Bab 5

9.8K 1.3K 52
                                    

Kesialan apa lagi ini ya Tuhan?
•••

"Putri belum punya pacar? Mau Bude kenalin sama anak temen Bude gak?" tawar Bude Lilis yang duduk di hadapanku.

Semua mata memandang ke arahku, mereka penasaran dengan jawabanku. Diam-diam aku besumpah serapah di dalam hati. Apa lagi saat Kemas ikutan berkelakar.

"Bulik jangan gitu dong. Mbak Putri pasti doyannya cowok Jakarta."

Aku melirik pelan Kemas yang tersenyum mengejekku. Awas saja bocah edan ini.

Baru saja aku ingin menjawab tawaran Bude Lilis, sebuah suara berat menginterupsiku. Disusul dengan pekikan senang Jihan, belum menoleh saja aku sudah tahu itu pasti tunangan Jihan.

Aku menoleh saat disenggol Kemas. Mataku membelalak lebar ketika melihat tunangan Jihan. Rasanya aku seperti akan melontarkan kedua biji mataku keluar dari sarangnya.

Daren berdiri dengan gagahnya dan menunggu Jihan memperkenalkannya dengan beberapa orang, yang sepertinya belum berkenalan dengan Daren. Termasuk aku? Uh-oh!

Jihan menatapku dengan senyum pongah. "Nah kalau itu Putri sepupuku, dia kerja di Jakarta sampai sekarang masih jomblo," kelakar Jihan yang mengundang gelak tawa.

Aku menatap Daren yang menatapku heran. Aku hanya bisa nyengir, apa lagi saat Jihan memperkenalkan Daren. "Ini tunanganku Mas Daren Put. Dia CEO rumah produksi di Jakarta, kamu bisa minta job sama dia kapan-kapan."

Aku melototi Jihan, tersinggung dengan ucapannya. Aku berdiri dari dudukku. Belum sempat aku membuka suara, Daren lebih dulu bersuara.

"Lo Misel kan? Kok nama lo putri?"

"Nama gue Miselly Putri," sahutku langsung.

"Jihan kok kamu gak cerita kalau sepupuan dengan Misel?" Daren bertanya pada Jihan yang terlihat heran. Kini giliran aku yang tersenyum penuh kemenangan.

Saatnya untuk aku yang buka suara, "Jihan mau kasih kejutan kali Ren. Lo sendiri bisa ya tunangan tanpa ngundang gue," ujarku kemudian.

Daren meringis pelan sebelum berkata, "Mana berani gue ngundang lo. Bisa lewat nyawa gue, nongol di hadapan lo aja gue mau pingsan rasanya."

Aku tertawa dan langsung duduk kembali. Diikuti Daren yang kini duduk di sebelah Jihan yang bingung. Semua mata memandang kami penasaran.

"Sel. Lo jangan nanyain soal darama musikal ya. Gue gak bisa milih antara lo dan Ardhan," ujar Daren langsung memperingatkanku.

Aku mengangguk setuju, rasanya aku ingin tertawa keras-keras melihat wajah Daren sekarang. Apa lagi saat mas Bude Lilis buka suara.

"Nak Daren kenal dengan Putri?"

"Kenal Bude. Misel itu ..." aku melototi Daren yang terlihat ragu. "Penulis script senior di perusahaanku Bude," jawab Daren akhirnya.

Aku menghembuskan napas lega karena Daren tidak berbicara yang aneh-aneh. Semua orang disana mengangguk dan merasa puas. Mungkin mereka puas karena aku hanya bawahannya Daren.

Acara santai itu berlanjut dengan para orang tua yang pindah menuju ruang depan. Mereka kedatangan ibu-ibu pengajian. Sedangkan yang muda masih berkumpul di ruang tengah.

"Mbak jadi mau dengar ceritaku gak?" Kemas mengajakku mengobrol saat Daren dan Mas Jibran berbincang. Jihan? Dia sudah seperti orang linglung. Mungkin tidak percaya aku mengenal Daren.

"Ntar malam aja Mas. Ajakin aku makan angkringan," pintaku pada Kemas.

Senyum Kemas mengembang, "Aku ajak teman boleh ya Mbak?"

"Teman tapi mesra?" sindirku. Dari senyum konyol Kemas saja aku sudah tau kalo dia ini lagi jatuh cinta. Apa lagi dia tertawa geli sekarang. "Terus aku jadi obat nyamuk?"

"Aku sama Mas Daren ikut ya!" seru Jihan tiba-tiba.

Daren menatap Jihan bingung. "Kita makan angkringan sama Putri dan Kemas," jelas Jihan pada Daren.

Wajah Daren terlihat panik dan aku mencium sesuatu yang janggal di sini. Apa lagi saat Daren gugup memandang Jihan.

"Kalian harusnya istirahat, besok kan acaranya," ujarku membantu Daren.

"Cuma makan angkringan gak bakal capek." Jihan terlihat tidak mau kalah.

"Iya sekalian ajak sepupu Daren. Bentar lagi mereka sampai juga." Mas Jibran menyela.

Aku melotot ke arah Daren yang hanya bisa menatapku merasa bersalah. Lagian aku juga yang bego kali ya, sudah tahu Daren dan Ardhan sepupuan. Mana mungkin Ardhan gak datang ke pertunangan sepupu kesayangannya.

Aku cuma tahu kalau Daren hanya punya satu sepupu yaitu Ardhan. Mereka sama-sama anak tunggal dan papanya Ardhan hanya punya satu adik perempuan mamanya Daren.

"Sayang sepertinya keluarga kamu udah datang deh," ujar Jihan bersemangat, sedangkan aku terasa lesu di tempat.

Kemas menyenggolku pelan, "Udah sih Mbak kita rame-rame perginya."

Aku langsung bangun dari dudukku begitu kesadaranku kembali. Aku mau kabur sebelum semua keluarga masuk ke sini. Kemas menahan tanganku, "Mbak mau kemana? Nantk Eyang marah kalau Mbak kabur."

"Plis Mas. Kali ini aja, aku mau balik ke Jakarta," ujarku mulai asal bicara.

"Putri mau pulang ke Jakarta?" suara Bude Kinan menghentikanku.

Aku menatap Kemas minta pertolongan. Untunglah Kemas langsung mengerti, dia bangun dari duduknya dan merangkulku. "Enggak Ma, tadi Mbak Putri bilang ke Kemas kalau i-pad-nya ketinggalan di Jakarta," ujar Kemas membantuku.

Tepat saat itu rombongan keluarga Daren masuk ke ruang tengah. Pria tinggi dengan wajah datar hadir di sana. Dia berdiri di sebelah Daren yang lebih pendek. Sedangkan papa dan bundanya Ardhan sibuk mengobrol dengan Bude Lilis dan Bude Galih. Ada juga orangtua Daren yang mengobrol dengan Pakde Herman.

Aku tidak bisa melepas pandangan dari Ardhan. Bahkan saat semua anggota keluarga dan tamu mengambil tempat duduk. Apa lagi saat aku melihat Daren berbisik pada Ardhan.

Aku mati rasa dalam rangkulan Kemas yang menatapku aneh. Mataku dan Ardhan bertemu pandang. Tatapan mata Ardhan begitu dingin meski sedikit melebar kaget.

Aku dan dia sama-sama tidak menyangka bahwa akan bertemu kembali seperti ini. Seketika aku menyumpahi Jihan di dalam hatiku. Dari sekian banyak pria kenapa harus Daren?

"Putri Kemas. Ayo duduk," perintah eyang pelan.

Aku langsung tersadar dan gugup seketika. Kemas menarikku duduk kembali. Aku mencoba memandang sekeliling dan mataku bertemu pandang dengan bundanya Ardhan. Beliau terlihat kaget menemukanku di sini.

Ardhan memang belum pernah berkenalan dengan keluargaku. Tapi aku sudah beberapa kali ikut acara keluarga Ardhan. Bahkan aku dekat dengan bundanya Ardhan. Hampir setiap akhir pekan aku dan Bunda Winda nge-mall.

"Mas lo bisa bawa Mbak kabur dari sini gak?" bisikku pada Kemas yang kebetulan tangannya masih merangkulku. Sehingga aku bisa berbisik dengan mudah.

"Gak berani Mbak. Ada Eyang, Mbak tau sendiri Eyang gimana," Kemas balas berbisik.

"Putri Kemas. Jangan asik sendiri," peringat mamaku sedikit keras. Aku hanya bisa pasrah dengan bahu lesu. Apa lagi Jihan memandangku dengan tatapan sini, rasanya aku ingin mencongkel kedua mata Jihan.

Bersambung

Jangan lupa vote dan komentarnya 😊

Gue VS MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang