23. Tamu Tak Diundang

2.4K 306 11
                                    


"Dan sekarang kita sampai pada upacara pemberkatan!" Kardinal Anselmus mengakhiri pidatonya yang panjang dan membosankan, lalu menghampiri kursi kebesaran di tengah panggung.

Seisi Pretory Hall langsung sunyi.

Sang Uskup mengambil Kitab Suci besar bersampul emas yang disodorkan seorang putra altar, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala si pangeran baru, dan berbicara dengan suara keras.

"Dengan rahmat Tuhan, dengan ini kunyatakan kau, Eugene L'alcquerine..." Kardinal Anselmus mengangkat buku itu di atas kepala si pangeran. "Sah menjadi anggota kerajaan Calondria. Terimalah tanggung jawab yang dianugerahkan Tuhan bagimu dan jadilah panutan bagi rakyat!"

Sang uskup membuat tanda salib di udara.

Kamera-kamera terangkat, bunyi klik tombol-tombol yang ditekan nyaris bersamaan menggema di langit-langit ruangan yang tinggi. Para tamu bertepuk tangan dengan meriah.

Elisa mengamati semua itu dari tempat duduknya dengan tegang. Hatinya memberontak, ingin rasanya dia berteriak, tapi dia tak boleh bertindak gegabah. Dia bisa mencelakakan semua yang ada disini. Aku harus memberitahu seseorang. Melihat pendusta keji di hadapannya sedang diagung-agungkan oleh semua orang ini membuat kemarahannya mendidih.

Tunggu saat yang tepat.

"Pemberkatan sudah selesai," kata Kardinal Anselmus. "Selanjutnya adalah pengangkatan sumpah oleh Quinz Celestin."

George maju, dia kelihatan agak canggung dengan busana sopannya. Kardinal Anselmus mundur perlahan. Si pangeran baru berdiri menyambut rajanya. Semua orang masih mengamati dengan takjub bercampur kagum. Elisa berdoa dalam hati, mengharapkan apa saja terjadi saat itu untuk menggagalkan pengangkatan sumpah itu. Apa saja. Kilat dari langit, air bah, apa saja... selama itu bisa menghentikan upacara pengangkatan ini.

George memberi isyarat si pangeran baru untuk berlutut di satu kakinya. Mahkota di kepala George agak miring, tetapi tak ada yang berani mengganggunya. George mengambil pedang di atas bantalan dan meletakkannya di bahu kanan Edward.

"Apakah kau, Eugene L'alcquerine, bersumpah untuk setia sepenuh hati pada negara dan tanah airmu, Calondria?"

"Ya, saya bersumpah," kata Edward.

George mengetukkan pedang itu mendatar di bahu kanan Edward dua kali dan sekali di bahu kirinya. Sang raja mengangkat sebuah cincin emas yang disodorkan Kardinal Anselmus padanya.

"Apakah kau, Eugene L'alcquerine, bersumpah untuk selalu menjadi panutan yang layak bagi rakyatmu, dan selalu mengutamakan kepentingan mereka di atas kepentinganmu sendiri?"

"Ya, saya bersumpah," jawab Edward, tangannya terjulur meraih cincin itu.

"STOP!"

Tubuh Elisa gemetar karena amarah dan kepalanya terasa seperti melayang, tetapi dia sudah mendorong dirinya sendiri untuk berdiri dan berteriak sekeras yang dia bisa. George terhenti, tangannya nyaris menyentuhkan cincin itu ke jari manis si pangeran baru.

"DIA BUKAN EUGENE!" Elisa berteriak dengan sekuat tenaga. Tatapan semua orang kini tertuju padanya. "Dia Edward! Eugene yang asli sedang ditawan di ruang bawah tanah Crassulacea!"

"Apa maksud Anda, Santionesse?" tanya Kardinal Anselmus.

"Jika kalian memeriksa ruang bawah tanah Crassulacea saat ini, kalian akan menemukan pangeran yang seharusnya kalian lantik," kata Elisa. Tanpa disadarinya, dia sudah bergerak maju mendekati panggung. Dilihatnya Edward telah memasang tampang bingung, rupanya si penipu itu masih bersikeras memainkan perannya dengan baik. Beberapa pengawal yang berjaga di sekitar panggung saling lirik dengan cemas. "George, kau harus menghentikan pelantikan ini!"

"Kau mengada-ada, Elisa," kata si pangeran baru. Dia kelihatan bingung. "Aku Eugene. Bagaimana mungkin kau tidak mengenaliku?"

"Karena kau penipu busuk Edward!" bentak Elisa. Sepercik kilatan aneh muncul di mata Edward dan tiba-tiba Elisa tahu apa yang akan dilakukan pria itu. "Kau menumpang bersamaku di Bentley itu. Kau menculikku agar bisa masuk ke istana ini, menyandera saudara kembarmu sendiri, dan sekarang berusaha merebut posisinya! Dan kau tidak akan mengacaukan acara ini!" Elisa berbalik, menatap seisi aula. "Serahkan pemicu bom itu, Edward!"

"Bom?" seru Janesse heran. "Bom apa, Elisa?"

"Komplotan Edward telah memasang bom di ruang bawah tanah Crassulacea," jawab Elisa lancar. "Mereka sudah menggali terowongan yang tembus dengan jalan rahasia menuju ruang bawah tanah itu sejak seminggu lalu. Mereka akan meledakannya jika Edward gagal dilantik. Jika itu terjadi, aula ini bisa runtuh!"

Rasa heran dan ngeri muncul di wajah para tamu. Mereka saling pandang dengan cemas dan mulai berbisik-bisik.

"Cukup!" George mengangkat tangan. "Hugo, tolong kirim beberapa petugas keamanan untuk memeriksa ruang bawah ta–"

Gerakan si pangeran baru begitu cepat hingga tak ada yang menduganya. Edward menyambar pedang di atas bantalan dan menerjang George dari belakang. Beberapa wanita menjerit histeris. George yang tidak siap diserang tiba-tiba seperti itu, jatuh terhuyung. Edward menarik George dengan beringas dan menyandarkan pedang itu ke leher sang raja. Para pengawal langsung mencabut pistol-pistol mereka dan membidik Edward, tetapi Alfred berseru, meminta mereka untuk menahan diri.

"Yah," Edward terkekeh bengis. "Kurasa cukup pura-puranya."

"Edward," panggil George hati-hati, kepalanya tertekuk pada sudut yang janggal akibat todongan pedang itu di bawah dagunya. "Lepaskan para tamu dan akan kuturuti perintahmu. Mereka tidak ada hubungannya dengan semua ini."

"Tidak, justru mereka harus tetap di sini," desis Edward. Tapi tak ada yang menggubrisnya. Para tamu sudah keluar dari bangku mereka dan berhamburan berlari menuju pintu.

"TETAP DI TEMPAT DUDUK KALIAN!"

Edward mengangkat tangan kirinya, ada sebuah benda kecil seperti remote control mini di tangannya.

"Tidak mungkin!" teriak Janesse marah. "Berhenti bermain-main, Edward! Kau hanya ingin menakut-nakuti kita semua. Tidak ada bom! Seluruh istana sudah diperiksa!"

"Mahkota itu tak membuatmu tambah pintar, tukang roti bodoh!" Edward tertawa geli. "Aku tak perlu meledakkan istana ini untuk menghabisi kalian semua. Lagipula, ini akan jadi istanaku. Seperti yang Elisa bilang, aku hanya perlu meledakkan ruang bawah tanah dan meruntuhkan aula ini bersama kalian semua. Oh, ya. Si tolol Eugene sudah memberitahuku tentang jalan rahasia dan ruang bawah tanah si sinting yang berada tepat di bawah aula ini. Dia bersemangat sekali menceritakan apa pun yang terjadi di istana padaku."

George menggeram marah, tetapi tak bisa berbuat banyak karena disandera.

Para tamu yang tersisa berbalik, membeku memandang Edward dengan tidak percaya. Elisa bisa melihat rasa geram dan kecewa yang bercampur aduk di wajah Janesse. Ratu Raquelle menatap Edward dengan benci, seolah bertekad melukai pria itu hanya dengan tatapannya. Aula itu menjadi hening sekali, yang terdengar hanyalah gerakan George yang memberontak berusaha melepaskan diri dari Edward.

"Bagus sekali," geram Edward senang. Dia mengetatkan kunciannya pada George dan menekankan pedang itu semakin dalam ke leher George. Sang raja meringis. Seleret garis darah menodai sisi pedang itu.

"Lepaskan dia!" bentak Ratu Raquelle. "Kau tak pernah kapok Edward! Mahkota Raja Calondria tak akan pernah jadi milikmu!"

"Oh, jangan terlalu yakin, Raquelle!"

Lady Samantha L'alcquerine melangkah masuk dari ambang pintu, masih mengenakan baju tahanan. Seulas senyum kemenangan mengembang di wajahnya.

The Lost Prince [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang