Bab 9

8.3K 1.5K 110
                                    

Rasa ini masih ada
Tapi gengsi lebih tinggi
•••

Aku duduk di teras rumah, menikmati semilir angin malam yang cukup dingin. Aku baru selesai teleponan dengan Bemby. Aku menceritakan kejadian di sini, aku sedang butuh teman cerita dan hanya Bemby yang terlintas dalam ingatanku.

"Putri kamu gak usah pura-pura lemah cuma untuk dapat perhatian dari keluarga," suara Jihan terdengar sinis. Dia berjalan menuju kursi kosong. Duduk di sana dengan raut wajah datar.

Aku hanya diam saja, tidak ingin berdebat dengan Jihan. Aku memilih memainkan ponselku. Mengecek e-mail yang sudah tidak aku cek sejak sampai di sini.

"Bagus kalau kamu putus dengan Ardhan. Aku gak suka kamu pacaran sama Ardhan, apa lagi sampai nikah," ujar Jihan lagi.

"Kenapa? Ardhan bukan pacar kamu ini," jawabku dengan nada santai.

"Karena aku gak suka kamu punya yang melebihi aku." Jihan bangun dari duduknya, dia meninggalkan aku sendirian.

Aku paham kenapa Jihan seperti itu, secara silsilah memang kedudukan Ardhan lebih tinggi dibanding Daren. Tapi aku gak menyangka bahwa itu melukai Jihan.

Sisi kompetitif Jihan tidak berkurang sedikitpun. Padahal aku kira setelah lama berpisah kota aku dan dia bisa sedikit akur. Layaknya saudara seumuran, apa lagi hanya kami berdua cucu perempuan.

Pada saat seperi ini aku rindu dengan papa. Saat mama tidak bisa membelaku dari Jihan. Selalu ada papa yang berhasil menghiburku.

Dulu masih dengan seragam pilotnya papa akan menggendongku di punggung dan menghiburku. Ingatanku soal papa memang hanya bertahan sampai aku berumur 17 tahun. Tapi aku tidak pernah lupa dengan sosok papa.

Sebuah tangan lembut memegang pundakku pelan. Aku menoleh dan mendapati mama berdiri di sana. "Mau tidur sama mama? Kita pulang ke rumah lama," ajak mama.

Aku menatap mama dengan dahi berkerut. "Rumah lama pasti berdebu Ma," ujarku.

Rumah lama yang mama maksud itu rumah tempat aku, mama dan papa tinggal. Saat papa meninggal, aku dan mama pindah ke rumah eyang.

"Rumahnya selalu mama bersihkan Sel. Apa lagi mama tau kamu mau pulang," ujar mama.

"Ide bagus. Misel butuh suasana yang lebih akrab dengannya," Tante Winda muncul di sebelah mama dengan senyum manisnya. "Tapi ada syaratnya, bawa obat kamu dan Ardhan," lanjut Tante Winda.

Aku menekuk wajahku begitu mendengar nama Ardhan disebut. "Misel mau?" tanya mama menggu keputusanku. Sepertinya mama tidak masalah jika Ardhan mengekor.

"Ardhan harus ikut Tante?" tanyaku hati-hati.

Tante Winda tersenyum dan berkata, "Misel. Kasihan mama kamu nanti panik kalau kamu kenapa-kenapa, seenggaknya ada Ardhan yang sudah pahan kondisi kamu. Meskipun gak ada Bunda, Ardhan bisa menangani kamu," nasihat Tante Winda.

Aku menatap mama yang mengangguk setuju dengan penjelasan Tante Winda. "Eyang gimana Ma?" tanyaku pada mama.

"Soal itu biar mama yang minta izin. Di sini juga terlalu ramai, kamarnya tidak cukup," sahut mama.

"Maaf ya Mbak. Kami sekeluarga maunya nginap di hotel. Tapi gak enak nolak tawaran Eyang Putri." sepertinya Tante Winda merasa tidak enak karena kondisi rumah.

"Harusnya keluarga kami yang minta maaf Mbakyu. Gak bisa kasih pelayanab prima," sahut mama. Kedua perempuan paruh baya itu kompak tertawa.

Aku kok berasa ngelihat mama lagi ngobrol dengan besannya ya?

"Astaga!" seruku kaget dan langsung tersadar dengan pikiranku sendiri.

•••

Aku dan mama membawa perlengkapan seadanya. Mama juga membawa baju pesta kami. Sepertinya kami akan tinggal di rumah lama dan hanya datang ke acara pesta.

"Ma kok bawa bajunya banyak?" aku bertanya saat bawaanku tidak begitu banyak beda dengan mama.

"Kita tinggal di rumah lama selama kamu di Jogja," ujar mama tegas. "Mama gak terima anak mama diperlakukan seperti tadi," lanjut mama lagi.

Aku memeluk mama penuh perhatian. "Gak sekalian ikut aku ke Jakarta Ma?" aku menatap mama penuh permintaan.

Ajaibnya mama mengangguk setuju dan aku langsung kegirangan memeluk mama. "Gak boleh berubah pikiran lagi ya!" seruku semangat.

Saat aku masih begitu senang, dehaman pelan eyang menghentikanku. Eyang berdiri di depan pintu kamar memandang aku dan mama.

"Ranti, kamu serius mau pindah ke Jakarta?" tanya eyang lugas.

"Maaf Bu. Ranti gak bisa ngelihat anak Ranti satu-satunya diperlakukan seperti tadi. Cukup Ranti saja yang dianggap sebelah mata Bu. Jangan Misel juga," ujar mama yang raut wajahnya terlihat tenang.

Eyang menghembuskan napasnya pelan. "Tapi tidak perlu ikut pindah Ranti," kata eyang selanjutnya.

"Bu. Misel sendirian di Jakarta sampai Ranti gak tau kalau dia mengalami hal buruk. Tolong Bu biarkan Ranti ikut Misel. Aku juga gak kuat lagi Bu melihat kelakuan Jihan pada Misel dan Ibu yang selalu membela Jihan. Anakku cucu Ibu juga," kata mama panjang lebar.

Aku memegang pundak mama. "Ma sudah, Misel gak papa kok," kataku menenangkan mama. "Eyang biarkan Mama ikut Putri. Putri janji bakalan sering ajak Mama pulang ke sini," pintaku pada eyang.

Tidak ada sahutan, eyang terlihat masih enggan memberikan izin. "Eyang. Putri gak minta perhatian Eyang, Putri cuma minta perhatian Mama Putri," kataku menatap eyang berani.

Eyang diam saja dan berbalik meninggalkan aku dan mama. Aku menatap mama sedih. Seolah paham, mama memberikan senyum terbaiknya.

"Mama tetap ikut Misel. Kalau pesan tiket jangan lupa pesankan Mama," ujar mama yang aku jawab dengan anggukkan.

"Misel pinjam mobil Kemas dulu ya Ma," kataku melangkah keluar kamar.

Di ruang tamu beberapa berkumpul sambil mengobrol. Aku melihat Kemas sedang duduk memainkan ponselnya. Aku berniat menghampiri Kemas ketika Ardhan menghampiriku lebih dulu.

"Sudah siap?" tanya Ardhan santai. Tangan sebelah kanannya memegang baju batik yang tergantung dihanger.

"Udah aku mau pinjam mobil Kemas dulu," kataku.

"Gak usah. Tadi aku minta Desy kirimin satu mobil ke sini dari lokasi syuting," jawab Ardhan.

Memang tadi Ardhan sempat bilang bahwa besok pagi dia harus ke lokasi syuting yang kebetulan ada di Jogja. Sepertinya Ardhan hanya memeriksa sebentar saja.

Aku mengangguk mengerti dan kembali ke kamar diikuti Ardhan. Aku mengambil koper mama dan menyandang sendiri ranselku. Mama membawa baju seragamku dan miliknya.

Tangan Ardhan menjulurkan baju batiknya padaku. Aku menatap Ardhan aneh. "Pegangin," ujarnya datar.

Aku mengambil baju Ardhan dan kemudian sedikit kaget saat Ardhan meraih ranselku dan koper mama. Sebelumnya dia menyerahkan kunci mobil padaku.

"Bukain mobilnya," perintahnya.

Aku dan mama mengekor di belakang Ardhan. Tapi langkah kami berhenti saat Tante Winda menghampiri.

"Obatnya sudah dibawa Sel?" tanya Tante Winda.

"Sudah Ardhan bawa Bun ada di koperku," sahut Ardhan datar dan langsung melanjutkan jalannya. Sedangkan aku hanya senyum malu ketawan lupa dengan obat sendiri.

Bersambung

Jangan lupa vote dan komentarnya😊

Gue VS MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang