Part 5

4.6K 108 0
                                    

Saat ini ibu dan adik-adik tiriku tinggal bersama kami. Begitu pula dengan papah. Ia semakin sering di rumah. Namun sikapnya padaku sama saja. Masih tetap acuh. Lebih memperhatikan istri dan anak-anaknya yang lain.

Kehadiran mereka membuatku merasa tak nyaman. Mulai dari adik-adik kecil yang seringkali mengobrak abrik barang pribadiku, adik perempuan yang hampir sebaya seringkali dibanding-bandingkan denganku. Serta bu tiri yang selalu ingin berkuasa di rumah. Ia mulai banyak mengatur. Tak jarang ia juga melaporkan ke papah bila aku tidak pulang sekolah tepat waktu.

Papah yang selalu menuruti perkataan istrinya sehinga mulai sering menegur. Pada awalnya masih dengan ucapan yang lembut. Namun berikutnya mulai terasa perubahan sikapnya. Seringkali ia memarahi dengan nada tinggi.

***

Di hari libur, aku bangun siang. Turun ke ruang makan dan menyantap sarapan seorang diri. Saat sedang menikmaati makanan, dari luar terdengar suara canda dan tawa. Aku mengintip dari balik jendela. Ternyata sumber suara berasal dari papah serta anak istrinya yang sedang bersenda gurau di halaman.

Mereka mendirikan tenda dan memasang perlengkapan barbeque. Kulihat papah sedang bercanda dengan riangnya bersama adik-adik tiri. Sesekali dia mengecup kening istrinya.

Menatap pemandangan yang seharusnya tampak indah itu, tanpa terasa airmata menetes di pipi. Selama ini aku tak pernah melihat wajah papah seriang itu. Kenapa ia bisa sebahagia itu saat ini? Kenapa tak pernah ia tunjukkan raut wajah bahagianya padaku? Kenapa aku harus menyaksikan hal ini? Tersisih seorang diri, dan ini sangat menyakitkan.

Tak sanggup lagi menyaksikan keharmonisan mereka, aku berlari ke kamar. Menghapus airmata, mencuci muka, dan memakai make up, kemudian bersiap untuk pergi. Memakai pakaian yang cukup minim dan sepatu ber hak tinggi. Berjalan kearah luar rumah dan melewati mereka tanpa berpamitan.

"Sonia, mau kemana kamu?" tegur papah.

"Kemana kek! yang jelas ga di sini!" jawabku ketus.

"Hey, Sonia pakaian kamu itu," tegur papah, tapi tak kuhiraukan.

"Anakmu itu bener-bener anak nakal Mas, aduhhh ... jangan sampe anak-anak kita niru dia," samar-samar terdengar ibu tiriku berkata pada papah.

Satu hari aku tak pulang. Menginap di kost Mawar. Sebenarnya masih sangat enggan pulang ke rumah. Namun Mawar menyuruhku pulang.

"Mau sampe kapan di sini? Udahlah balik sana."

"Gue males banget balik ke rumah. Pleaseee ... gue tinggal di sini aja deh."

"Gue belum sanggup ngasih makan anak orang. Apalagi yang hedon kayak elu."

"Gitu amat sih sama temen."

"Udah balik deh. Masalah tu dihadapi, bukan dihindari."

***

Dengan terpaksa aku kembali ke rumah. Sebenarnya sangat malas tinggal di rumah itu lagi, tapi bila tak disana, kemana aku harus pergi? Aku belum memiliki keberanian bila harus hidup seperti yang dijalani Mawar. Masih tergantung pada materi yang papah limpahkan.

Tiba di rumah. Seolah kedatangan sedang disambut oleh papah dan ibu tiri sedang duduk di ruang tamu. Tak menghiraukan keberadaan mereka, aku berjalan menuju kamar.

"Sonia, sini duduk," perintah papah.

Berusaha acuh, tetap berjalan menaiki anak tangga.

"Sonia! Dengar Papah, duduk!" bentaknya.

Papah membentak dengan nada suara yang sangat tinggi. Hingga membuatku sangat terkejut, dan akhirnya menuruti kemauannya. Duduk berhadapan dengan mereka.

Diary Perawan (Selesai √)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang