RINTIK hujan satu persatu mulai mengguyur muka bumi ini dengan deras, dibalik jendela masjid Baiturrahman. Ayra menatap lekat rintik hujan yang mulai berjatuhan. Pandangannya kosong, raut wajahnya tidak bisa ditebak, suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja dan tidak pula memburuk.
Suara dentingan air hujan yang mengenai tong sampah berbahan dasar logam itu, menemani kesepiannya. Ia sedang tidak sendiri, melainkan berada dikeramaian orang-orang yang terjebak hujan saat tadi melaksanakan shalat isya berjamaah di masjid.
Namun sepertinya, keramaian tidak bisa mengubah perasaan hatinya yang merasa kesepian. Senyap, sepi, sunyi itulah yang sedang ia rasakan. Bahkan saat ia berada dikeramaian bersama dengan orang-orang yang dikenalnya. Entahlah, ia masih belum bisa memahami akan perasaannya. Sangat sulit ditebak, bahkan untuk dirinya sendiri.
Saat keheningan melanda dirinya, maka disaat itulah perasaan sepi itu mulai muncul. Membuat dirinya hanya bisa terpaku dengan satu objek yang sedang ia lihat. Beberapa detik, bahkan sampai beberapa menit. Maka pandangannya tidak akan pernah berubah, tatapannya hanya fokus dengan objek yang sedang ia lihat. Seolah-olah, ia sedang melamun. Memikirkan banyak persoalan yang rumit.
Padahal bukan itu yang sebenarnya, jika dibilang pikirannya kosong tidak juga dan jika dibilang sedang memikirkan banyak persoalan tidak juga. Entahlah, ia benar-benar tidak mengerti dengan suasana hatinya. Benar-benar tidak mengerti.
"Heh, ngalamun aja. Kesambet nanti," celetuk Afi membuyarkan pandangannya yang tadinya fokus dengan hujan yang tak lagi menjadi rintikan, melainkan hujan deras yang membuat kulit merasa kedinginan bahkan saat memakai mukena pun dingin masih saja menusuk kulit.
"Ah, enggak. Siapa juga yang ngalamun, mikirin apa coba," elaknya, sambil membenarkan posisi duduknya menghadap kedepan.
"Ya bisa aja kan, mikirin apa gitu."
"Enggak, gak mikirin apa-apa. Eh, hujannya kok tambah deras ya. Gak bisa pulang dong kita," ujarnya berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
Afi menatap keluar sejenak, dari balik jendela. Kemudian menghembuskan nafasnya dengan kasar, "Iya nih, kenapa gak reda-reda ya. Tinggal kita nih, kalau yang lain nekat mau pulang."
Ayra mengedarkan pandangannya ke sekeliling sekilas, tak lagi banyak orang didalam masjid ini. Hanya tinggal beberapa, setelah tadi ada beberapa orang yang nekat untuk pulang.
Berada disituasi seperti ini, Ia kemudian malah teringat dengan masa-masa saat ia sedang berada di bangku menengah pertama. Dulu، hujan deras seperti ini, selalu membuatt perasaannya menciut. Bahkan saat ia sedang dalam pembelajaran didalam kelas.
Waktu itu, ia hanya berpikir. Bagaimana caranya pulang, kalau hujan deras tak cepat mereda. Perjalanan dari sekolah ke rumahnya cukup jauh, bangak waktu yang dibutuhkan. Sekitar satu jam setengah untuk bisa sampai dengan berjalan kaki.
Namun, permasalahan yang paling besar adalah. Jalur perjalanannya yang bisa dikatakan tidak terlalu layak untuk seorang siswa lewati.
Ayra dan beberapa teman-teman bersekolah dijogja, tepatnya berada dikulon progo paling ujung barat. Dimana arah Utara berbatasan dengan kota Magelang , tempat daerahnya berasal dan disebelah barat perbukitan berbatasan dengan daerah Purworejo.
Route dari tempat tinggalnya- Magelang menuju kesekolahnya- Yogja menggunakan jalan pintas. Bukan jalan beraspal yang ramai dengan kendaraan, namun malah sebaliknya. Melewati perbukitan rimbun dan jalan bebatuan yang begitu menanjak. Butuh tenaga dan juga perjuangan yang patut untuk dihargai, karena tidak semua orang mampu melakukannya.
Hanya merekalah yang memiliki semangat tinggi, untuk bisa bersekolah. Bukan hanya perbukitan yang mereka taklukan, bahkan hujan, badai besar pun mereka lewati hanya untuk bisa bersekolah.
Karena salah satu alasan mengapa mereka memilih bersekolah kejogja adalah, biaya pendidikan yang lumayan ringan dan juga transportasi yang mudah, yaitu dengan berjalan kaki. Penghematan daripada harus menggunakan kendaraan, harus ada uang bensin yang perlu disiapkan setiap hari.
Sedangkan jikalau berjalan kaki, maka uang jajan, bekal makan dan minum cukup untuk mereka. Dan apalagi, diwaktu itu. Belum seluruhnya, orang-orang memiliki motor. Maka jalan terbaiknya adalah menyekolahkan anak-anaknya diYogja dengan perjalan yang hemat, yaitu berjalan kaki.
Saat dimusim penghujan inilah, salah satu hal yang tidak disukai Ayra waktu itu. Bahkan sampai saat ini, ia juga tidak terlalu menyukai hujan. Karena diwaktu itu, ada ketakutan tersendiri baginya. Perjalanan yang melewati hutan-hutan, dengan route yang menanjak, dan jalanan berbatu. Menciptakan ketakutan tak bertuan.
Kekhawatiran tentang bagaiamana jikalau longsor, orang-orang yang berniat jahat, kabut tebal yang menciptakan atmosfer aneh, menghalangi pandangan mata. Apalagi, jikalau bersamaan dengan petir yang begitu menggelegar, walau berjalan bersama teman pun. Kecemasan pun pasti akan tumbuh.
Dan satu hal yang sangat tidak disukainya, diwaktu itu. Hewan dalam keluarga cacing beruas yang berbadan pipih serta memiliki alat pengisap darah di ujung kepala dan ujung ekornys yang bernama lintah atau dalam bahasa ilmiahnya Hirudinea selalu sukses membuatnya merinding. Ia harus berjalan dengan hati-hati dan juga was was untuk menghindari hewan kecil yang sangat menakutkan menurutnya itu. Karena diwaktu penghujan itulah hewan bernama lintah itu akan selalu muncul kepermukaan.
Bahkan kini, hanya dengan mengingatnya saja, malah membuat Ayra bergidik ngeri. Ia tidak ingin kembali dipertemukan dengan hewan yang sangat menjijikkan dan menyeramkan itu. Dibandingkan dengan cacing, ia tentu akan lebih memilih cacing.
"Sekarang pukul berapa sih, belum terlalu malam kan?" ujarnya
Ayra menghendikkan bahu acuh, kemudian menunjuk jam otomatis yang berada diatas dinding bagian selatan masjid.
Pukul tujuh lebih empat puluh menit, berarti sudah lima belas menit ia terjebak dimasjid ini. Dan hujan belum juga mereda, sayangnya pula. Tidak ada seseorang pun yang bisa dimintai tolong untuk membawakan payung dari asrama atau siapapun itu.
Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing, hingga tak sempat memikirkan masalah orang lain."Kita nekat aja yuk, pulang. Kalau nunggu hujan, sampai kapan redanya coba," ajak Afi
"Enggak mau, gak mau aku hujan-hujanan," tolaknya
"Nin, kita nekat balik ke asrama aja yuk. Ayra mah tinggal aja." guraunya
Ayra memicingkan mata, mendengar lontaran kalimat Afi. Tega-teganya ia berkata seperti itu kepadanya.
"Gak terlalu buruk sih, nekat aja yuk. Terus kita lewat samping. Kan mayan gak kena hujan," ujar Nina mengiyakan
Ayra mengernyit, raut wajahnya ingin protes. Namun, jikalau tidak nekat. entah sampai kapan mereka akan terjebak disini.
"Ikut nggak? Yakin nih, mau dimasjid sendirian?"
Dengan wajah tertekuk dan keterpaksaan, Ayra pun bangkit dan berjalan tanpa tenaga untuk ikut-ikutan menerjang hujan. Sungguh, Ayra benar-benar tidak menyukai ide Afi.
***
To be continued
Terimakasih yang sudah menyempatkan untuk membaca
Jangan lupa klik bjntangnya dan berikan komentar terbaikmu
Follow juga agar dapat notifikasinya
KAMU SEDANG MEMBACA
Baskara
Non-ficțiuneDidalam perjalanan hidup ini, tumbang dan bangkit adalah hal biasa yang harus Ayra jalani. Takdirnya yang penuh dengan lika-liku menghantarkan dirinya pada sebuah impian besar untuk merubah nasib dirinya dan juga keluarga. Ia yang dibesarkan dengan...