Sepertinya, mood Ayra sedang tidak baik-baik saja. Entah mengapa, sejak dari tadi suasana hatinya begitu memburuk tanpa alasan yang jelas. Sejujurnya, Ayra juga bingung setengah mati, dengan perubahan moodnya yang begitu cepat berubah.
Terkadang dalam satu hari, moodnya akan berubah menjadi beberapa karakter. Pagi, ceria seperti pada biasanya, siang hari tiba-tiba menjadi sosok cool nan cuek, sore hari kembali berubah seperti anak kecil yang merengek meminta permen, begitu cengeng.
Seperti saat ini, bak anak kecil yang sedang tersesat tertinggal oleh orangtuanya. Ayra selonjoran diteras masjid yang tak jauh dari asramanya seorang diri dengan tangan kanannya memegang ice cream yang sesekali dimakannya. Sembari bergumam tidak jelas, dengan raut wajahnya yang terlihat sangat kesal.
"Kenapa aku gak bisa-bisa sih, yang lainnya aja bisa. Kenapa aku enggak," gerutunya mengingat dirinya yang belum bisa mengoperasikan salah satu mesin dilab kejuruannya, apalagi salah satu teman setianya yang selalu membantunya sedang rapat osis.
Salah satu mata pelajaran kejuruan yang sangat sulit baginya, sebenarnya tidak sulit. Hanya saja, ia terkadang lambat dalam memahami suatu pelajaran. Sehingga ia pun tertinggal oleh teman-teman sekelasnya. Namun yang membuat suasana hatinya memburuk bukanlah kesulitannya dalam mengoperasikan mesin disalah satu mapel kejuruannya.
Tapi kata-kata gurunya yang begitu merendahkan harga dirinya, dihadapan teman-teman sekelasnya yang begitu menohok, menyakiti hatinya. Alhasil, ia merasa kesal dengan guru tersebut.
Bukannya membimbing dirinya dan berusaha menjelaskan lebih detail kembali, guru perempuan yang bernama Nafi itu secara tidak langsung menyebut dirinya bodoh. Sungguh, hal itulah yang membuat dirinya kesal setengah mati dan merasa tak bisa berbuat apa-apa.
Pintar dalam hal pengetahuan, mungkin tak cukup untuk seorang guru pendidik. Harapan mereka terhadap siswa-siswanya adalah agar pintar dalam segala hal, termasuk materi pengetahuan dan juga praktek. Maka dari itu, walau Ayra pintar dalam materi namun lambat dalam hal praktek membuat dirinya tak dianggap dan dikatakan bodoh, walau tak secara gamblang.
Memang tak salah seorang pendidik berharap seperti itu, namun kenyataannya manusia itu tak sempurna. Kemampuan yang mereka miliki berbeda-beda, maka dituntut untuk melakukan hal secara sempurna mungkin hanya beberapa persen orang yang mampu melakukannya. Dan tentu beberapa persen tersebut bukan termasuk Ayra.
"Ah, aku nggak peduli. Memang siapa dia, merasa paling sempurna, malaikat juga bahkan. Mau nilaiku jelek, terserah," gumamnya kembali, memajukan bibirnya beberapa centi kedepan.
Mulai detik ini, Ayra bertekad untuk tidak memperdulikan Bu Nafi. Ia tak peduli akan pandangannya tentang dirinya, masa bodoh. Bahkan dirinya sampai tak sadar, bahwa tingkahnya saat ini terekam oleh cctv masjid.
Sungguh tak akan punya muka, jikalau Ayra sadar bahwa sejak daritadi ada cctv yang mengawasinya, apalagi ia tadi sempat berguling-guling bak orang gila.
Selain itu juga, ia tak menyadari bahwa dari jauh Ali sedang memperhatikan perilakunya yang mulai aneh. Ia yang tadinya berniat untuk mengepel teras masjid, urung saat melihat Ayra seorang diri dengan seragamnya yang acak-acakan, apalagi dengan tangan kanannya yang membawa ice cream membuat dirinya agar tidak tertawa.
"Ehem," deheman Ali membuat Ayra menoleh kearah sumber.
Ia melihat Ali yang membawa sebuah pel dan ember berisi air, kemudian Ali pun memulai pekerjaannya. Dengan hati yang terpaksa, Ayra pun beranjak dari tempat tersebut, memilih untuk pergi. Karena ia paham betul, kedatangan Ali saat ini adalah bentuk pengusirannya secara tidak langsung. Tempat yang saat ini ia duduki, tentunya akan dipelnya.
Apalagi, ia masih tidak kuat menahan rasa malu beberapa waktu yang lalu saat ia terpeleset dihadapannya. Sunguh, Ayra begitu malu luar biasa.
Sebelum pergi, Ayra pun mencuci tangannya terlebih dahulu agar tidak lengket. Langkahnya beranjak pada kran yanb tak jauh dari tempatnya saat ini. Ia tak peduli dengan Ali yang saat ini sedang sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan, menyapa saja tidak. Karena ia memang tak begitu mengenalnya, berbicara pun sepertinya sangat jarang malahan. Sebelum celetukannya darinya, membuatnya memicingkan mata.
"Kalau makan itu, sampahnya dibuang. Jangan main ditinggal, kebersihan itu sebagian dari iman kan."
Mendengar hal tersebut, Ayra berdesis sebal. Ia bukannya sengaja meninggalkan sampah bungkus ice cream tersebut, namun ia lupa membuangnya ditempat sampah.
"Siapa yang ditinggal sih, emang belum aku buang kok," katanya sembari berjalan, ingin pergi dari tempat tersebut.
Namun sebelum ia benar-benar pergi, Ayra kembali terpeleset saat lantai yang dipijaknya masih basah. Bahkan, kali ini bukan hanya dirinya yang terjatuh, ia yang tak sengaja berusaha menahan keseimbangan tubuhnya malah secara tak sengaja menarik baju Ali dan akhirnya ia pun akhirnya ikut terjatuh.
"Eeeh, aduh."
Byurrr
Ali mengusap wajahnya dengan kasar, saat ember berisi air itu tumpah mengenai sebagaian tubuhnya. Sedangkan dalang dari kejadian tersebut hanya bisa nyengir dengan perasaan bersalah, melihat sarung dan kaos Ali basah. Ayra sampai tak merasakan rasa sakit dipantatnya seperti malam itu, karena perasaan bersalahnya yang membuat dirinya benar-benar kepalang malu.
"Astaghfirullah, baru juga mandi," gerutunya mulai kehilangan kesabaran.
"Aduh, maaf ya mas Ali. Nggak sengaja, beneran deh tadi refleks narik baju kamu. Salah sendiri ngepel kok airnya sebanyak kayak gitu."
Bukannya meminta maaf, Ayra malah nyerocos tidak jelas kepadanya. Padahal, sudah sangat jelas bahwa yang bersalah adalah dirinya. Namun karena gengsine yang sedang tinggi, ia tidak ingin dirinya disalahkan.
Mendengar hal tersebut Ali hanya bisa diam, dengan raut wajahnya yang mulai terlihat kaku karena menahan marah. Bagaimana bisa ia yang disalahkan, padahal setiap hari ia telah berkutik dengan kegiatan tersebut.
Melihat raut wajah Ali, Ayra malah merasa tidak enak dan sangat bersalah, ia bukannya serius mengatakan hal tersebut. Namun hanya berniat membuat suasana agar tidak tegang.
"Maaf mas, ini salah aku kok. Maaf ya," ujarnya kemudian, meralat ucapannya tadi.
Sungguh, Ayra benar-benar merasa bersalah.
"Okeyy, gakpapa," jawabnya sembari berusaha berdiri.
Ali pun kemudian membereskan barang-barang yang berantakan, yang kemudian dibantu oleh Ayra.
Sungguh, barangkali disaat pertemuan mereka mengapa hanya ada kejadian memalukan yang terjadi. Ayra benar-benar tidak paham, apakah semesta memang begitu jahatnya sehingga membuat orang memandang dirinya dengan citra yang buruk? Ayra benar-benar tak habis pikir dengan rencana semesta yang membuat kepalanya menjadi botak karena sakinv rumitnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Baskara
NonfiksiDidalam perjalanan hidup ini, tumbang dan bangkit adalah hal biasa yang harus Ayra jalani. Takdirnya yang penuh dengan lika-liku menghantarkan dirinya pada sebuah impian besar untuk merubah nasib dirinya dan juga keluarga. Ia yang dibesarkan dengan...