Bab 2

11.1K 1.4K 43
                                    

Cinta itu tidak berwujud, tidak berwarna, tidak berbau, namun berasa.
Berasa menyenangkan dan menyakitkan secara bersamaan. Kayak kita lagi makan ikan kakap pedas manis - Miselly Putri

•••

Secangkir teh tarik panas di udara yang dingin merupakan perpaduan yang pas. Duduk bersantai tertutupi selimut dan sebuah film menemani. Tengah malam yang menurutku begitu indah dan sanggup membuatku untuk berjaga hingga pagi.

Sebuah film lama yang sudah aku tonton puluhan kali. Adegan romantis dan begitu manis berbalut kesedihan. Film favoritku dari dulu masih remaja.

Film dengan jalan cerita sederhana namun menyentuh. Setiap orang punya film kesukaan masing-masing. Punya pendapat berbeda soal film.

Dari banyaknya film adaptasi novel Nicholas Sparks, aku memang lebih suka dengan film A Walk To Remember. Meskipun hampir semua cerita-cerita Nicholas bertajuk roman sendu, entah kenapa aku suka dengan chemistry Shane West dan Mandy Moore.

Belum lagi soundtrack-nya yang begitu membekas dan menyatu dengan cerita. Meskipun film ini mendapat beberapa kritik, tetap saja aku percaya bahwa setiap orang punya cara yang berbeda dalam menikmati film.

Dentingan halus disertai getaran pelan, membuyarkan fokusku ke layar kaca di hadapanku. Ponselku bercahaya menandakan ada satu pesan masuk diantara kebisingan grup tidak penting.

Tanganku meraih remot dan mempause film, mengambil jeda agar aku bisa memeriksa pesan yang masuk. Mungkin bagi sebagian orang bisa saja film tetap berjalan dan tetap mengecek ponsel. Meskipun aku sudah menonton film ini puluhan kali, aku tidak mau menyia-nyiakan setiap menit dan setiap adegan untuk hal remeh. Ini memang salah satu caraku dalam mengapresiasi film.

Mama : Misel jangan lupa minggu depan acara Jihan. Kamu pulangnya jangan mepet-mepet ya

Aku menghela napas pelan membaca pesan dari mama. Memang aku dan mama berpisah kota, aku hidup di ibu kota negara, mama hidup bersama eyang di Jogja. Biasanya aku senang jika harus pulang. Tapi, entah kenapa aku rasanya tidak ingin pulang.

Bukan karena aku tidak mau ketemu mama, tapi karena aku gak kuat ditanya kapan nikah. Apa lagi acara Jihan besok itu acara pertunangan. Bayangkan bagaimana menderita dan teririsnya perasaan jomblo ini datang ke sana. Untunglah belum ada keluargaku yang tau kalau aku pernah berpacaran dengan Ardhan dan dengan begonya aku putus karena aku yang mutusin.

Misel : Mepet-mepet emang Misel ngok ngepet Ma? Hehehe

Tidak ada balasan lebih jauh dari mama, memang seperti itulah mama. Hanya sesekali saja memegang ponselnya. Mengabari pun lebih senang lewat telepon, tebakanku mama hanya ada paketan malam dan chatnya baru masuk.

"Hah! Misel rindu Mama!"

Rasa rinduku pada mama sudah melambung dan sepertinya aku bakalan pulang. Siapa tau pulang-pulang nanti aku bertemu pria mapan nan ganteng asal Jogja sana. Acara Jihan nanti pasti rame banget, secara tunangannya eksekutif muda. Kabarnya sih tunangan Jihan ini orang Jakarta, beberapa kali Jihan datang ke Jakarta tetapi tidak pernah mengabariku.

Hubunganku dengan Jihan memang tidak begitu baik dan akrab. Selalu diikuti oleh persaingan, maklum saja, cucu perempuan eyang hanya aku dan Jihan. Memperebutkan perhatian eyang sudah menjadi kebiasaan kami sejak kecil. Sebenarnya sejak merantau ke Jakarta aku tidak terlalu menganggap Jihan itu rivalku lagi. Secara sudah pasti Jihan memenangkan perhatian eyang.

•••

"Menurut lo cinta itu seperti apa Sel?" Leo duduk di hadapanku dengan secangkir kopi dan baju rapi jali khas pegawai kantoran.

Jam makan siang yang padat menjadi pilihan kami untuk bertemu dan makan siang bersama. Mengobrolkan hal tabu soal cinta dan perasaan dengan lawan jenis sudah menjadi kebiasaan kami. Terkadang Bemby suka mengatakan bahwa aku ini dokter cintanya Leo.

Aku melipat tangan di atas meja, menatap Leo dengan kepala yang sedikit aku miringkan. "Tidak berwujud, tidak berwarna, tidak berbau, namun berasa," ucapku pelan. Senyum tipisku terbit saat aku melihat kerutan di dahi Leo. "Berasa menyenangkan dan menyakitkan secara bersamaan. Kayak kita lagi makan ikan kakap pedas manis," lanjutku diakhiri dengan kedipan mata kecil.

Leo tersenyum dan terkekeh kemudian, Leo dan Bemby memang tahu bagaimana aku memilih kosa kata. Terkadang nyeleneh, menyentuh atau kelewat aneh dan gak nyambung. Sudah ciri khasku sejak lama memang begini.

"Menurut lo cinta yang dewasa itu seperti apa Sel?" tanya Leo lagi.

Aku mendelik pada Leo dan mulai kehabisan kesabaran dengan makhluk aneh bin jaib ini. "Gak sekalian gue buka kelas konsultasi Le? Nanya mulu sih, gak bosan lo nanya topiknya itu-itu aja?" sebalku.

Leo nyengir tidak bersalah. "Ya ilah kita ketemu juga jarang-jarang Sel," belanya.

"Ketemu emang jarang. Tapi gue tau ya lo manusia yang punya akun IG bodong, yang setiap gue buka Q&A selalu nongol nanyain soal cinta-cintaan," semprotku.

Leo menggaruk lehernya yang aku yakini tidak gatal. Dia kembali nyengir pertanda tuduhanku benar adanya. Leo kalau gak salah pasti bakalan menyangkal, cuma kalau udah salah begini pasti pasrah nerima tuduhan.

"Jawab aja sih Sel. Sekali-kali lo nyenengin gue," ujarnya.

Aku menghela napasku pelan dan akhirnya menyerah. "Cinta dewasa itu bukan dilihat dari umur pasangan, bukan pula dilihat dari berapa lama hubungan itu berjalan. Tetapi, dilihat dari bagaimana cara kita ikhlas dan rela untuk tidak bersama," jelasku. Ada jeda beberapa detik sebelum aku kembali berkata, "Atau bagaimana kita dapat berjuang dan saling mempertahankan."

Leo menganggukkan kepalanya pertanda dia setuju denganku. Ada rasa miris sebenarnya, ketika kita bisa menciptakan banyak adegan sendu nan romantis yang dipuja banyak orang, padahal kenyataannya jauh berbeda dengan kehidupan pribadi. Bisa memberikan nasihat yang ciamik namun tidak bisa menerapkannya untuk diri sendiri.

"Cinta yang dewasa itu tentang bagaimana bisa saling mengerti. Gak perlu hal besar dan hebat, cukup sesuatu yang manis dan membekas. Tidak perlu pula lama, asalkan selalu ada." Sebuah suara menyela pembicaraanku dan Leo.

Suaranya begitu berat dan dalam, wajah datar dan tubuh menjulang berdiri di sebelah meja. Mataku melebar begitu mendapati sosok Ardhan dengan wajah datarnya. Dia terlihat begitu santai dengan kaos polos abu-abu tua dan celana army pendek.

"Nyambung aja lo. Emang lo pikir ini wifi gratisan," semburku sebal.

"Kok lo kesel banget sih? Gue punya mulut buat bicara. Lagian temen lo oke aja, malah kelihatannya setuju dengan gue," kata Ardan yang sepertinya tidak pernah mau kalah beradu argumen denganku.

Aku menatap Leo yang kini memperhatikanku dengan mata menyipit. Buru-buru aku bangkit dari dudukku, ingin kabur secepat mungkin sebelum Leo bertanya lebih jauh soal aku dan Ardhan. Satu tahun berpacaran dengan Ardhan, hanya Bemby yang tau bagaimana kisah kami. Leo taunya aku jomblo seumur hidup.

Buru-buru memang nama belakang keduaku setelah keras kepala. Akibat dari buru-buru itu banyak hal. Sekarang ini, kakiku menyandung kaki meja, tidak sampai membuatku jatuh terjerembap ke arah Ardhan, tapi cukup membuatku meringis kesakitan.

Jangan tanya bagaimana ekspresi Ardhan, dia hanya menatapku datar sambil geleng-geleng kepala. Sedangkan Leo tertawa geli seraya berkata, "Kebiasaan buruk lo emang susah ilang. Bawaan orok noh!"

Untuk keseribu kalinya aku mempermalukan diri ini di hadapan Ardhan. "Bawel lo Le. Nanti malam jangan lupa ya Le," kataku pada Leo sebelum aku berhasil kabur dari sana dengan kaki yang sedikit pincang.

Bersambung

Cerita ini akhirnya bisa aku lanjutin lagi ya. Maaf sempat kepending lama, soalnya harus nyelesaiin cerita-cerita lain.

Jangan lupa vote dan komentarnya, yang rame ya biar nanti malam aku bisa update lagi :)

Gue VS MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang