3. Special

74 7 5
                                    

RAFKA - Sebagai penduduk baru, kita harus beradaptasi dengan lingkungan baru kita. saling mengenal, berbuat baik, itung-itung silaturrahim. Oleh karena itu, sebagai orang yang terbilang baru, aku berusaha demikian. Salah satu yang kulakukan yakni berkunjung ke tetangga sebelah. Untungnya teman sekolah jadi tetangga juga, jadi tidak harus jauh-jauh kalau main. Nasya, I'm coming 😃.

Aku mulai memasuki pelataran rumah Nasya. Tiba-tiba aku merinding. Rasa-rasanya ada yang aneh. Dengan berani aku menoleh ke belakang. Mataku melebar, nafasku tersendat. Aku terkejut melihat seorang makhluk cantik ciptaan Tuhan berdiri di belakangku.

"Ngapain celingak-celinguk di rumah orang? Mau maling?" Bukan seorang Nasya kalau tidak seperti itu.

"Cantik-cantik kok keluar sendirian malem-malem?" aku menggoda.
Dengan sikap acuhnya ia berjalan masuk rumah, tanpa mempersilakan seorang tamu yang dikata tampan oleh kebanyakan orang (baca: Rafka) untuk masuk ataupun sekedar duduk di teras. Beberapa saat kemudian seorang laki-laki muda berbadan tinggi keluar.

"Hai Raf.." sapa kak Arya, kakak Nasya.

Lalu kami duduk di teras. Ngobrol sesama lelaki, sharing tentang dunia perkuliahan, istilahnya meguru kepada yang sudah lebih berpengalaman. Kurang lebih lima belas menit kami ngobrol. Setelah itu Nasya datang membawa dua cangkir teh dan martabak manis. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia mengarahkan langkahnya kembali ke dalam rumah.

"Eh mau ke mana lagi? Temenin Rafka, kakak mau pergi sebentar," pinta kak Arya. Top banget deh kak Arya. Itu yang aku tunggu-tunggu 😁.
Akhirnya Nasya duduk di kursi sebelahku. Namun, pandangannya mengarah ke luar pagar. Meski tak ada siapapun yang bisa dipandangi di sana. Aku tak mengerti jalan pikirannya. Padahal jelas-jelas ada yang bisa dipandangi dengan mudah dan lebih dekat.

"Gitaran yuk Sya?" ajakku memulai obrolan.

"Gitaran aja sendiri!" jawabnya.

"Ini orang dasarnya emang udah sebel kali ya sama gue?" pikirku. "Makanya pinjem gitarnya.." pintaku kemudian.

"Bisa main?" tanya Nasya.

"Sebenarnya sih masih kalah kalau sama kamu.." Meski terkesan malas, tapi ia tetap berangkat untuk mengambilkan gitarnya. Hanya membutuhkan waktu dua menit baginya. Ia pun kembali dengan cepat, seperti tak ingin membiarkanku berlama-lama sendiri di teras rumahnya.

Kumainkan sebuah lagu yang berhasil mencuri perhatian siswa di sekolah kemarin. Seperti duet profesional antara Rafka dan Nasya. Walau bukan penampilan yang sesungguhnya, kami tetap menjiwai isi lagu. Menikmati irama gitar bersama kehangatan di malam ini, hingga bait terakhir lagu I'm with you - Avril Lavigne.

"Awas kalau ikut ekskul musik!" Nasya mengancam sambil tertawa lirih.

"Takut kesaing ya? Atau takut kalau nanti duet sama aku? Hahaha tenang aja, aku nggak akan gabung. Tapi kalau bakatku tercium oleh anak-anak dan aku diajak gabung.. yaa apa boleh buat 😜."

"Wah rese!" Ia memukul tanganku tiba-tiba. Cukup sakit. Tapi aku tahu, ia tak sungguh-sungguh. Ada canda di balik ini. Yang mungkin tak banyak orang dapat mengerti. Namun, aku mulai mengerti. Dari raut wajah dan matanya.

Ini malam yang cukup indah bagi jombloers seperti kami. Malam minggu terasa cepat berlalu untuk momen indah seperti saat ini. Bagaimana bisa keindahan yang ada begitu cepat berlalu, di saat bulan dan bintang-bintang tersenyum menyaksikan keindahan ini. Dan tak cukup sampai di sini. Gitar pun terus merangkai nada-nada indah. Agar tak ada celah kosong yang tak berguna. Hingga teh yang semula hangat menjadi dingin. Namun martabak manis tak berubah rasa manisnya. Seiring terciptanya alunan nada yang memberi warna dan nuansa manis di malam ini.

- - -

Hari Minggu akan menjadi sia-sia jika tak digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat. Pukul 5:15 WIB, aku datang ke rumah Nasya. Mungkin kurang sopan pagi-pagi sudah bertamu. Kulihat ayahnya sedang sibuk merawat tanaman bersama sang istri. Kunyatakan niat baikku tuk mengajak Nasya berolahraga di taman kota. Cukup lama aku menunggu. Hingga tiga puluh menit waktu berlalu, terlihat Nasya baru keluar dari garasi menuntun sepedanya. Nampaknya belum seratus persen sadar.
Mungkin mood buruknya telah berkuasa dalam dirinya. Ia kesal padaku karena telah membuat papanya mengganggu waktu tidurnya di hari minggu. Aku pun bersiap diri akan hal itu.

Jalanan masih senggang. Lalu lintas masih sepi. Aku dan Nasya bersepeda menuju taman kota. Aku merasa seperti seorang diri. Ada atau tidak ada Nasya aku merasa sepi. Ia asyik dengan mp3nya dan seolah tak menganggapku ada. Namun tak kusangka ia cukup kuat. Ia cukup tangguh sebagai cewek. Langkahnya lebih cepat hingga aku tertinggal. Setelah dirasa cukup lelah, kami pun beristirahat, duduk-duduk santai di atas rumput-rumput hijau. Menghela napas panjang. Kulihat keringatnya mengalir deras di dahi. Kutawarkan air minum yang kubawa dan ia tak menolak. Selalu kuusahakan untuk berbicara, agar ia tak hanya diam, dan mengunci rapat-rapat mulutnya. Walau hanya satu kata. Aku mengharapkan itu.

"Hari ini agendanya ngapain aja?" tanyaku membuka obrolan.

"Nggak ada agenda khusus.. Entahlah.."

"Eh, pelajaran favoritmu apa?"

"Bahasa Inggris(?) Tapi nggak jago-jago amat sih.."

"It's okay, setidaknya ada semangat lebih buat belajar pelajaran yang kamu suka. Tapi harus semangat juga belajar yang lain. Ah iya, kok nggak ambil kelas bahasa aja kalau gitu?"

"Papaku pengen aku masuk kedokteran nanti, jadi ambil kelas IPA."

"Emm.. kalau kedua anaknya jadi dokter, yang nerusin usaha papanya siapa dong..?"

"Hahaha apaan sih.." Tak kusangka kalimatku membuat Nasya tertawa.

"Hehehe.. aku juga suka bahasa. Tapi sayang di sekolahku dulu nggak ada kelas bahasa," sedikit curhat walau sebenarnya tak ada pertanyaan untukku. -_-

"Ohhh sekolah kamu yang dulu ndeso yaaa??"

"Enak aja!" Hatiku sejuk melihat tawanya.

Setelah sedikit ada canda mewarnai perjalanan kami, saatnya kembali ke rumah. Kami bersepeda lebih santai. Aku berada tepat di belakangnya. Kurasa sudah hilang bad-moodnya. Menikmati pagi yang sudah mulai ramai lalu lalang kendaraan. Benakku berbicara ... tentang suatu keadaan di mana pikiran manusia kalah dengan perasaannya. Pikiranku mengatakan hal negatif, sesuatu yang menjengkelkan tentangnya. Tapi rasaku bertabrakan dengan pikiranku. Rasaku menilai positif akan dirinya. Prasangka baikku mengalahkan prasangka burukku. Kusadari, dalam diam kutertarik mencari jawaban atas rasa penasaranku tentangnya.

* * *

Light for My WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang