Bab 8

7.8K 1.4K 123
                                    

Perhatian yang tidak aku harapkan
•••

"Kalau gak bisa saya dan Daren nginap di hotel saja," tegas Ardhan.

"Sebenarnya ada apa ini? Misel gak keberatankan tidur dengan Kemas, atau nanti Kemas tidur di ruang tamu atas. Jadi Daren dan Ardhan tetap di kamar Misel," mama masuk menyela perdebatan tidak penting ini.

"Bukan begitu Tante. Sebenarnya Misel pernah... "

"Ardhan!" aku berteriak memperingatkan Ardhan untuk tidak buka suara lebih lanjut.

"Putri tidur di kamar Kemas. Jangan ada yang membantah lagi," perintah eyang tegas.

Hatiku sakit dan terluka saat eyang tidak sedikit pun bertanya atau membelaku. Bahkan eyang tidak menyarankan aku tidur dengan Jihan yang notabene perempuan.

Ardhan maju selangkah, dia memegang pundakku. "Misel lo bawa obat?" Ardhan bertanya dengan nada keras.

"Obat apa?" tanya mama.

"Misel ini mengalami trauma berat Tante. Dia bisa sesak napas kalau tidur ditempat dan orang asing," jelas Ardhan. "Lo bawa obat lo Misel?" sekali lagi Ardhan bertanya.

Aku menggeleng pelan ketika ingat aku meninggalkan obatku di Jakarta. Sejujurnya aku tidak mengira bakal membutuhkan obat itu di sini. Aku menatap Ardhan dengan sedikit panik. Kilasan kejadian dulu mulai merasuki ingatanku lagi.

"Misel! Jangan diingat," Ardhan langsung mengguncangku. Dia memperingatkanku dan membimbingku mengambil napas perlahan.

"Bunda!" teriak Ardhan langsung saat aku mulai menangis tersedu-sedu.

Keadaan sekitarku langsung panik saat aku tidak sanggup menopang beratku sendiri. Aku terduduk di lantai bersama Ardhan yang memegangiku. Dia terus memanggil namaku, tapi aku merasa ingin terus menangis.

"Misel sadar!" suara Tante Winda menggema. "Daren ambil tas Bunda di kamar," aku masih bisa mendengar suara mereka semua.

Bahkan saar Ardhan berkata, "Misel gak bawa obatnya Bun."

"Misel sayang sadar, jawab Bunda. Kamu bawa resep obat kamu?" aku menangis tambah keras, tidak bisa menjawab apa-apa.

Ardhan melepasku pelan meminta mama menahanku. "Copy resepnya ada sama Ardhan. Kemas saya pinjam mobil kamu."

Selanjutnya aku hilang kesadaran bersama dengan pekikan histeris mama.

•••

Aku membuka mata perlahan, rasanya aku begitu lemas. "Mama," panggilku saat melihat mama duduk cemas di sebelahku. Ada bekas air mata di pipinya.

"Misel minum obat dulu," Tante Winda yang merupakan seorang psikiater memberikan obat yang familiar denganku.

Ardhan berdiri di belakang Tante Winda. Dia menatapku lurus dengan wajah datar. Tidak ada perubahan apa pun pada wajah Ardhan.

"Ardhan kamu temani Misel dulu. Bunda mau menjelaskan kondisi Misel," perintah Tante Winda yang kemudian mengajak semua orang kecuali Ardhan keluar kamar.

Aku diam saja tidak ingin membicarakan apapun. "Ajak Misel ngobrol Ardhan. Jangan dibiarkan melamun," ucap Tante Winda saat keluar.

Aku melirik Ardhan yang menggerakkan bibirnya akan mengucapkan sesuatu. "Gue gak melamun," kataku langsung.

Gue VS MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang