Ding Dong ....
Suara bel berbunyi. Aku meminta Boy untuk membukakan pintu.
"Siapa, Boy?" tanyaku dari ruang makan.
Boy tak memberi jawaban. Aku menghampirinya. Ia sedang berdiri mematung. Aku pun melongok ke arah luar.
"Siapa?"
Ternyata yang menekan bel adalah pria yang beberapa hari lalu kami temui. Pria yang menurut Boy merupakan suami Dara. Mungkin ia mengetahui alamatku dari buku alamat yang kutulis saat mendatangi kantornya.
"Ma- Mas Ardi."
Boy tampak terkejut melihat kehadirannya. Aku pun turut terkejut. Namun berusaha beramah tamah dengan mempersilakannya masuk.
"Silakan masuk, Mas."
"Ga usah. Saya bicara dari sini saja."
Boy masih terdiam. Pria itu mulai mengutarakan maksud kedatangannya.
"Saya akan memaafkan Dara. Saya akan kembali padanya."
"Apa? Be- benarkah?" tanya Boy memastikan.
"Saya minta satu hal dari kamu."
Meski ekspresinya masih menunjukkan rasa bingung. Boy menyimak perkataan pria itu dengan seksama.
"Kamu, berubahlah ... berhentilah menjalin cinta sesama jenis. Kamu orang baik Merry. Jangan rusak hidupmu lagi. Kamu layak bahagia. Itu saja. Permisi ...."
Setelah mengucapkan beberapa patah kata, Pria itu hendak pergi. Namun Boy mencegahnya.
"Mas, tunggu."
Ia berhenti dan kembali menghadap Boy.
"Hanya itu yang Mas Ardi minta? Apa yang perlu saya lakukan untuk menebus semua-."
"Tidak ada! Sudah cukup! Saya memang sangat marah padamu dan Dara, tapi saya tidak membenci kalian. Saya hanya minta, berubahlah ... saya pun akan membimbing istri saya, Dara. Untuk berubah menjadi wanita seutuhnya."
Boy mengangguk. Ia kembali meneteskan airmata.
"Terima kasih, Mas. Terima kasih."
"Selamat tinggal Boy ... jadilah Merry seutuhnya."
***
Boy memutuskan untuk pergi kembali menyusul ibunya di luar negri. Meninggalkan segala kenangan manis dan pahitnya tentang Dara. Sebelum berangkat, ia memintaku menemaninya untuk terakhir kali menemui Dara.
Tiba di depan rumah orang tua Dara. Boy hanya melihat dari kejauhan. Menatap Dara yang saat itu sedang menyapu halaman. Ia terus mengamati sambil tersenyum. Begitu terpancar rasa cinta dari sorot matanya.
Beberapa saat kemudian, sebuah mobil berhenti di depan gerbang rumah Dara.
Ternyata pria yang merupakan suaminya datang menemui. Menyaksikan tanpa mendengar isi percakapan mereka. Namun terlihat jelas, pria bernama Ardi itu benar-benar kembali ke pelukan Dara.
Boy menyaksikan dari jauh. Wanita yang dicintainya menangis tersedu-sedu di pelukan suaminya. Kutatap wajah Boy. Ia tersenyum puas. Seolah begitu bahagia melihat wanita yang dicintainya berada di pelukan suami yang teramat mencintainya.
***
Satu tahun telah berlalu sejak kepergian Boy ke luar negri. Kehidupanku masih tentram dan damai. Sandy yang semakin hangat dan anak-anak yang begitu mengisi hari-hari dengan keceriaan. Aku pun melahirkan anak ke tiga. Mentari dan Purnama memiliki adik perempuan yang kami beri nama Bulan. Dua anak perempuan dan satu orang anak lelaki. Lengkap sudah kebahagiaanku.