Delapan Belas

80 5 0
                                    

Satu tahun pasca tsunami, Aceh mulai berbenah, tsunami yang tidak hanya menimbulkan kerugian materil tetapi juga menghilangkan hampir setengah populasi masyarakat Aceh. Menghilangkan ratusan ribu jiwa, dan beberapa diantaranya masih belum ditemukan jasadnya. Beragam bantuan yang datang dari seluruh penjuru dunia, dan tindakan pemerintah dengan membentuk BRR, meski tidak mudah, membangun kembali Aceh layaknya membangun sebuah peradaban baru. BRR serta bantuan dari pihak luar khususnya Arab Saudi dan Turki dan beberapa negara lainnya terus berupanya membangun kembali wajah Aceh yang luluh lantak oleh tsunami.

15 Agustus 2005, Aceh mulai memasuki babak baru, konflik senjata yang berkepanjangan akhirnya berakhir dengan ditandatanganinya MoU perjanjian damai Aceh dengan Indonesia di Helsinki atau yang lebih dikenal dengan MoU Helsinki. Dengan berakhirnya konflik tersebut, Aceh kembali mendapatkan keistemewaannya dan menjadi daerah dengan otonomi khusus dengan kucuran dana APBD terbesar di Indonesia. Aceh mulai dipimpin oleh gubernur baru mereka yang dipilih melalui pemilu secara independen tanpa partai politik.

Pencarian korban juga masih saja terus dilakukan, yang tanpa mereka ketahui akan ada banyak yang tidak pernah ditemukan, entah dalam keadaan hidup maupun meninggal. Rasa kehilangan juga dirasakan oleh Mala, gadis kecil Aceh bermata biru ini kehilangan kedua orang tuanya, ia menemukan jenazah orang tuanya terkapar kaku tertimbun reruntuhan rumah tinggal mereka. Begitupun dengan bapak Abdullah dan Ibu Rini, pasangan suami-istri muda ini kehilangan anak semata wayang mereka, bedanya dengan Mala mereka berdua tak pernah menemukan jasad anaknya.

===

"Assalamualaikum pak cik, peu haba?" Sapa Nisa dan bersalaman dengan ayah Mala.

"Waalaikumsalam, alhamdulillah. Kau sendiri bagaimana? Sehat? Udah lama pak cik gak jumpa makin cantek rupanya. Ayo-ayo masuk, kita makan di rumah, Bunda udah masakin kemamah ikan kayu kesukaan kau dan Mala."

"Alhamdulillah, sehat pak cik." Nisa kemudian mengangguk tersenyum kemudian langsung masuk ke dalam mobil menyusul Mala yang sudah masuk duluan setelah membereskan koper Nisa.

Dalam perjalanan ayah Mala bercerita banyak mengenai Nagan Raya. "Kata Mala kau suka sekali sejarah Aceh akhir-akhir ini. Tau tentang Nagan Raya ini?"

Nisa hanya tersenyum memandang Mala dengan wajah tak berdosanya kemudian memandang ayah Mala dan menggelengkan kepalanya.

"Kabupaten ini hasil pemekaran dari kabupaten Aceh Barat, pada 2 Juli 2002. Kata Nagan sendiri punya kemiripan sama 5 kecamatan yang ada disini, tapi sampai sekarang belum diketahui pasti arti kata Nagan dalam bahasa Aceh. Sedangkan Raya artinya besar. Disini banyak perkebunan kepala sawit seperti di Subulussalam dan Singkil."

"Nampaknya pak cik ini paham betul sama sejarah ya."

"Pak cik ini kan dah tua, wajar lah. Kalian-kalian ini harusnya calon-calon penerus bangsa yang wajib tau tentang sejarah bangsanya." Ayah Mala berhenti sebentar memperlambat laju mobilnya dan melirik Nisa sebentar. "Pak cik lupa kalo kau bukan warga negara sini."

"Ayah ni, tapi betol juga ayah bilang tu. Cuma bule kita satu ini juga beda Yah, dia lebih tertarik pula sama sejarah kita. Orang pengen kuliah di Jerman dia bela-belain kuliah disini."

"Nah ini dia PLTU," Ayah Mala menunjuk bangunan super besar yang mereka lewati. "itu tandanya sebentar lagi kita akan memasuki kabupaten Aceh Barat." Ucap ayah Mala layaknya seorang tour guide.

"Kalo Meulaboh kayaknya kau paham betul lah ya. Tiap tahun datang ke Meulaboh pasti tau lah ya tentang kota Teuku Umar."

"Ya pak cik, Meulaboh dengan segala keindahan kotanya, sejarah, dan kenangan." Nisa tertawa di ujung kalimatnya.

Tidak lebih dari 30 menit mereka akhirnya sampai di rumah Mala. Masuk kedalam rumah tidak ada yang menjawab salam, keadaan rumah juga terlihat sepi.

"Mungkin Bunda lagi shalat." Jawab ayah Mala seolah mengerti wajah bingung dua gadis itu.

"Kamar aku masih berantakan, aku belum sempat membereskannya, barangmu taruh di kamar Bunda dulu ya. Ayo aku antar."

Nisa tak banyak bicara dan mengikuti sahabatnya itu. Ini kali pertamanya ia memasuki kamar orang tua Mala, di sana ada Bunda yang sedang shalat, namun, ia terfokus pada foto besar berukuran 10R yang terpajang di atas meja rias. Selesai meletakkan koper mereka berdua kembali keluar menuju ruang makan untuk makan malam bersama.

Selama makan mereka tidak banyak berbicara, memang sudah tradisi bagi keluarga ini utuk tidak berbicara saat makan, usai makan, Nisa membantu Mala membereskan meja makan sementara bunda mencuci piring. Setelah itu mereka berkumpul di ruang keluarga menyusul ayah Mala yang sedang menonton TV.

"Enak makannya?" Tanya ayah Mala saat mereka baru saja hendak duduk.

"Enak lah pak cik, masakan Bunda gak ada yang gak enak, apalagi keumamahnya."

"Bunda jadi igat anak bunda, dia pernah bilang gitu juga ke Bunda." Bunda menimpali dari dapur.

"Bunda punya anak selain Mala? Apa yang tadi di kamar itu? Eh maaf tadi Nisa gak sengaja liat foto di meja."

"Oh iya, aku gak pernah cerita tentang keluargaku. Sebenarnya ayah sama bunda adalah orang tua angkatku Nis. Orang tuaku meninggal sewaktu tsunami, anak ayah dan bunda adalah sahabat kecilku namanya Daus."

"Dulu Mala sama Daus sering banget berkelahi kalo udah main bareng, sering saling ejek-ejekan nama orang tua juga. Tapi mereka itu temen baik, saling simpati dan saling menolong. Mala ini wanita yang tangguh sudah keliatan sejak kecil, dia pemberani. Sering manjat-manjat pohon mangga Abinya sewaktu kecil." Bunda menimpali saat ia baru saja bergabung bersama mereka.

"Ya, Mala memang wanita yang luar biasa Bunda, selain cantik dia juga cerdas, sesuai namanya Keumalahayati, tidak hanya nama saja yang sama, Mala jga mewarisi jiwa juangnya sifat pantang menyerahnya mencerminkan wanita Aceh sesungguhnya. Nisa saja kagum sama dia."

"Nisa, gak usah berlebihan gitu dong. Bunda juga wanita kuat, liat saja dia masih bisa tegar meski kehilangan anaknya, dan tidak pernah menangisinya."

"Bunda cuma bisa mendo'a-kan nak, kalau Daus masih hidup semoga ia bisa hidup mandiri dan bahagia, tapi jika ia sudah tidak ada lagi di dunia ini, semoga Allah menempatkannya di tempat terindah di sisi-Nya."

"Maaf Bunda, Nisa bukan bermaksud mengungkit, tapi sepertinya Nisa tidak asing dengan foto anak laki-laki yang ada di kamar Bunda." Nisa membuka telapak tangannya yang sejak tadi di pangkunya dan memperlihatkan sesuatu dalam genggamannya. 

Kutemukan Cinta di Serambi Mekkah (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang