Tiga

153 10 0
                                    

Afif menyeret kopernya hendak keluar dari bandara. Langkahnya kemudian terhenti saat matanya menangkap sosok wanita yang ditemuinya tadi sore. Wanita itu sedang duduk, wajahnya terlihat seperti orang yang sedang bingung. Afif mengganti arah langkahnya mendekati gadis itu.

"Benar kan aku bilang, ternyata kita satu tujuan." Ucap Afif tanpa basa-basi dan langsung duduk di sebelah gadis itu.

Gadis itu hanya menunduk sambil tersenyum, raut wajahnya terlihat sangat tidak bersahabat. Ada tatapan curiga dalam matanya.

"Kenapa kau menatapku seperti itu? Tak usah takut, aku tidak akan mengganggumu."

"Bukan, bukan begitu, saya baru ingat, ternyata saya tidak membawa uang rupiah. Tadi saya mau tukar disini ternyata sudah tutup."

"Oooh gitu, kamu mau kemana? Biar aku antar, gak usah khawatir, aku gak akan macem-macem sama kamu."

"Terimakasih tapi..."

"Ya kalau memang kau tidak mau, tidak apa-apa," Afif memotong perkataan gadis itu, "Sampai ketemu lagi. Semoga beruntung." Tambahnya lalu beranjak pergi.

"Eh tunggu... Baiklah kalau kau tidak keberatan, antar saya ke Darussalam." Gadis itu berdiri sambil menundukkan kepalanya di hadapan Afif, tangan kanannya mengulurkan secarik kertas berisi alamat tujuannya.

"Oke, ayo! Oh ya, sebelumnya perkenalkan namaku Afif." Afif mengulurkan tangannya ke arah wanita itu.

Wanita itu tersenyum kemudian menempelkan kedua telapak tangannya dan mengangkatnya di depan dadanya, "Nama saya Anisa Zahra"

===

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, akhirnya Nisa tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Ia sangat bersyukur bisa tiba dengan selamat dan bisa kembali menginjakkan kaki di tanah yang amat dia kagumi itu. Dari ayahnya yang merupakan mantan diplomatik yang sangat suka sejarah, ia tak sengaja melihat buku-buku sejarah Indonesia di rak buku ayahnya. Satu buku yang ia baca menceritakan tentang sejarah Aceh. Dan saat itu, ia mulai penasaran dan sangat tertarik mengetahui tentang tanah rencong ini.

Ia berjalan hendak keluar, tangannya merogoh tas tangannya menjumput sebuah dompet. Ia terkejut melihat lembaran euro di dalam dompetnya. Ia lupa menukarkan uangnya ke rupiah. Sementara money changer di bandara sudah tutup. Ia duduk di sebuah kursi panjang sambil mencoba menghubungi sahabatnya di sana. Lima menit tanpa jawaban, orang yang dihubungi tak memberikan jawaban.

Tak lama kemudian, seorang pria datang tiba-tiba dan mengejutkannya, pria yang tadi ditemuinya di Jakarta. Pria itu sempat menawarkan bantuan, namun ia sedikit ragu. Sesaat setelah pria itu berjalan hendak meninggalkannya, akhirnya ia memutuskan untuk ikut dan mencoba percaya kepada pria itu, yang akhirnya diketahui namanya itu adalah Afif.

Ia sempat terkejut mendengar nama itu, kedengarannya nama itu seperti nama seorang muslim, tapi mengapa orang itu sangat tidak suka mendengar orang membaca al-qur'an?

===

"Namamu terdengar seperti orang Arab, tapi, jika aku perhatikan sepertinya kau bukan orang Arab, gaya berbicaramu juga tidak seperti orang Arab." Afif bertanya saat mereka berdua melangkah keluar bandara.

"Ya, saya memang bukan orang Arab, saya lahir dan besar di Munchen, sebuah kota di Jerman."

"Bahasa Indonesia mu lancar juga."

"Ayahku seorang diplomat, sejak kecil saya tinggal di Jakarta. Kalau boleh saya tahu, apa tujuan kamu datang ke Aceh?"

Afif tertawa sebelum menjawab. "Seharusnya aku yang lebih dulu bertanya padamu. Aku lahir di Aceh. Jadi apa salahnya jika aku kembali ke kampung halamanku." Afif menjawab sambil membuka pintu taksi, mempersilahkan Nisa masuk terlebih dulu.

"Oh, maaf, saya tidak tahu. Saya pikir semua suku Aceh beragama Islam. Mungkin pengetahuan saya masih kurang." Nisa menimpali saat taksi baru saja berjalan.

Afif langsung membuang pandangannya menatap luar jendela. Sikapnya jadi salah tingkah. Melihat hal itu, perasaan Nisa berubah. Ia merasa tidak nyaman dan menyesal telah mengatakan hal itu.

"Maaf. Saya tidak bermaksud... Kita pilih topik yang lain saja. Kamu dari Jakarta?" Tanya Nisa mengalihkan pembicaraan.

"Aku dari Jogja, aku kuliah disana, jurusan Sejarah. Tadi aku transit di Jakarta. Kamu sendiri ngapain ke Aceh? Liburan? Kalau kamu pendatang, kamu gak perlu repot-repot berhijab. Hukum syariat hanya berlaku bagi mereka yang muslim, khususnya masyarakat Aceh sendiri. Aku tau orang Jerman sangat disiplin dan taat aturan atau mungkin memang orang Jerman sangat menghargai aturan bahkan di luar negaranya sendiri."

"Saya sudah cukup lama di Aceh, saya mahasiswi di sini. Dan satu lagi, saya berhijab bukan karena hukum yang berlaku di sini. Tapi karena hukum Agama."

Afif spontan menatap wanita yang duduk disebelahnya itu "Kamu kuliah di Aceh?" Ia kemudian tertawa tanpa beban.

"Kenapa? Apa salahnya?"

"Kamu aneh. Orang Indonesia aja berbondong-bondong ingin kuliah ke Jerman. Kau yang dari Jerman malah lebih memilih kuliah di Indonesia. Di Aceh pula."

"Ya, saya tahu, pendidikan di Aceh mungkin tidak sebaik di tempatmu kuliah. Tapi bukan itu masalahnya. Tempat kuliah tidak semmata-mata menentukan masa depan. Yang harusnya unggul itu diri kita sendiri, kita harus bisa bergerak maju, di manapun kita kuliah. Akreditas memang menentukan. Untuk tingkat sumatera akreditasi kampus saya tidak terlalu buruk, dan saya bangga kuliah di sini."

"Maaf, aku bukan bermaksud membanding-bandingkan." Sesal Afif.

"Tidak apa." Nisa tersenyum sopan, "Stop pak, saya turun disini saja." Nisa bergegas membereskan barang bawaannya hendak turun.

"Kenapa? Kenapa kau turun di sini, apa kau marah?" Afif memperhatikan luar melalui jendela.

Nisa balas tersenyum kemudian mengarahkan telunjuknya kearah luar, "Kau lihat itu? Itu tugu Darussalam. Itu artinya kita sudah memasuki kopelma Darussalam. Terimakasih telah mengantar. saya berhutang padamu. Saya ada urusan sebentar di kampus sebelum pulang ke kost." Kemudian membuka pintu hendak keluar ketika Afif kembali mencegahnya.

"Eh tunggu, apa kita bisa bertemu lagi? Boleh aku minta nomor telepon kamu?"

"Oh, oke, kau bisa menemui saya besok disini jam 10 pagi. Insyaallah saya akan mengganti uangmu. Maaf saya tidak punya nomor telepon. Sampai jumpa lagi." Nisa bergerak keluar dari taksi, mengambil koper yang sudah di keluarkan supir taksi sejak tadi. Beberapa detik setelahnya, taksi itu kembali melaju di jalanan kota Banda Aceh.

Kutemukan Cinta di Serambi Mekkah (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang