Setelah keputusan diizinkannya kembali bersekolah. Bu Intan menawarkan agar kami tinggal di rumahnya hingga lulus sekolah. Memang tak ada lagi tempat bernaung. Sandy juga belum memiliki keinginan untuk menemui orang tuanya kembali. Ia mengaku saat ini hanya ingin fokus pada ujian kelulusan. Begitu pun denganku. Masih tak berani berada di sekitar Papah karena takut bila ia masih berniat menggugurkan kandungan ini. Akhirnya kami memutuskan untuk tinggal di rumah Bu Intan untuk sementara waktu.
Hampir setiap hari ada saja teman yang datang ke rumah Bu Intan untuk sekedar membawakan makanan. Mereka sangat peduli dengan kondisi kami dan berharap bayi yang sedang kukandung dapat lahir dengan sehat. Tak hanya itu, di sekolah mereka pun begitu memperhatikan keamanan serta kenyamananku. Menawarkan bantuan ini dan itu agar kandungan ini tetap terjaga.
Aku berpikir, bila saja yang menghamiliku bukan Sandy, pastilah ini tidak akan pernah terjadi. Aku sangat sadar, saat ini sedang terciprat segala kebaikan dari Sandy. Ia yang selama ini terlabel sebagai anak baik, menularkan segala pengaruh positifnya itu padaku.
Bu Intan bagaikan seorang ibu yang sesungguhnya. Meski tanpa ikatan darah. Namun ia begitu melimpahkan perhatian. Bahkan kepedulian yang ditunjukkannya dapat dikatakan tak pernah kuterima dari orang tua kandungku. Ia meminta kami memanggilnya ibu dan menganggapnya bagai orang tua sendiri. Kami pun mengiyakan permintaannya.
***
Hari ujian pun tiba. Bersamaan dengan usia kandungan yang mulai memasuki bulan ke sembilan.
"Semoga sukses ya hari ini ujiannya. Ibu bawain bekal paling bergizi ini buat Neng Geulis, ikan Salmon." Bu Intan menyerahkan kotak bekal makanan padaku.
Kami berpamitan. "Terima kasih Bu, mohon doain ya semoga ujiannya lancar."
Ia menjawab sambil mengecup kening kami. "Pasti atuh, Ibu doain sayaaang ...."
Seperti biasa, kami berangkat ke sekolah berdua. Menggunakan angkutan umum menuju sekolah. Sepanjang perjalanan banyak orang berbisik melihat perutku yang semakin membuncit. Namun selalu saja dengan percaya dirinya Sandy mengusap-usap perut di hadapan mereka. Beberapa orang bertanya, ia selalu menjawab bahwa bayi yang ada dalam kandunganku adalah anaknya. Tak pernah tampak malu mengakuinya.
Kami belum juga melangsungkan pernikahan. Menurut Bu Intan, pernikahan sebaiknya dilangsungkan setelah aku melahirkan bayi ini, karena menurutnya haram hukumnya bila menikah ketika sedang hamil. Kami kurang paham hal seperti itu. Untuk itu hanya mengikuti arahannya.
***
Hari pertama ujian berjalan lancar. Untuk pertama kalinya pula aku mampu menjawab sekitar 60% soal ujian yang dipertanyakan. Merasa sangat bangga pada diri sendiri saat itu.
Sandy yang melihatku sedang tersenyum-senyum sendiri mulai menggoda. "Senyum-senyum aja, kenapa nih happy banget ga ngajak-ngajak."
Sambil terus tersenyum aku pun menjawab. "Untuk pertama kalinya aku pede jawab soal-soal itu."
"Masa pertama kali?" tanya Sandy heran.
Aku pun memperjelas. "Beneran!"
Sandy tersenyum. "Bagus atuh."
Aku memeluknya dengan erat. "Makasih Sandy, aku sayaaang ... banget sama kamu."
Ia pun membalasnya. "Abdi juga sayaaang ... banget."
***
Beberapa hari ujian berlangsung berjalan lancar. Tak ada kendala sama sekali. Sandy pun mengaku mampu mengerjakan soal-soal ujian dengan percaya diri. Ia telah matang menguasai berbagai materi yang dipertanyakan.