Bab 11

9K 1.5K 134
                                    

High heels terkutuk!
•••

Pesta pertunangan ini terkategori mewah, cukup untuk membuat beberapa perempuan single iri hati. Wajar saja senyum pongah Jihan tidak pernah luntur dari wajahnya. Lucu kali ya kalau aku yang pakai kebaya tiba-tiba maju menjambak rambut sanggul si Jihan. Secara aku muak dengan muka sombongnya itu.

Sepertinya sebelum aku maju ke depan sana aku pasti bakal jatuh gelindingan. Mau gak mau aku hanya bisa duduk anteng di kursi saja. Buat sampai ke sini aja aku butuh perjuangan.

Maksudnya perjuangan menahan malu. Aku harus nyeker sampai masuk ke gedung. Barulah aku pakai high heels terkutuk ini ketika aku menemukan tempat yang nyaman.

"Gila kaget gue ngeliat nenek lampir pakai kebaya jalan tanpa alas kaki tadi," cerocos Bemby yang kini duduk di sebelahku.

"Anteng banget Sel. Biasanya lo kayak belatung," sindir Mbak Desy yang kini ikut bergabung bersaman aku dan Bemby.

Aku hanya bisa manyun saja, lagi malas adu argumen dengan mereka berdua. Jauh-jauh ke Jogja niat hati menjauh dari pekerjaan, eh yang dilihat muka dua bocah ini lagi. Bahkan paket lengkap bersama bossnya sekalian.

"Si Ardhan ganteng banget Sel," komentar Bemby yang hanya aku jawab dengan gumaman lesu.

"Lo sama Ardhan pakai baju couple?" tanya Mbak Desy yang mulutnya emang kurang ajar kalau di luar jam kerja. Mbak Desy bisa menanggalkan panggilan 'Pak' dan bahkan mengumpat pada Ardhan. Sableng memang dia.

Aku melirik Ardhan yang sedang mengobrol dengan beberapa orang manajer. Kemudian aku menunduk melihat rokku yang mirip dengan baju Ardhan.

"Gak sengaja sih," sahutku lesu. Mataku menjelajah setiap penjuru ruangan. Beberapa tamu sedang menikmati hidangan yang disediakan.

Acara tukar cincinnya sih sudah selsai dari tadi. Aku gak berniat buat menceritakan prosesinya bagaimana. Secara ini ceritaku bukan ceritanya si Jihan lampir itu.

"Bem ambilin minum sama makanan dong," pintaku pada Bemby yang sedang asik makan. Sedangkan Mbak Desy udah ngacir entah kemana, hanya tertinggal piring kosongnya dia aja.

Bemby menatapku dan kemudian memasukan potongan terakhir kuenya ke dalam mulut lebarnya. Dia berdiri dengan membawa serta minumnya. Aku tidak bisa menyembunyikan senyum senangku melihat Bemby.

"Ambil sendiri! Punya kaki kan?"

"Ya ampun Bem. Lo mau ngeliat gue jatuh gelindingan di sini?" aku memasang wajah memelas.

"Nyeker aja. Tadi lo nyeker gak malu," ujar Bemby yang dengan tidak berperikemanusiaan, dia meninggalkanku sendirian.

Kepalaku menjulur mencari mama, berniat meminta tolong. Namun apalah daya, mama jauh berada di depan dengan para bude dan eyang.

"Ya udahlah, aku nyeker aja!" putusku.

Tapi, sewaktu aku baru saja ingin menunduk untum melepas high heels terkutu ini, panggilan untuk foto keluarga terdengar. Aku bingung harus bagaimana. Masa iya aku nyeker berjalan ke depan sana?

Aku melihat ke arah mama yang juga melihatku. Mama berniat menghampiriku, beliau ingin menjemputku. Namun, mama ditahan oleh Bude Lilis yang menatapku tajam.

Aku hanya bisa duduk lesu dan tidak berniat buat ikutan foto bersama. Lagian gak ada aku juga gak masalah. Akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan kegiatanku melepas high heels sialan ini.

Tiba-tiba sebuah tangan meletakkan sepasang flat shoes di hadapanku. Flat shoes milikku yang tadi sempat aku tinggal di rumah eyang. Ketika aku mengangkat kepalaku, yang aku lihat hanya punggung tegap Ardhan. Dia sudah berjalan menjauh dariku.

•••

Aku membanting tubuhku ke atas ranjang, meluruskan pinggangku yang pegal karena terlalu banyak duduk. Mataku menerawang ke langit-langit kamar. Perlahan tanganku bergerak memegang dadaku, merasakan detak jantungku yang masih di atas normal.

Ardhan dan segala sikapnya, dia masih seperti dulu.

Membingungkan!

Aku tidak menyesal sama sekali karena tidak ikut foto keluarga. Toh aku dengan Jihan tidak akrab juga. Aku hanya menyesal karena tidak bisa menyampaikan ucapan terima kasih pada Ardhan.

Pasalnya, dari tempat acara aku dan mama pulang ke rumah dengan diantar Kemas. Sedangkan Ardhan pulang ke rumah eyang. Dia harus berangkat ke Jakarta dengan penerbangan pertama besok.

Ragu-ragu aku memegang ponselku. Aku membimbang apakah harus menghubungi Ardhan atau tidak. Tapi akhirnya aku menyerah, rasanya aneh saja kalau aku tiba-tiba bersikap manis pada Ardhan.

"Misel. Boleh Mama masuk?" aku menoleh ke arah pintu yang mengangguk kepada mama.

"Ada apa Ma?"

"Kamu sama Ardhan pacaran berapa lama?"

Akhirnya sesi interogasi dimulai. Kepalaku rasanya mulai nyut-nyutan. Apa lagi mama memasang muka seriusnya seperti ini, mana bisa aku mengelak.

"Satu tahun Ma," jawabku pelan dan mama mengangguk singkat.

Aku mulai merasa panas dingin. Mencoba menebak-nebak kalimat tanya apa yang akan mama lontarkan.

"Kenapa putus?"

Jleb!

Aku mengalihkan pandanganku ke sembarang arah. Pokoknya aku tidak mau menatap mata mama. Aku gak mau cerita dulu sama mama.

"Mama perlu banget ya tau?" aku bersuara seperti tikus yang mencicit saking pelannya suaraku.

Mama terlihat berpikir sejenak, beliau menimbang-nimbang pertanyaanku. Entah kenapa aku merasa kamar ini panas sekali, padahal AC sedang menyala.

"AC-nya rusak ya Ma?"

Gak nyambung dan terlihat banget aku mencari-cari alasan. Apa lagi saat mama kini menyipitkan matanya dan aku mulai duduk dengan gelisah. Jangan-jangan bokongku sudah mulai berkeringat.

"Jangan mengalihkan pembicaraan Sel," peringat mama yang cuma aku jawab dengan cengiran tak berdosa. "Ya sudah kalau gak mau jawab. Mama bisa tanya Ardhan nanti di Jakarta," lanjut mama dengan senyumnya yang mengembang.

Kini mataku sudah melebar sempurna. "Emang kapan Mama mau ketemu Ardhan?"

"Kapan aja bisa dong!" mama mengeluarkan ponselnya. Di layar ponsel itu ada nomor kontak bernama Ardhan.

Aku menggelengkan kepalaku. "Ma jangan aneh-aneh," pintaku pada mama.

"Gak aneh-aneh kok, mama cuma mau ngajak Ardhan makan aja nanti. Sebagai ucapan terima kasih."

"Misel aja yang ngucapin terima kasih. Mama gak usah ketemu-ketemuan sama Ardhan," larangku.

Mama tertawa kecil seraya berkata, "Mama single loh Misel, boleh dong ketemuan sama pria single juga."

Aku terpekik mendengar perkataan mama. "Ma! Misel gak mau punya bapak tiri yang umurnya muda begitu. Lagian Ardhan itu mantan Misel Ma!" cerocosku sambil panik.

Mama tertawa lepas, beliau bahkan sampai menepuk ranjang berkali-kali. "Mama bercanda Misel. Ya kali Mama udah gak waras lagi." Beliau menggodaku dengan raut wajahnya.

Aku mendengus sebal pada mama, bisa-bisanya mama membuatku histeris seperti tadi. Gak kebayang deh kalau Ardhan harus aku panggil dengan sebutan papa. Aku bergidik ngeri membayangkannya.

Mama berdiri dari duduknya dan menatapku dengan alis berkerut. "Misel ngebayangin harus manggil Ardhan dengan sebutan papa aja udah merinding Ma," keluhku.

"Coba bayanginnya tuh manggil papa karena anak kalian, pasti kamu senyum-senyum sendiri," ujar mama yang diakhiri dengan kedipan sebelah mata.

Aku hanya bisa diam melongo melihat mama yang kini melangkah keluar kamar.

"Ma! Kok nyebelin sih!"

Bersambung

Jangan lupa vote dan komentarnya 😊

Gue VS MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang