12. Bumi - "Keindahan Alam"

21 2 0
                                    

Bulan desember ini tanggal 21, hari dimana aku seharusnya menikah dengan Kak Moni, tapi semua sirna dia telah tiada beristirahat dialam sana. Salju mulai turun disini, aku sendirian didekat danau pulau Tervasaari, kini aku sendiri tak ada Ella disampingku. Pagi ini adalah hari sabtu, aku menikmati hari liburku santai disana.
Ella menelponku, dia bilang kalau dia berada di asramaku namun dia tak menemukanku disana. Aku bilang "Sini aku lagi di danau tempat biasa."

Beberapa menit kemudian Ella menghampiriku, dengan mobilnya. Dia orang yang sukses, sudah punya kendaraan pribadi. Aku bahkan tak bisa menyetir mobil. Aku mengobrol bersamanya di gubuk dekat danau arah selatan. Dia mengenakan jaket biru tebal, dan kerudung hitam, tanpa make-up dia sudah terlihat cantik.

"Maaf ya udah lama nunggu. Aku lagi banyak tugas nih, nanti April kan aku wisuda kayaknya, semoga aja doain ya." Dia duduk disampingku menatap danau, rerumputan disana berubah menjadi putih karena salju.
"Iya makasih, gak nyangka bentar lagi wisuda cepet tau, aku juga udah setahun lebih disini. Kalau udah lulus mau ngapain?" Aku menadah tanganku kearah salju yang turun.
"Aku mau lanjutin karir dulu dah, aku sekarang juga udah mau dikontrak jadi model juga di Linnanmaki Park. Kalau kamu nanti?" Mengayunkan kakinya, menatap kearahku.
"Aku gak tau, semenjak aku kehilangan Kak Moni aku jadi bingung."
Dia mendekatkan duduknya kearahku "Kan masih ada Dinda, ada aku juga, jangan sedih juga."
Aku menoleh kearahnya "Kalau Dinda aku gak enak hati ke dia, aku udah nyakitin hatinya secara perlahan. Aku masih sayang ama dia, tapi aku takutnya dia nganggap aku pelarian kehatinya doang. Kalau ke kamu, gimana ya... hatiku lebih milih Dinda, maaf ya."
"Yaudah coba dulu ama Dinda, kalau dia benar-benar cinta. Pasti dia serius kok ke kamu, kalau dia gak mau nanti ke aku aja haha..." Ella menepuk pundakku, tersenyum giginya sedikit terlihat. Aku bingung, dia masih mau tetap disampingku meski aku telah menolaknya, jarang wanita seperti dia.

Teleponku berdering, itu dari adikku Saza, aku langsung mengangkatnya.
"Kak! Kakak udah tau belum? Itu ayahnya Kak Dinda meninggal." Adikku suaranya agak berat, mungkin perbedaan waktu, disini jam 9 pagi, dan disana jam 5 pagi.

Aku terdiam kaget, mulutku tak bergeming untuk beberapa detik "Apa? Kapan meninggalnya? Kok Dinda gak bilang." Ekspresiku itu membuat Ella bingung dengan siapa aku menerima telepon.
"Tadi malem jam 9, sehat-sehat aja, tapi ya namanya juga ajal gak ada yang tau."
"Oke makasih ya dik, nanti aku mau tanya Dinda dulu." Aku menutup telepon dari dia.
"Kenapa?" Tanya Ella.
"Itu ayahnya Dinda meninggal, bentar mau telepon Dinda dulu." Aku berusaha menelepon dia dengan keadaan panik.

Dinda menjawabnya.
"Din.." Aku berkata pelan.
"Iya, Zaid ya? Ke.. na... pa?" Suaranya terbata-bata, ku tau dia sedang menangis.
"Din, aku udah tau, jangan sedih, ayo aku anterin balik ke Indonesia."
"I.. iya, aku... ayahku... A.. ku... kata ibu... aku... aku.. disana aja, jangan pulang.. Doain dari sana aja, tabung aja uangnya.. A..ku.. Hiiiks... " Dia menangis.
"Din, aku kesana ya."
"Kesini? Iya.. aku.. tung...gu ya... Aku... Aku... Kangen ayah..." Dia menangis, terdiam cukup lama.
"Iya aku tunggu..."
"I..ya..." Dia mematikan teleponnya.

Aku menceritakan semua itu pada Ella, dia juga menyaranku untuk pergi menemui untuk menghiburnya. Aku bergegas ke bandara Helsinki bersama Ella, dia hanya mengantarkanku sampai bandara, aku naik pesawat lepas landas ke Polandia.

Pergi langsung ke asramanya, dia tak ada disana. Citra temannya mengantarkanku ketempat dimana Dinda berada, dia berada di taman dekat sana. Salju mulai turun tipis perlahan, jam menunjukan pukul 2 siang namun suasana disini cukup dingin, cahaya matahari tak terlalu terik.

"Din, maaf lama..." Aku duduk disampingnya diatas bangku taman. Dia terdiam menatapku, tak ada yang dia katakan, menangis dipundakku. Air mata yang sedikit membasahi bajuku.

Aku mengerti, pasti sakit kehilangan orang yang kita sayangi, apalagi itu adalah orang tua kira sendiri. Dia memerlukan orang yang menghibur, mengisi hati yang kehilangan. Citra juga duduk disampingnya, menenangkan, mengelus lembur rambutnya. Terlalu banyak air mata yang menetes, terlihat kelopak matanya mulai berat. Aku menggenggam tangannya yang dingin, dia menatapku matanya mulai sayu. Dia pingsan kedinginan.

Polaris Cinta Kehidupan (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang