Langit sore itu cerah sekali. Angin berembus lembut, membelai wajah Elisa saat dia mengangkat cangkir tehnya dan menyeruput isinya pelan-pelan. Dia dan Eugene sedang menikmati teh sore di gazebo kecil di tepi danau.Elisa tak ingin membahas soal pertemuannya dengan George dan sepertinya Eugene juga sudah lupa bertanya lagi. Yang saat ini Elisa inginkan adalah, dia mau tahu apa Eugene kerasan di rumah barunya ini. Dia sudah berjanji pada George dan tak ingin mengecewakan sang raja.
"Tahu tidak," kata Eugene tiba-tiba. "Tadi pagi Alfred mengajakku mengikuti pertemuan Commes."
"Commes? Apa itu?"
Eugene menjelaskan secara singkat tentang Commes des Menzanes, Dewan Rakyat Calondria yang kedengaran mirip parlemen kalau di Prancis. Ada sepuluh kota di Calondria, dan masing-masing memiliki satu perwakilan di Commes yang bergelar Valion atau Valionesse. Mereka yang mewakili suara rakyat Calondria sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi di negara. Selain mewakili rakyat, para Valion dan Valionesse ini juga berfungsi ganda sebagai menteri di pemerintahan Calondria.
"Kedengarannya itu pertemuan penting," kata Elisa di akhir penjelasan Eugene.
Eugene mengembuskan napas panjang. "Mereka semua syok melihatku."
"Tentu saja mereka kaget." Elisa teringat kejadian di stasiun kereta, bagaimana semua orang memandangi Eugene. "Karena mereka mengira kau Edward. Tapi apa kau menikmati acara itu?"
Eugene menyorongkan cangkir tehnya ke atas nampan, sepertinya mendadak kehilangan selera. Seorang footman— pelayan pria setingkat di bawah butler —yang berdiri tak jauh dekat mereka mengamati dengan cekatan, rupanya khawatir dia tak mengerjakan tugasnya dengan baik.
"Sejujurnya agak membosankan. Mereka membahas soal pelantikan seorang Valion baru untuk kota Larsgard. Aku tegang sekali..." kata Eugene. "Alfred bilang, seharusnya aku harus diperkenalkan dulu pada Commes sebelum bisa ikut kegiatan mereka secara resmi."
"Apakah itu yang nanti akan kau lakukan?"
"Maksudmu, tugasku di sini?"
"Ya. Apa ya istilahnya... tugas kenegaraan?"
Eugene mendengus. Tangannya tanpa sengaja menyenggol poci teh. Si footman bergegas menghampiri kami dan mengulurkan serbet. Kecepatan gerakannya nyaris menyamai seekor cheetah. Elisa sampai takjub.
"Tugas kenegaraan," ulang Eugene, kedengaran tersiksa. "Aku tak tahu apakah aku sanggup mengerjakan semua itu, Elisa."
"Kau pasti bisa," Elisa menyemangati. Dia teringat janjinya pada George. "Lihat saja George. Dia masih muda sekali untuk ukuran seorang raja."
"Tapi aku bukan George," balas Eugene. "Sejak kecil George sudah tahu dirinya akan jadi raja. Sebagai putra mahkota, dia sudah dipersiapkan untuk itu. George bilang padaku dia sudah bisa bicara enam bahasa sejak umur sembilan tahun."
Elisa tertawa getir. Bicara enam bahasa di usia sembilan tahun? "Kedengarannya seperti masa kecil yang menyakitkan."
Eugene tertawa lepas. Si footman masih mengamati dengan cermat, jelas cemas akan keselamatan perangkat minum teh porselen di atas meja.
"Tapi kau bukan George, Eugene..." kata Elisa ketika tawa mereka mereda. "Kurasa tanggung jawab seorang pangeran tidak seserius raja."
"Tetap saja," kata Eugene hati-hati. "Aku bukan pangeran. Ini bukan hidupku, kau paham kan maksudku? Jangankan sebuah negara, aku tak pernah memimpin apa-apa seumur hidupku. Orang-orang di Calondria sangat cakap. Aku hanya tak ingin mengecewakan mereka."
"Kau tak akan mengecewakan mereka."
"Edward sudah mengecewakan mereka."
Elisa terdiam. Eugene benar. Dia tak menyadari bahwa Eugene sedang memikul beban yang sangat berat.
"Eugene, apa kau menyesal sudah datang kemari?"
Eugene menarik napas. Dia meletakkan cangkirnya, dan menatap Elisa. Iris matanya yang berwarna biru elektrik melebar, seperti pusaran galaksi penuh bintang. Tapi ada kehampaan yang nyata, tergurat jelas di sana.
"Aku tak menyangka keadaannya akan seperti ini," katanya letih. "Terlalu banyak... drama. Bukannya aku mau menghindar dari masalah. Tapi maksudku...."
Suara Eugene mengecil dan hilang dalam kesunyian. Elisa mengusap bahu sahabatnya itu dengan lembut. Ini memang cukup dramatis, Elisa mengakui dalam hati. Jadi pangeran, punya keluarga tahanan, bersepupu dengan raja... Eugene pasti syok berat.
Eugene memejamkan mata. Cowok terlihat siap melebur ke dalam udara ketika angin berhembus.
"Aku senang kau ada di sini, Elisa. Sungguh," katanya. Dia membuka matanya dan lurus-lurus menatap Elisa, membuat gadis itu merasakan sensasi seperti masuk ke dalam mesin fotokopi. "Terima kasih sudah mau menemaniku."
Elisa tersenyum. Ada perasaan hangat yang memenuhi dadanya. Aku juga senang menemanimu. Eugene meremas tangannya dan Elisa membalasnya. Tangan Eugene dingin sekali, seperti es. Waktu kami masih kecil, Eugene selalu melakukan ini, kenang Elisa. Dia akan menggenggam tanganku.
"Kau masih yakin tak mau menukar diriku dengan Yvonne?"
"Yvonne!" Eugene geleng-geleng. "Ya ampun. Kurasa dia naksir padaku."
Dari dulu. Sejak dia melihatmu. "Wah, kau bisa membaca pikiran."
"Hanya insting," kata Eugene sambil mengedik sok tahu. "Tapi benar, kan? Dia cerita padamu?"
Elisa memukul bahu Eugene. Sahabatnya itu menghindar dengan gesit, tampangnya jahil.
"Johnston si butler cerita padaku," kata Eugene. "Kalau pos istana selalu penuh dengan bunga dan cokelat setiap kali Edward berkunjung. Setelah kami terpisah, rupanya dia rutin mengunjungi Calondria dua kali setahun."
"Nah, kurasa kau sudah harus membiasakan diri," goda Elisa. "Yvonne mungkin akan mengirimu cokelat setiap hari."
"Kurasa tak banyak yang tahu sampai saat ini kalau Edward kembar," Eugene langsung menangkis godaan itu. "Kata Janesse, Edward sengaja sering tampil di depan publik. Dia menikmati segala hadiah itu. Aku justru tak tahan jadi pusat perhatian seperti dia."
"Tak perlu memusingkan itu dulu, Eugene," kata Elisa paham. Eugene memang sangat pemalu. "Yang terpenting saat ini, kau mengerjakan tugasmu dengan baik."
"Kata Janesse, menjadi anggota kerajaan berarti selalu menjadi pusat perhatian," lanjut Eugene, kedengaran makin merana. "Apalagi Calondria negara kecil dan rakyat juga butuh gosip. Kau harus siap diikuti paparazzi ke mana pun. Mereka akan membahas macam-macam tentang dirimu: apa yang kau pakai, siapa yang kau kencani, apa yang kau makan. Rasanya seperti ikan di akuarium."
Elisa tahu itu benar. Jadi terkenal sama saja dengan kehilangan privasi.
"Tapi kalau soal penampilan, kurasa kau tak perlu khawatir," Elisa teringat isi lemari bajunya yang menakjubkan. "Isi lemarimu oke, kan?"
"Oh, ya. Luar biasa. Seperti butik pakaian mewah." Eugene mengangguk cepat-cepat. "Sebagian ternyata pernah dipakai Edward. Ada satu kaos yang pendek sekali... Kata pelayan pribadiku namanya crop top, Edward sering memakainya kalau main voli di pantai Faultsfort. Nggak kebayang deh, aku pakai baju semacam itu."
Bayangan Eugene mengenakan kaos super pendek yang memamerkan perut membuat perut Elisa sendiri mengejang. Dia terkikik geli.
"Celestin," si footman memanggil. Elisa tersentak karena lupa akan kehadirannya. "Sebentar lagi waktunya makan malam."
"Terima kasih, Thomas," balas Eugene sopan. "Apa Alfred juga akan ikut makan malam?"
"Perdana Menteri tidak ikut makan malam bersama keluarga kerajaan, Celestin," jawab Thomas. "Kecuali beliau diundang untuk jamuan kerajaan."
"Syukurlah," kata Eugene lega. Dia menatap Elisa lalu tersenyum getir. "Kau tahu, Alfred selalu bikin aku gugup! Seolah peraturan fine dining belum cukup bikin kita pusing saja!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Prince [TAMAT]
RomanceElisa Harris tak pernah bermimpi untuk tinggal di istana, punya pelayan pribadi, bergaul dengan ratu, memakai gaun-gaun mewah, atau naksir Pangeran Monaco! Dia hanya operator telepon yang yatim piatu dari Paris. Tapi hidupnya berubah saat sahabatnya...