"Kau terlalu polos untuk bergaul dengan mereka, kau bisa saja dibodohi. I'm just warning you"
Kata-kata Walter tersebut membuat Emily sirih dan takut. Dia teringat masa-masa SMPnya, urusan pertemanan menjadi nomor 1 moment paling menyakitkan untuk Emily. Dia sering kali dijauhi, oleh teman bahkan pernah sahabatnya, dan Emily tidak tahu apa salahnya. Ibunya berkata bahwa teman-temannya seperti itu karena iri padanya. Walaupun Emily tidak begitu mengerti apa yang diirikan temannya terhadapnya. Emily juga sadar pernah dibodohi. Teman dekatnya selalu memintanya mengerjakan PR nya, dan Emily menyetujuinya dengan alasan dia ingin menyenangi temannya, dan dia tidak ingin temannya marah dan menjauhinya.
Emily bersumpah dalam hati tidak akan seperti itu lagi. Dia sudah semakin dewasa sekarang. Dia harus memilih teman yang benar-benar baik dan peduli padanya.
Aula sekolahnya luas. Sepi karena hari Sabtu. Terdengar suara dentuman bola basket dan seruan. Hanya ada orang-orang yang dikenalnya, siapa lagi kalau bukan teman-teman cowok Bella, serta Angel dan Kelly.
"Kalau begitu jauhi teman-temannya"Kata-kata Walter yang lain menyeruak lagi di kepala Emily. Membuat Emily pusing dan bingung.
"Who are you?" Tanya suara anak perempuan dari belakang. Emily membalikkan badan, dan menunduk menatap anak perempuan itu, umurnya kira-kira 4 tahun, memiliki rambut coklat ikal panjang dan tipis, wajah yang cantik, serta mata yang lentik. Tingginya sepaha Emily.
"I'm Emily. What your name?" Tanya Emily dengan senyuman.
"Mackenzie. Kau teman baru Zac? Aku tidak pernah melihatmu" Tanyanya dengan suara yang imut. Emily yakin ini pasti adik perempuan Zac. Sebelum Emily menjawab, Bella memanggilnya dan melambaikan tangan. Mackenzie duluan yang berlari menghampirinya. Emily menyusul.
"Kukira kau tersesat. Lama sekali" Ujar Bella, di sebelahnya ada Angel yang menyerukan Andrew bermain basket.
"Haha tidak, kan aku sudah bilang ingin ke kamar mandi. Dimana siswa-siswa lain? Kok cuma mereka saja?" Tanya Emily basa basi. Dia tidak mau terlihat panik setelah percakapannya dengan Walter beberapa menit yang lalu.
"Sebenarnya latihan tim basket sekolahnya hari Senin, tapi mereka mau jam tambahan" Jelas Bella. Emily mengangguk, tanpa sengaja melihat Kelly, yang tersenyum mengamati teman-temannya bermain basket. Tapi Emily menyadari sesuatu, Kelly hanya mengamati satu cowok, dan cowok itu adalah Zac. Emily menoleh dan melihat Zac. Dia memakai kaos oblong dengan celana basket, begitu lihai memegang bola yang mencoba direbut oleh Kevin. Penampilannya jauh lebih mempesona dibandingkan kemarin. Emily bisa melihat tubuh proposionalnya yang menurutnya sempurna.
"Hey kalian! Waktunya habis!" Seru Aaron yang duduk di lantai, sedang beristirahat. Semuanya menghentikan latihannya dan duduk di bench.
"Hey Emily! Sudah selesai PR-nya kemarin? Huh?" Tanya Andrew dengan senyum miringnya, langsung duduk di sebelah Emily. Emily tahu Andrew sedang menyindirnya karena kemarin dia menolak untuk pergi ke pesta ulang tahun teman mereka, Candice.
"Done" Jawab Emily singkat tanpa menatapnya. Dia masih mengamati Zac, yang sekarang duduk di sebelah Kelly, di sebrang Emily. Hal yang membuat Emily tiba-tiba lemas adalah, Kelly mengusap wajah Zac yang keringatan dengan handuk kecil, dan membisikkan sesuatu di telinganya, membuat Zac tertawa canggung. Kelly merangkulnya, kepalanya bersandar di pundaknya, tidak peduli walau tubuh Zac dipenuhi keringat. Mungkinkah mereka pacaran? Pikir Emily. Hati Emily seakan tertusuk jarum.
Bagaimana mungkin Zac suka padaku? Kelly is perfect for him. Pikir Emily putus asa.Tiba-tiba Kelly melirik Emily dengan sinis. Emily membuang muka, menghindari tatapannya.
"Zac will hurt you" Kata-kata Walter terlintas. Sekarang saja ketika sudah melihat Zac mersa dengan Kelly membuat hati Emily seakan hancur, seperti harapannya. Mungkin Walter benar. I don't belong here. Pikir Emily.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderwall
RomanceEmily Wellington adalah anak blasteran Inggris-Indonesia. Ketika dia sudah mencapai 17 tahun, ia harus pindah ke Inggris dan melanjutkan pendidikannya disana. Diatidak menyangka bahwa ayahnya telah mempersiapkan apapun yang dia butuhkan di Inggris...