Bagian 11

650 31 0
                                    

Bergelut dengan sebuah masa lalu yang belum usai memanglah menghambat jalan untuk kemasa yang akan datang. Begitulah pikiran Ayra untuk saat ini, duduk termenung diteras masjid sembari mulai mengingat kembali kepingan-kepingan masa lalu bersama seseorang.

Hembusan angin menemani diamnya yang berisik, dekapnya malam mengantarkan padanya pada suatu  kegelapan tiada bayang. Pikirannya semakin berkecamuk, belum sepenuhnya ia ikhlas, rela akan kepergian seseorang yang begitu tiba-tiba.

Setelah insiden tadi siang yang membuat dirinya saat ini benar-benar terpukul, setelah sekian lama Ayra kembali mengingat seseorang yang kini tak bisa ia jangkau lagi. Kini sebab kejadian tadi siang, kembali mengingatkannya pada ia tak bisa ia jangkau. Namun sayangnya, kini tak ada lagi pertemuan, tak ada lagi perjumpaan untuk melepaskan rasa rindu. Yang ada hanyalah perpisahan yang abadi.

Setelah sekian lama ia berusaha untuk mengontrol gangguan pada psikisnya, ternyata ia begitu lengah membuat dirinya tak sadar bahwa gangguan tersebut kembali lagi. Ia benar-benar merutuki dirinya sendiri saat mengingat kejadian tadi siang, ia benar-benar tidak waras.

Ayra memandangi telapak tangannya sebelah kiri, begitu lama. Ia tak menyangka bahwa ia akan benar-benar  mulai kehilangan dirinya sendiri.

"Qais, pada malam yang menjadi saksi kerinduanku padamu. Ternyata aku mulai menyerah, aku menyerah kepada semesta. Aku mengaku kalah," gumamnya sembari menatap langit-langit malam.

"Ayolah Ay, gitu aja nyerah. Nggak boleh kalah sama semesta dong, loyo amat sih."

Ayra tersenyum simpul, mendengar sekelebat suara seseorang yang tak begitu asing.

Andaikan waktu bisa tuk diputar ulang, Ayra akan memilih kembali kemasa satu tahun silam hanya untuk kembali kepada seseorang yang ia damba daripada hidup  bergandengan mesra seiring berjalannya waktu namun ia tak mendapatkan apapun kecuali hanya cidera semata.

"Besok kita ke psikolog ya?"

"Ha?"

Ayra mengernyit tak paham maksut dari perkataan Qais yang tiba-tiba.

"Tante aku psikolog, om aku psiater. Biar mereka cek kondisi psikis kamu Ay," ujar Qais menjelaskan lebih lanjut.

Ayra terdiam, sudah lama memang ia ingin memeriksa kondisi kejiwaannya. Namun ia tidak tahu harus kemana, karena untuk bimbingan ke psikolog atau psikiater pun membutuhkan uang.

"Tenang, nggak akan bayar kok. Free deh," ujarnya lagi melihat Ayra yang terdiam.

"Emmm, enggaklah. Ngapain aku ke psikolog coba, aku baik-baik aja kok," jawabnya skeptis, Ayra hanya tak ingin merepotkan orang lain.

"Nggak akan ngerepotin Ay, beneran deh. Suwer," ujarnya lagi seolah-olah mendengar pikiran Ayra.

Lagi lagi Ayra hanya diam, sebenarnya ini adalah kesempatan yang baik untuk dirinya. Sejak dari kelas 9 ia merasa ada yang bermasalah dengan kondisi kejiwaannya, perubahan suasana yang begitu  cepat berubah drastis membuat dirinya berpikir bahwa ada hal yang tidak beres.

Bukan lagi moodswing, namun ada tahap depresi dan mania yang sering ia rasakan. Masalahnya, pada saat tahap depresi ia benar-benar kewalahan. Pikiran untuk mati adalah satu-satunya yang membuat dirinya ketakutan, jikalau saat kambuh ia akan berbuah yang tidak-tidak dengan dirinya sehingga menciptakan penyesalan dimasa yang akan datang.

"Malah diem, harus besok pokonya. Aku jemput," ujar Qais sembari asal mengacak-acak jilbab Ayra.

"Qaiss, ih kebiasaan. Jangan rusak jilbab aku deh," protesnya tidak suka saat usaha merapikan jilbabnya dirusak begitu saja oleh laki-laki yang tidak pernah merasakan bagaimana susahnya memakai jilbab agar rapi.

Qais hanya tertawa cekikikan, tingkah lakunya selalu bisa membuat orang menjadi lebih bahagia. Seperti saat ini, ia mampu membalikkan suasana hati Ayra.

"Masuk yuk Ay, udah malem," celetukan seseorang membuyarkan lamunannnya.

"Ah, ya. Udah malem ternyata mbk," jawabnya sembari bangkit dari posisinya duduknya untuk kemudian kembali kekamarrnya.

"Selamat malam, muga mimpi indah ya," ujar Marsia tersenyum.

"You to mbk," jawabnya

Ayra membalas senyum, kemudian mulai membaringkan tubuhnya dikasur. Lampu mulai dimatikan satu persatu, semua orang pun mulai terlelap dengan mimpinya masing-masing.

Pada malam yang bertabur bintang, pada gelap yang tiada bersuara. Diammnya begitu hening, namun pikirannya begitu berisik. Jiwanya berontak, sebab hatinya masih milik sang Qais.

***

"Pagi-pagi gini mau kemana Ay, kamu nggak sekolah?" ujar Afi ketika melihat Ayra yang begitu terlihat sangat rapi menggunakan gamis berwarna hitam, serta jilbab abunya dipukul lima pagi.

"Aku mau ke Qais dulu mbk, cuma sebentar kok. Kan nggak jauh juga," jawabnya

Ada kelegaan didalam dada Afi melihat Ayra yang mulai kembali kepada dirinya sendiri, namun ia juga sangat merasa prihatin akan dirinya yang belum bisa melupakan masa lalu. Ia masih terjebak dimemori lamanya.

Apalagi, Ayra begitu tertutup jika berurusan dengan masalah hidupnya, bahkan setelah insiden kemarin. Ia sama sekali tak ingin bercerita kepada siapapun, bahkan kepada dirinya yang selama dua tahun ini membersamainya.

"Aku ikut ya?"

"Nggak usah mbk, cuma sebentar kok. Sekarang aku dah baik-baik aja kok," jawabnya sembari tersenyum.

Afi tak bisa memaksa untuk ikut dengan dirinya, ia pun melepaskan Ayra seorang diri dengan syarat sebelum pukul 6 harus kembali.

"Siap, mbk Afi." Bak tentara yang hormat kepada atasannya, Ayra sedang merealisasikan hal tersebut saat ini kepada Afi. Ia pun hanya bisa terkekeh, menertawakan keusilannya.

Langit diatas sana masih belum cukup terang, namun kerinduan dihati Ayra tak bisa untuk meminta jeda. Sudah sekian lama ia tak berkunjung, bahkan walau hanya sekadar menyapa. Mungkin inilah salah satu hikmah akan kejadian kemarin, yaitu mengingatkannya dirinya untuk menghargai kematian seseorang dengan cara mendoakannya.

Perlahan namun pasti, langkahnya mulai menjauh dari asrama, dari kelas-kelas dan dari sekolahannya. Ia berjalan melewati gang-gang yang tak lagi menjadi asing, namun menjadi temannya kala sepi. Dan jalan inilah yang akan mengantarkan dirinya pada objek yang ia rindukan.

Sosok sahabat yang begitu setia, sosok teman yang begitu pengertian. Apakah sempat ruang didalam hatinya meminta lebih? Ya, mengapa tidak. Dia sosok yang begitu baik, pengertian, bertanggung jawab dan yang paling utama membuat dirinya nyaman, akan menjadi tanda tanya saat sosok seperti dia tak Ayra dambakan.

Namun sebelum harapan itu mulai membesar, semesta begitu tega mematahkannya, sampai tulang rusuknya mulai bengkok.

"Assalamualaikum Is, " ujarnya mengucapkan salam pada batu nisan yang berada dihadapannya.

***

Update!!!

BaskaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang