SEUSAI kegiatan belajar mengajar selesai, Ayra memilih untuk langsung pulang, kembali ke asramanya terlebih dahulu. Meletakkan tasnya, baru kemudian ia akan melaksanakan shalat asar dimasjid.
Sejak dari kelas satu, ia memang sengaja untuk masuk ke asrama karena kendala rumahnya yang lumayan jauh dan juga perkenomiannya yang tidak menentu, jikalau harus melaju menggunakan sepeda motornya. Ayra pikir, itu akan mengeluarkan biaya yang bisa dibilang tidak sedukit. Untuk itu, ia lebih memilih masuk asrama untuk meringankan beban kedua orangtuanya.
Asrama disediakan untuk mereka yang memang terkendala jarak yang lumayan jauh. Tidak semua siswa wajib untuk asrama, namun hanya beberapa diantara mereka yang memang menginginkan untuk masuk asrama.
Selain itu juga, Ayra memang lebih betah tinggal di asrama dibandingkan dengan dirumahnya sendiri. Perdebatan, teriakan, makian, umpatan yang selalu ia dengar dirumahnya, membuat hidupnya sengsara dan tidak pernah tenang.
Kata orang, rumah adalah sebuah tempat yang paling nyaman, tempat bernaung untuk memberikan rasa aman, namun tidak bagi Ayra. Rumah yang membesarkannya selama ini, adalah tempat paling terburuk untuknya. Selama tujuh belas tahun ini, bahkan ia tidak pernah sama sekali mendapatkan kedamaian dirumahnya.
Ayra tersenyum kecut, saat harus mengingat kembali kepingan-kepingan lontaran kalimat yang begitu tajam untuknya dan juga ibunya.
"Ay udah shalat belum? Shalat yuk," ajak seseorang saat ia baru saja meletakkan tasnya dilantai.
"Belum sih, yuk," jawabnya mengiyakan ajakan perempuan yang masih mengenakan seragam osis tersebut.
Ayra dan perempuan yang bernama Afi itu menyeretkan langkah kakinya menuju masjid, sebelum itu, tentu mereka telah membawa mukenanya masing-masing.
Sesampainya mereka dihalaman masjid, Ayra mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Hamparan luas yang selalu ia saksikan, tak henti-hentinya membuat dirinya merasa bersyukur. Walau hanya itu-itu saja panorama yang ia lihat, namun Ayra tidak pernah merasa bosan untuk terus memandangnya dengan lekat.
Halaman depan masjid yang sangat luas, ditumbuhi pohon kelengkeng yang begitu besar dan juga tinggi, namun sama sekali tidak pernah berbuah.
Ada pula pagar besi yang tidak terlalu tinggi, mengelilingi sekitaran daerah masjid dengan cat berwarna biru tua. Serta tidak terlupakan sebuah pohon yang menjulang tinggi dengan bunga-bunganya yang berwarna kuning, terdapat dibeberapa bagian sudut. Entah pohon itu adalah bunga, atau hanya pepohonan biasa ia tidak tahu, namun yang terpenting dari semua hal itu adalah panaroma disekitarnya mampu menciptakan suasana hati yang begitu memikat.
Dan satu hal yang menjadi favoritnya, sebuah menara kecil yang berada disudut paling pojok, halaman depan masjid. Bangunan itulah yang paling berkesan untuknya, seolah-olah ada hal yang begitu menarik dari menara kecil tersebut. Ayra selalu mendongak keatas hanya untuk menikmati menara yang tak pernah berubah itu, membuat bibirnya menyunggingkan senyum tipis.
Nikmat manakah yang ingin kamu dustakan? Penggalan dari surah Ar-Rahman itu merupakan salah satu perwujudan yang sekarang ini menjadi pemandangan sehari-hari Ayra.
"Udah makan belum? Setelah ini kita beli sayur yuk Ay," ajak Afi disela-sela perjalanan mereka menuju tempat wudhu
"Enggah ah, aku mau beli diangkringan aja nanti. Tapi aku temani juga boleh," ujarnya dan Afi pun hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
Sesampainya mereka ditempat wudhu, Afi memilih untuk kekamar mandi terlebih dahulu. Sedangkan Ayra langsung menggulung lengan bajunya dan mengambil air wudhu.
"Innalilahi," ujar Ayra refleks, saat kran yang baru saja ia hidupkan terlepas begitu saja. Menciptakan sebuah cipratan air yang mampu membuat bajunya basah.
Ayra berdecak kecil, kesal. Ia mengusap wajahnya dengan asal. Bahkan air dari kran tersebut membuat matanya perih karena kemasukan air dengan tiba-tiba.
"Ya ampun, kenapa kerannya lepas kayak gitu. Benerin lagi Ay," celetuk Afi yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Ish, baju aku jadi basah semua, gak tahu juga kenapa kerannya bisa terlepas. Mbk Afi aja deh yang benerin, aku gak bisa." ketusnya, kesal.
"Coba mana, awas minggir dulu."
Ayra menyingkir, sedikit menjauh. Hanya ada mereka berdua saat ini, tidak ada siapapun. Kecuali beberapa para santri yang sedang duduk berada diserambi masjid, berbincang-bincang.
"Nggak bisa juga Ay, terlalu kenceng airnya," keluhnya
Afi menyerah, sedangkan Ayra tidak berminat untuk mencobanya. Baginya, melakukan hal yang sama berungkali itu adalah suatu tindakan yang bodoh. Bajunya sudah basah, dan ia tidak ingin seluruh tubuhnya juga ikut basah.
"Ehem," deheman seseorang membuat mereka membalikkan badan
Kopyah yang bertengger di kepalanya, baju koko berwarna putih serta sarung berwarna abu-abu itu cukup membuat mereka mengenali siapa laki-laki dihadapannya.
"Kenapa?" tanyanya retoris
"Krannya copot, airnya tumpah semua," ujar Afi
Ia melangkah mendekat, berusaha memperbaiki kran yang rusak. Tak lama kemudian kran pun kembali terpasang, Ayra pun hanya bisa bergumam tidak jelas. Mengusap-usap bajunya yang terlanjur basah, lebih tepatnya seragam yang akan besok dikenakan lagi.
"Makasih," ujar Afi,
Sedangkan Ayra pun hanya berdiri mematung ditempat dengan perasaan yang masih kesal, tak berminat untuk mengucapkan terimakasih. Karena ucapan terimakasihnya telah diwakilkan oleh Afi. Baginya sudah cukup, jikalau ia melakukannya, itu sama saja buang-buang diksi, kalimat yang berlebihan, pikirnya.
"Kranya itu memang kadang lepas pasang, tapi masih bisa digunakan kok. Lain kali mungkin lebih hati-hati aja putarnya," ujarnya
"Minta diganti tuh mas krannya," celetuk Afi
"Yaudah mana uangnya siniin, biar aku yang beli," guraunya terkekeh
"Eh, ya pakai uang masjid lah. Gak ada uang aku," jawabnya
Ayra terdiam, ia hanya bisa berdiri mematung. Menyaksikan perbincangan mereka berdua yang semakin kesini semakin membuatnya berada dalam kecanggungan. Bukan apa-apa sebenarnya, apalagi mempunyai perasaan cemburu. Klasiknya, karena menyukai laki-laki dihadapannya dengan diam-diam?
Tentu saja tidak, ia hanya tidak terlalu mengenal laki-laki yang notabennya salah satu pengurus masjid Baiturrahman itu. Dan apalagi, Ayra bukanlah orang yang mudah akrab dengan orang yang baru dikenalnya.
Ia tidak banyak bicara saat bertemu dengan orang baru dikenalnya. Bukannya berburuk sangka, namun lebih tepatnya ia tidak tahu bagaimana caranya mencairkan suasana dan mencari topik pembicaraan.
"Yaudah sana, shalat dulu. Keburu Maghrib nanti," ujarnya mengalihkan topik pembicaraan kemudian melenggang pergi entah pergi kemana.
"Yee, masih pukul empat kali," teriak Afi
Setelah terpotong beberapa menit, hanya karena masalah kran dan juga sedikit perbincangan yang sangat asing bagi Ayra itu. Ia kemudian mengambil air wudhu kembali, dan menunaikan shalat asar yang sempat tertunda.
***
To be continued
Bismillah, Semoga suka
Follow dulu sebelum lanjut, @ka_amaliaa dan jangan lupa tinggalkan bintang dan komentar terbaikmu
Follow Instagram juga @ka_amaliaaa
Jazakallah Khair :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Baskara
Non-FictionDidalam perjalanan hidup ini, tumbang dan bangkit adalah hal biasa yang harus Ayra jalani. Takdirnya yang penuh dengan lika-liku menghantarkan dirinya pada sebuah impian besar untuk merubah nasib dirinya dan juga keluarga. Ia yang dibesarkan dengan...