Satu

229 12 2
                                    

Munich, Germany

"Apa yang sedang kamu kerjakan sayang?" Seorang pria dengan rambutnya yang sudah mulai ditumbuhi uban memasuki kamar putrinya menyapa dalam Bahasa Jerman.

"Ayah, sudah pulang." Putri semata wayangnya itu menghampiri ayahnya lalu mencium tangan ayahnya. Pengaruh budaya Indonesia sudah melekat dalam dirinya.

"Sind du sicher, nach Indonesien zurück zu kommen?" – apa kamu yakin ingin kembali ke Indonesia?

"Ja Vater. Karena Nisa sudah berjanji pada diri Nisa sendiri." Tanpa memandang kearah ayahnya, gadis itu kembali sibuk memasukkan bajunya satu persatu kedalam koper.

"Baiklah, ayah tidak bisa menahanmu. Ayah minta jaga dirimu baik-baik, hanya kamu satu-satunya yang ayah miliki sekarang, semenjak kepergian Ibumu 11 tahun yang lalu."

"Sudahlah yah, jangan membuat Nisa semakin bersedih atas kejadian itu. Nisa kan kesana untuk belajar." Kini, gadis itu telah duduk di depan meja riasnya memastikan kerudungnya telah terpasang dengan sempurna.

"Ayah tidak bermaksud membuatmu bersedih, ayah hanya tidak ingin kehilangan kamu." Pria itu berjalan mendekati putrinya, "Ayah khawatir sama kamu yang jauh di sana nantinya, siapa yang akan mengawasi kamu. Ayah juga tak bisa hidup sendirian disini."

Gadis itu berdiri dan berbalik badan menghadap ayahnya, matanya terlihat berkaca-kaca, "Insyallah Nisa bisa jaga diri yah. Nisa tidak akan meninggalkan ayah sendirian di sini, Nisa sudah menyuruh Tante untuk tinggal disini. Nisa pasti akan terus mengirim e-mail ke ayah." Ia merangkul ayahnya kemudian berjalan keluar kamar dengan menyeret koper besarnya menuju halaman depan lalu memasukkannya ke dalam bagasi mobil dengan dibantu ayahnya. Kemudian mereka berdua masuk kedalam mobil dan melaju menuju Bandara Internasional Franz Josef Strauss.

Sedan berwarna silver itu melaju dengan perlahan menyusuri jalanan kota menuju bandara yang berjarak cukup jauh dari rumah mereka, pemandangan sekitar di dominasi warna putih, tumpukan salju telah menyelimuti kota sejak beberapa hari yang lalu. Beberapa orang memadati simpang jalanan, menunggu lampu menyebrang menyala hijau, dan jika lampu sudah menyala hijau, mereka akan berjalan menyebrangi jalan dengan tertib. Semuanya saling menghargai, antara pengendara dengan pejalan kaki memiliki hak yang sama untuk menggunakan jalan raya.

Udara dingin yang menusuk tulang tak dihiraukan oleh Nisa, darahnya justru terasa panas, berbagai pikiran berkecamuk dalam otaknya, sebentar lagi ia akan meninggalkan ayahnya sendiri, namun disisi lain, ia harus kembali untuk menyelesaikan pendidikannya, dan juga menepati janjinya, serta menemukan seseorang yang selama ini ia cari-cari.

"Apa yang sedang kamu pikirkan sayang?" tiba-tiba suara ayahnya memecah keheningan.

"Tidak ada," jawabnya pendek

"Apa kamu lapar? Kita bisa singgah untuk makan terlebih dulu."

"Nain, danke, ich fasten."

Ayahnya tidak menjawab hanya menganggukkan kepalanya pelan berkali-kali. Mobil yang mereka tumpangi terus melaju tanpa ada hambatan, apalagi kemacetan. Tepat sebelum pesawat lepas landas mereka telah tiba di bandara yang merupakan bandara terbesar kedua di Jerman dan ketujuh di Eropa.

===

Sampai di bandara mereka langsung menuju counter untuk menyerahkan barang, karena sudah melakukan check-in online dan sebelum Nisa memasuki ruang tunggu, ia kembali mencium punggung tangan ayahnya kemudian memeluknya. Ayahnya terlihat bingung melihat sikap putrinya yang mulai berubah sejak kembali dari Indonesia.

"Ini ambillah!" Ayahnya menyodorkan sebuah bungkusan kecil kearahnya.

"Danke vater, sampai bertemu kembali," Nisa mengambil bingkisan itu dan memasukkannya kedalam tas tangannya.

"Kau harus selalu kenakan jaketmu?" Ayahnya menggenggam lengannya dengan wajah panik.

Nisa tersenyum dan balas menggenggam bahu ayahnya, "Apa ayah lupa, di sana itu negara tropis, tidak akan ada salju disana, apa dulu waktu ayah kesana memakai jaket tebal?"

"Sepertinya pikiran ayah sedang tidak bagus, ah sudahlah lupakan saja. Oh iya jangan lupa cari dia, dan bawa kehadapan ayah jika kau telah menemukannya." Canda Ayahnya diselingi tawa.

Sepintas senyum kembali tergambar di bibir Nisa, wajahnya sedikit merah menahan malu, "Insyaallah, Nisa akan berusaha yah," katanya kemudian. Mereka berdua tertawa ringan, lalu Nisa beranjak meninggalkan ayahnya. Sambil sesekali melirik kebelakang dan melambaikan tangan kearah ayahnya.






Kutemukan Cinta di Serambi Mekkah (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang