.
"Sonia, kalo boleh tau. Apa yang terjadi sama kamu? Setelah pindah sekolah.""Jatuh cinta." Jawabku tegas.
"Apa?" tanya Dito bingung.
"Ya, jatuh cinta dan mulai punya arah hidup."
"Kamu udah nikah?"
"Udah dong."
"Terus dimana suamimu? Kenapa biarin kamu luntang lantung kayak gini?"
"Dia sedang mengejar karir. Suatu saat kami juga akan bersatu kembali."
"Sonia, realistis dong! Masa kamu mau aja ditinggalin sama anak doang gini. Terus suamimu ga bertanggung jawab."
"Jangan sembarangan menilai Sandy! Kamu ga tau apa-apa!" Sontak aku kesal mendengar Dito yang seolah menghina Sandy.
"Maaf, bukan maksud apa-apa, tapi-."
"Ga usah ikut campur deh!" bentakku kesal.
Kami kembali saling terdiam. Memikirkan kemungkinan Dito memandang buruk terhadap Sandy yang seolah membiarkan anak istrinya tak terurus. Akhirnya kuceritakan bagaimana perjalanan cinta kami hingga sampai di sini.
Dito pun menyimak dengan serius. Setelah mendengar berbagai runtutan kejadian yang kuceritakan, ia meminta maaf dan merasa tak enak telah menduga yang tidak-tidak terhadap suamiku.