Bab 14

5.9K 1.4K 123
                                    

Kenapa harus dibawa susah? Kalau masih cinta tinggal akui saja – Mama

∞∞∞

Minggu pagi yang biasanya aku gunakan untuk bersantai di perpustakaan mini milikku, kini aku gunakan untuk tidur-tidur santai di ruang tengah. Bibirku mengkerut menatap mama yang hanya bisa geleng-geleng kepala menatapku. Beberapa menit yang lalu aku baru sadar dari alam mimpi dan biasanya aku langsung mencari novel romantis yang siap aku lahap untuk satu hari ini.

"Jadi keponakan Mama tersayang itu kapan nikahnya? Misel gak kuat nih tiap minggu begini mulu," ujarku dengan kalimat yang agak dilebih-lebihkan dikit.

Mama mendelik ke arahku sambil meletakkan sepiring buah pear yang telah dikupas. "Jangan lebay Sel, cukup cerita FTV kamu aja yang lebay. Kelakuan jangan ikut-ikutan," komentar mama agak sadis juga.

"Ih Ma! Misel serius tau!"

"Udah kamu mandi sana, keluar aja deh jangan di rumah. Pusing Mama ntar kalau Jihan bahun kalian adu mulut," usir mama tak berperasaan.

"Mau keluar kemana Ma? Misel libur, ini hari Minggu dan Misel lagi gak ada proyek apapun."

"Ketemu Ardhan kek atau apa gitu," ujar mama agak ngotot.

Aku menghela napas pelan saat mendengar nama Ardhan keluar dari bibir manis mamaku tersayang. "Ngapain Misel ketemu Ardhan ma?"

Mama menepuk kakiku pelan dan aku merespon dengan menurunkan kakiku menjuntai, aku duduk tegap di atas sofa yang tadinya aku tiduri. Mama berpindah duduk di sebelahku, tatapan mata mama melembut. Kalau sudah begini pasti mama mau ngomong suatu hal yang serius banget.

"Sel coba sekali aja kamu sama Jihan itu akur," Mama berhenti sejenak sambil mengelus pelan rambutku. "Jihan sebenarnya lagi butuh bantuan kamu. Daren sama Jihan lagi ribut, kamu bisakan minta tolong Ardhan buat bikin janji sama Daren. Kamu bawa Jihan," lanjut mama kemudian.

Aku mendengus pelan dan kemudian berkata, "Pasti permintaannya Bude kan?"

Mama mengangguk pelan. "Iya semalam Bude kamu telepon minta tolong kamu urus Jihan," ucap mama yang aku balas dengan dengusan pelan. Males banget sih harus ngurusin mak lampir model Jihan.

"Ma! Aku sama Ardhan itu udah putus, gak mungkin dong aku tiba-tiba ngajakin ketemuan yang kesannya double date gitu."

"Udah putus tapi masih sayangkan? Masih cintakan?" Mama menyenggol pelan kakiku. "Kenapa harus dibawa susah? Kalau masih cinta tinggal akui saja," lanjut mama dengan santainya. Kalau semuanya semudah itu, udah dari kemarin-kemarin kali aku balikan dengan Ardhan.

Aku diam saja tidak menganggapi pertanyaan jahil mama, kalau dilanjut mama bisa-bisa tambah semangat menggodaku. Jujur saja aku paling tidak bisa digoda seperti ini, bisa-bisa aku langsung mengaku bahwa aku memang masih sayang dan cinta sama Ardhan.

"Kamu sama Ardhan kenapa putus Sel? Kamu belum cerita sama Mama," lanjut mama dengan wajah keponya. Bahkan sekarang mama sudah memeluk setoples keripik pisang dan menatapku bersiap mendengarkan ceritaku.

Aku tersenyum pahit jika mengingat beberapa waktu lalu, sebenarnya aku minta putus dengan Ardhan bukan karena naskah drama musikal itu. Hanya aku saja yang terlalu cepat mengambil keputusan dan termakan omongan orang. Penyesalan memang selalu datang belakangan dan aku menjadikan pekerjaan sebagai alasan dan tameng dari rasa maluku.

"Mama bangunin Jihan deh. Aku mau ke rumah Tante Winda," kataku menghindari pertanyaan mama.

"Ngapain?" Mama melirikku ingin tahu.

"Tante Winda minta tolong bantuin buat kue untuk arisan keluarga nanti sore," sahutku yang langsung melenggang menuju kamarku. Aku sudah tidak mendengar jawaban mama lagi, tidak mau mendengar pertanyaan kepo mama lebih banyak lagi.

Aku mungkin tidak begitu mahir memasak lauk pauk dan sayur-sayuran, tapi aku cukup terampil dalam membuat kue. Hal ini karena saat dulu kuliah jauh dari orangtua aku sempat mengambil pekerjaan di toko kue setiap akhir pekan. Jadi aku sempat beberapa kali diajari membuat kue oleh owner-nya yang baik dan cantik, namun sayang selalu sendiri alias single sejak lahir.

∞∞∞

"Senyum dikit kenapa sih, mau ketemu calon mertua muka butek mirip kain pel lo," cibirku pada Jihan saat aku hendak membuka pintu mobil. Saat ini aku dan Jihan sudah sampai di rumah Tante Winda alias rumahnya Ardhan.

"Bukan urusan lo," sahut Jihan ketus dan jalan duluan meninggalkan aku di belakang.

Aku membuat gerakan meninju di belakang Jihan, kalau bukan karena mama yang minta juga aku ogah bawa ini bocah kesurupan ke sini. Saat jarak ke pintu kurang lebih tinggal satu meter, aku menerobos jalan duluan dan menyenggol bahu Jihan dari belakang dengan sengaja.

Diam-diam aku tersenyum saat mendengar Jihan meringis dan aku dapat memastikan dia sedang melotot galak di belakangku. Tanganku terangkat memencet bel rumah sambil berusaha menahan tawa. Puas saja rasanya ngerjain si Jihan, jangan dia kira aku gak bisa jahat sama dia. Sorry-sorry-lagunya SUJU- nih ya aku mau diam aja dia nyinyirin gitu.

Pintu rumah Tante Winda terbuka, berdiri sosok tegap dengan wajah datar dan tidak ada ramah-ramahnya sama sekali di hadapanku. Yup! Kalian benar! Dia Ardhan sodara-sodara. Uh-oh! Kenapa Ardhan kelihatan sangat tampan dengan kaos hitam bergambar gitar dan celana pendek selutut.

"Masuk, udah ditungguin Bunda," ucap Ardhan singkat dan langsung berjalan meninggalkan aku dan Jihan di depan pintu.

Kelakuan Ardhan memang tidak pernah berubah, tidak ada ramah-ramahnya sama sekali. Kata Tante Winda sih sudah bawaan lahir begitu, turunan bapake-nya. Aku dengan santai berjalan masuk diikuti Jihan yang diam saja. Mungkin Jihan sudah mulai memasang kepribadian ramahnya, kalau dilihat-lihat si Jihan ini memang bipolar kali ya.

"Misel sayang! Ayo bantuin Bunda!" seru Tante Winda begitu melihatku di dekat meja makan. Di dapur bukan hanya ada Tante Winda, tetapi juga ada Tante Yeyen.

"Camer lo tuh!" bisikku pelan pada Jihan yang berdiri di sebelahku.

Aku pun mendekat ke arah dapur, tentunya si Jihan masih setia mengekoriku. Karena penasaran, aku melirik sampingku dan Jihan terlihat tidak begitu baik dari rawut wajahnya. Dajiku berkerut sedikit, bertanya-tanya sebenarnya masalah apa yang terjadi antara Jihan dan Daren?

Begitu sampai di dapur, Tante Winda dan Tante Yeyen bergantian cipika-cipiki denganku dan Jihan. "Jadi mau buat apa Tan?" tanyaku ramah.

"Gini Sel. Tante kan mau buat bolu pisang ya, tapi hasilnya malah begini," ujar Tante Winda sambil memperlihatkan bolu pisang bantet buatannya.

"Ya udah Tan sini biar Misel bantuin buat ulang," Aku menggulung lengan kemeja panjangku. Baru saja aku akan memulai acara bikin kue, Tante Yeyen berujar, "Jihan bisa bicara dulu kita?"

Aku menatap Jihan yang mengangguk pelan dan kemudian menatap Tante Yeyen yang berjalan menuju ruang keluarga. "Sel!" Aku tersentak kaget saat Tante Winda memanggilku dan menyentuh tanganku pelan. "Ayo kita lanjutin," lanjut beliau lagi.

Aku mengagguk pelan pada Tante Winda ketika ujung mataku menangkap sosok Ardhan yang berdiri di dekat kulkas sambil menatapku. Kok aku jadi panas dingin begini ya ditatap Ardhan?

Bersambung

Hallooooo aku kembali lagi nih, yuk ramein biar besok aku bisa semangat lagi updatenya :)

Jangan lupa vote dan komentarnya :)

Gue VS MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang