Bab 4

9.2K 1.4K 43
                                    

Pulang ke kampung halaman seorang diri bukanlah kejahatan
•••

Pulang ke Jogja dengan kereta sudah menjadi kebiasaanku. Tujuannya cuma satu, menghemat uang. Naik pesawat tentu saja tiket lebih mahal, lagi pula dengan kereta aku bisa menikmati perjalanan panjang. Jujur saja perjalanan panjang yang aku nikmati hanya lelah.

Alasanku ketika sampai di Jogja nanti. Aku akan langsung istirahat dengan dalih kelelahan. Kalau tidak begitu, semua rentetan pertanyaan tentang pasangan akan terus terngiang.

Begitu aku keluar stasiun seorang pria muda melambaikan tangannya. Aku tersenyum saat mengenali sepupuku Kemas. Langkah kakiku sedikit ringan dan riang, aku hanya membawa satu buah ransel yang berisi beberapa potong bajuku.

"Tambah cantik aja Mbak," ungkap Kemas saat kami sudah masuk ke dalam mobil.

Aku tersenyum geli karena nada bicara Kemas yang masih kental dengan nada jawa. Dari semua keluarga hanya aku yang tidak bisa bahasa jawa. Inilah efek dari terlalu lama merantau dan sejak kecil dibiasakan orang tua berbahasa indonesia yang benar.

"Kamu kuliah dimana Mas?" tanyaku dengan mata yang sibuk memandang ke jalan yang sudah lama tidak aku lihat.

"UGM Mbak."

"Jurusan apa?"

"Kedokteran hewan Mbak."

Seketika aku mengalihkan pandanganku menuju Kemas yang mengemudi dengan santai. Mataku terbelalak karena kaget. Aku kira Kemas akan meneruskan keinginannya pada dunia seni.

"Serius? Emang Bude Kinan serem banget Mas?"

"Maksudnya Mbak?"

"Ya itu, kalau kamu ambil seni emang Bude Kinan bakal ngamuk ya? Bisa banget berubah pikiran," kelakarku.

Kemas tertawa kecil dan kemudian berkata, "Enggak Mbak, aku yang berubah pikiran."

Alisku berkerut karena penasaran. Belum sempat aku bertanya lebih lanjut, Kemas sudah langsung berucap, "Aku ceritain nanti aja, lagi nyetir nih."

Sisa perjalanan yang tidak begitu panjang itu pun akhirnya hanya diselimuti kesunyian. Saat mobil masuk ke dalam pelataran rumah yang luasnya masih sama sejak dulu, sosok Jihan duduk di teras rumah. Tangannya sibuk memegang ponsel dan kepalanya tertunduk. Rambut panjangnya menjuntai ke bawah, membuatku hampir berteriak ngeri.

Aku turun dari mobil, lain halnya dengan Kemas yang langsung kabur lagi. Dia bilang mau pergi kuliah, tapi aku bertaruh bukan itu tujuannya.

Kakiku melangkah pelan, apa lagi saat Jihan mengangkat kepalanya. Mata kami bertemu dan saat itu juga Jihan memandangku dari atas hingga bawah.

Aku mendengus pelan dan mempercepat langkah kakiku. Aku masuk ke dalam rumah setelah mengucap salam. Di ruang tamu ternyata sedang ramai. Ada tiga orang budeku, mama dan eyang.

"Putri!" seruan Jihan yang menyusulku memecah obrolan orang-orang di sana. Padahal saat aku mengucap salam pelan mereka tidak begitu mendengar.

Aku mendelik pada Jihan, rasanya si manusia nyebelin ini bakalan memulai perang saat ini juga. Mataku kemudian melirik ke arah eyang yang menatap kami secara bergantian. Aku menghembuskan napas pelan dan mencoba mengontrol emosiku.

"Kamu balik gak bawa gandengan?" tanya Jihan dan aku hanya diam saja. "Gak malu kamu?" lanjutnya lagi.

"Aku gak berbuat salah, kenapa harus malu?" jawabku dan langsung berjalan menuju ke arah eyang. Menyalami eyang lembut.

"Kasihan dong sama Bulik Ranti, semua cucu eyang bawa pasangan. Cuma kamu sendiri yang enggak, kerja di Jakarta gak ngebuat lo menarik buat dilirik ya?"

Kalimat pedas Jihan begitu jahat, rasanya aku ingin memaki Jihan. Tetapi semua lenyap saat aku melihat ke arah mama yang menggeleng pelan. Pertanda aku dilarang cari ribut.

Akhirnya aku hanya bisa diam dan berjalan menyalami para budeku, kemudian berakhir pada mama. Aku memeluk beliau pelan, rasanya begitu nyaman.

"Putri istirahat dulu, nanti sore bisa kenalan sama tunangan Jihan," perintah eyang yang hanya dapat aku angguki.

•••

Aku hanya bisa tidur-tiduran tidak tenang. Ucapan Jihan tadi begitu mengusikku. Aku memikirkan mama yang pasti sakit hati dengan Jihan tapi tak bisa apa-apa.

Mama memang anak terakhir, jadinya seperti ini, hanya bisa menurut saja. Sebenarnya dulu saat papa masih hidup tidak seperti ini. Mama justru disegani karena pekerjaan papa. Tapi, semenjak papa meninggal seolah-olah mama bukan apa-apa lagi.

"Misel ngelamunin apa?" suara lembut mama membuyarkan pikiranku. Di keluargaku hanya mama dan papa yang memanggilku Misel, sisanya memanggilku Putri.

"Gak papa Ma. Cuma lelah aja," sahutku pelan.

Mama duduk di tepi ranjang dan aku bangun memeluk mama. "Misel kangen mama," ucapku.

"Mama gak kangen Misel tuh," jawab mama menggodaku. Tentu saja senyumku terbit.

"Mama gak mau ikut Misel pindah? Misel udah punya apartemen sendiri Ma." dari dulu aku paling gak bisa membujuk mama buat ikut pindah denganku ke Jakarta.

Mama mengurai pelukan kami dan langsung menjitak dahiku pelan. "Jangan mulai lagi ya, mama kan udah bilang apa syaratnya."

Aku mendengus pelan mendengar ucapan mama. Syarat yang mama ajukan mudah, mama cuma mau aku punya pacar dan mama bakalan ikut pindah ke Jakarta. Sebenarnya aku bisa ngajak mama pindah saat masih pacaran dengan Ardhan, cuma entah kenapa aku belum siap buat mama ketemu sama Ardhan.

"Eyang cariin kemana taunya di sini," sebuah suara lembut dengan aksen jawa kental melerai aku dan mama.

Eyang berdiri di pintu kamarku dengan senyum khasnya. "Ayo keluar, Putri belum kenalan sama calonnya Jihan," ajak eyang sambil melambaikan tangannya pelan.

Aku tersenyum dan turun dari ranjang. Menggandeng lengan eyang semangat. Sementara mama hanya tertawa kecil dan berkata, "Nah mulai deh mama dicuekin kalau ada eyang."

Aku hanya mengedipkan sebelah mataku pada mama. Kemudian aku dan eyang berjalan bersama menuju ruang tengah. Di sana sudah berkumpul beberapa orang anggota keluargaku. Ada Kemas juga yang sedang diomeli Bude Kinan.

Tentunya juga ada Jihan yang menatapku sinis. Aku mendudukkan eyang di kursi kepala. Tempat favorit eyang.

"Loh Putri kapan pulangnya?" tanya Mas Jibran, kakak laki-laki Jihan.

"Tadi siang Mas." aku mengambil duduk di sebelah Kemas yang masih diomei Bude Kinan dengan bahasa jawa.

Aku hanya bisa diam saja saat mereka ngobrol dengan bahasa jawa. Yang bisa aku ajak ngobrol juga tidak ada. Rasanya aku bukan bagian dari keluarga ini, atau mungkin aku harus ambil kursus bahasa jawa?

Pilihanku jatuh pada ponselku, aku membuka grup chat baru untuk proyek sinet yang diproduseri Ardhan. Tidak ada kerjaan memang saat aku menscroll isi chat. Seketika itu aku baru ingat kalau seharusnya aku ikut rapat tadi siang via video call.

Mataku terbelalak kaget saat ternyata Mbak Desy membombandirku dengan banyak chat. Napasku lega saat Mbak Desy mengabari bahwa rapat ditunda karena Ardhan berhalangan.

"Sibuk pacaran kali ya dia," gumamku pelan, kecewa tiba-tiba. Apa iya aku kecewa karena aku tidak bisa melihat Ardhan?

Bersambung

Jangan lupa vote dan komentarnya 😊

Gue VS MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang