Enam

118 10 0
                                    

"Selamat datang di universitas Syiah Kuala." Ucap Nisa ketika mereka memasuki halaman kampus yang lebih dikenal dengan sebutan Unsyiah itu.

Afif tak menjawab, ia sibuk mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya.

"Aku ada kelas sebentar, jadi kau bisa melihat-lihat kampus ini dulu. Aku akan kembali satu jam lagi." Nisa langsung pergi meninggalkan Afif.

"Apa? Hei tunggu." Afif menghela napas pendek melihat Nisa terus berjalan, tak menghiraukannya. "Apa boleh buat." Lanjutnya.

Ia berjalan tanpa tahu arah tujuan. Langkahnya seketika terhenti saat ia mendengar sebuah suara. Ia berbelok mencari sumber suara. Semakin lama, suara itu semakin terdengar jelas. Ia melewati sebuah lorong dan tiba di sebuah halaman. Dari sanalah sumber suara itu berasal. Beberapa kelompok orang terlihat sedang latihan menari. Ada juga yang bermain alat musik. Tari saman. Kali ini dia bisa langsung tau. Karena di Jogja ia juga sering melihat tarian ini. Bahkan seluruh dunia juga telah mengenal tari saman. Tapi ia tidak tau dengan alat musik yang dimainkan kelompok lainnya, bentuknya bulat menyerupai rebana. Ia memang tidak tahu alat musik itu, tapi ia merasa tidak asing dengan benda itu.

Ia terlalu asik memperhatikan orang itu. Sampai-sampai tanpa ia sadari sudah hampir 30 menit ia berdiri di sana.

"Disini kau rupanya, aku sudah mencarimu kemana-mana. Sedang apa kau di sini?"

Afif membalikkan tubuhnya, alisnya berkerut melihat Nisa telah berdiri di depannya. "Bukannya tadi kau bilang satu jam?"

Nisa tersenyum sesaat. "Ya seharusnya, tapi ternyata materi hari ini cepat selesai. Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Sedang apa kau di sini?"

"Aku sedang menyaksikan mereka. Tari saman. Keren juga."

Nisa menghampiri Afif dan berdiri di sebelahnya. "Kau harus bangga dengan itu, WHO telah menetapkannya sebagai warisan budaya Indonesia, dan salah satu tarian terindah di dunia."

"Kalau yang satunya lagi itu apa?" Afif menunjuk sekelompok orang yang sedang menari sambil membawa alat musik.

"Oh itu tari rapa'i geleng. Alat musik yang mereka bawa itu namanya rapa'i." Nisa mengambil posisi duduk dan kemudian diikuti oleh Afif. "Kedua tarian itu mengandung filosofis Islam, tari ini dulunya digunakan untuk menyebarkan Islam. Tari saman menggambarkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan. Jika kau perhatikan dengan baik ada bagian tari saman yang gerakannya seperti gerakan orang setelah shalat, menyalami orang yang duduk disebelahnya, itu menurut aku sih."

Afif memasang wajah serius menatap Nisa. Nisa yang baru menyadarinya langsung merasa canggung dan sedikit gugup.

"Maaf, aku tidak bermaksud menyinggung agamamu." Ucap Nisa dengan nada menyesal.

"Kau tak perlu minta maaf, dan satu hal yang haus kau ketahui, aku ini seorang muslim." Afif menunduk menatap ujung sepatunya.

Demi mendengar jawaban Afif, Nisa langsung membisu dan dengan terbata iya berkata. "La..lu.."

Afif langsung mengerti maksud Nisa, sebelum Nisa selesai berbicara ia sudah lebih dulu memotongnya. "Kejadian di bandara waktu itu..." Afif menarik nafas sebentar. "Aku memang muslim, tapi aku tidak pernah belajar agama sejak umurku sepuluh tahun. Setiap aku mendengar suara al-qur'an kepalaku tiba-tiba terasa sangat berat. Aku seperti mengingat sesuatu tapi aku tak mampu untuk mengingatnya, itulah yang membuat kepalaku terasa ingin pecah."

"Astaghfirullah. Lantunan ayat suci al-qur'an selalu menyejukkan hati, bahkan bisa menjadi obat. Tidak ada kata-kata yang indah di dunia ini, selain ayat-ayat-Nya. Tapi mengapa kau bertolak belakang."

"Sepertinya aku mulai lapar. Kampus sebesar ini pasti punya kantin kan?" Afif mencoba mengalihkan pembicaraan.

===

Afif masih membisu sejak mereka berjalan menuju kantin. Hatinya sedang tidak baik, ini pertama kalinya ia mengakui keadaanya di hadapan orang lain, apalagi orang yang baru saja dikenalnya dua hari yang lalu.

"Tadi kau bilang kalau kau lapar. Tapi sekarang kau bahkan tak menyentuh piringmu sama sekali."

Afif masih tak bergeming. "Afif, kau dengar aku kan?" Tanya Nisa memastikan.

"Ah iya, kenapa?" Afif tersentak dari lamunannya saat Nisa mengguncang lengannya.

"Kau melamun ya? Apa ada masalah? Aku tidak keberatan kalau kau mau menceritakannya, mungkin aku bisa membantu."

"Ah tidak-tidak. Lupakan saja. Nasi gorengnya enak, kau sering makan di sini?"

Nisa mengangguk pelan, ia masih terlihat bingung, bagaimana mungkin pria di hadapannya ini bisa mengatakan bahwa nasi gorengnya enak, sementara ia sama sekali belum mencicipinya. Tapi ia tak ingin mencampuri urusan pribadi orang lain dan ia baru saja akan melanjutkan makannya sebelum Afif kembali bersuara.

"Ngomong-ngomong kampusmu besar juga."

"Ya begitulah, Unsyiah adalah kampus tertua di Aceh dan yang terbaik saat ini, jurusannya yang paling baik adalah jurusan kedokteran. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh telah menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang terkenal. Para mahasiswa dan staf pengajar berasal dari berbagai penjuru dunia, seperti Kesultanan Turki, Iran, dan India. Itulah yang mendasari Aceh ingin memiliki lembaga pendidikan tinggi negeri. Nama Unsyiah di ambil dari nama ulama besar di Aceh. Syiah Kuala, yang berarti guru dari Kuala. Beliau memiliki nama asli Teuku Abdur Rauf As-Singkili yang lahir di Singkil, kota ini banyak melahirkan ulama-ulama terkenal pada masanya, itu sebabnya Singkil dijuluki juga sebagai kota ulama, tapi banyak yang tidak tau, bahkan mereka yang tinggal di Singkil sekalipun."

"Singkil?" Tanya Afif untuk memastikan pendengarannya masih normal. Ia kembali melamun memikirkan sesuatu.

"Ya, memangnya kenapa dengan Singkil?"

"Sepertinya aku memang manusia yang tak berguna." Gumamnya sambil makan.

"Apa yang kau pikirkan Fif? Kenapa kau bicara seperti itu?" Nisa tak mengerti mengapa arah pembicaraan mereka berubah.

"Ya, bahkan untuk menentukan agama saja aku tidak bisa. Di pencatatan sipil aku memang muslim, tapi hatiku tidak. Aku hanya shalat jika teman-temanku memaksa ikut, aku hanya mengikuti gerakan mereka tanpa tau apa yang mereka baca. Dan di setiap hari natal, aku juga merayakannya bersama keluargaku di Medan. Terkadang aku berpikir dimana sebenarnya Tuhan berada, mengapa Dia mengambil semuanya dariku. Aku bahkan tak percaya Tuhan itu benar-benar ada."

"Astaghfirullah. Apa yang kau katakana Fif. Tuhan itu selalu bersama hamba-hamba-Nya. Semua yang di timpakan kepada hamba-Nya pasti ada hikmahnya. Mungkin Tuhan sedang mengujimu sejauh mana kau mampu bertahan untuk tetap mempercayai-Nya. Aku bersedia membantumu menemukan kembali fitrahmu."

"Terimakasih atas tawaranmu, tapi aku rasa aku tak butuh bantuan dari siapapun." Afif melompat dari kursi dan melangkahkan kaki keluar dari warung makan itu.


Kutemukan Cinta di Serambi Mekkah (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang