Rintik air yang semula hanya membasahi beberapa bagian dari tubuh kami, kini telah berubah menjadi deras hujan. Mengguyur sekujur tubuh dengan ganas. Sandy melepaskan jaket yang dikenakannya untuk melindungi tubuhku dari bulir-bulir air hujan. Kami bergegas mencari tempat berteduh. Saat berlari menuju sebuah halte, kakiku terpeleset.
"Aduhhh ...."
Aku pun terjatuh. Sandy berusaha membantuku untuk kembali berdiri.
"Kamu ga apa?"
Langkah menuju tempat berteduh sempat tertunda. Kami pun mulai basah kuyup oleh siraman air hujan yang turun semakin deras. Sandy merangkul sambil menggiring berjalan perlahan menuju halte. Saat itu aku merasa sangat kedinginan. Ia mendekapku erat. Sesekali berinisiatif mengusap kepala dan lengan untuk menguragi rasa dingin yang terpancar dari gelagatku.
Beberapa menit berdiri di halte, aku mulai merasakan sakit di perut.
"Ahhh ... San, perutku sakit."
Sandy mendengar keluhanku, ekspresi wajahnya yang semula tenang langsung berubah menunjukkan rasa kekhawatiran.
Ia mengusap perutku. "Dimananya yang sakit?"Aku memegangi perut. "Perutnya, ahhh ...."
Sandy tampak kebingungan. "Aduh, gimana ini?"
Ia menoleh ke sekeliling. Memang tak ada seorangpun. Di halte ini hanya ada kami berdua.
Ia memastikan seberapa besar rasa sakitku. "Sakit banget?"
Aku mengangguk dan merintih. Sandy terus mengelus-elus perutku sambil berusaha menenangkan. Semakin lama perutku semakin terasa sakit. Seakan berputar-putar bayi di dalamnya. Begitu nyeri tak tertahankan. Raut wajah Sandy tampak semakin kebingungan.
"Sonia, kamu berdarah."
Sandy mengatakan melihat darah mengalir di kakiku. Ia tampak cemas. "Ya Tuhan, gimana ini?"
"San, sakiiittt ...."
Aku terus merintih kesakitan. Sandy pun mulai bertindak. "Bentar ya, aku cari orang, kamu tunggu di sini."
Ia hendak pergi untuk mencari bantuan. Namun aku takut bila Sandy akan meninggalkanku. "Jangan! Aku gamau ditinggal."
Sandy berusaha meyakinkanku bahwa ia hanya mencari bantuan dan akan segera kembali.
"Kamu berdarah gitu. Tunggu di sini sebentar. Aku ga akan pernah tinggalkan kamu. Aku cuma cari bantuan."
"A- aku ikut, San."
"Hujan deras, nanti kamu makin kedinginan. Tunggu di sini aja ya."
Sandy mengarahkanku untuk duduk di kursi halte. Menyandarkan tubuhku pada tiang di sisi kursi. Membelai rambutku dengan lembut.
"Tunggu di sini ya. Aku ga lama."
Sandy berlari mencari pertolongan. Aku merasa sangat lemas dan pusing sekali. Perut semakin nyeri tak tertahankan. Pandangan mulai kabur. Terlihat samar Sandy yang berlarian di bawah deras hujan, semakin menjauh, dan hilang dari pandanganku. Tak kuasa menahan sakit, kesadaranku pun hilang
***
Mata dan telinga samar meraba situasi di sekeliling.
"Suster, tolong periksa dulu."
Terdengar suara seorang perempuan yang kuduga adalah pegawai rumah sakit. "Iya diperiksa, tapi daftar dulu di depan."
Kecemasan terdengar dari suara Sandy. "Tapi dia sudah begini. Lemas dan berdarah. Tolong dulu."
Suster tersebut tetap tak memberikan kelonggaran. "Tetap harus daftar dulu di sana."
Berbayang-bayang melihat Sandy berlarian kesana kemari. Ia tampak sangat kebingungan. Aku tak tahu bagaimana tiba sampai di sini. Namun kuamati suster-suster di sini seakan tidak ingin mengurusku.