Gia memandang dirinya di cermin. Dia menyengir untuk melihat giginya yang sudah rapih lalu perhatiannya tertuju pada tubuhnya di pantulan cermin. Tidak ada yang berubah dari bentuk tubuhnya.
Dia lalu terduduk lemas di pinggir tempat tidurnya. Bibirnya mengerucut sempurna lalu kedua telunjuknya mulai saling beradu. Minggu depan mamanya dan kedua orang tua Bara akan menentukan tanggal pernikahan.
Kembali teringat dia ucapan Bara di awal perjodohan mereka. Jika dia bisa membuat Bara jatuh cinta maka Bara akan menikahinya. Gia sadar, Bara belum menyatakan bahwa dia jatuh cinta kepadanya. Meski Bara tidak ingin membatalkan pertunangan dengannya, tetap saja Gia merasa gelisah.
Kemudian Bayangan Bara yang baru saja keluar dari apotek bersama Clarissa lewat di pikiran Gia. Bukannya Bara bilang dia sudah putus dengan Clarissa? Lalu kenapa hari ini Gia melihat Bara dan Clarissa bersama?
Gia buru-buru mengecek ponselnya. Tidak ada yang aneh dari pesan yang dikirimkan Bara, hanya saja beberapa hari ini Bara meminta Gia untuk tidak menemuinya dulu karena Bara sedang sibuk dengan urusan kampus. Gia menurutinya, dia tak menemui Bara di kampus maupun ke rumahnya. Gia mempercayai Bara.
Tapi setelah apa yang dilihatnya tadi siang, membuat Gia ingin sekali menemui Bara. Dia pun memutuskan ke rumah Bara karena Gia pikir tak mungkin Bara berada di kampus. Dan di sepanjang perjalanan menuju rumah Bara, Gia berharap Bara ada di sana.
∆ ∆ ∆
Mobil yang ditumpanginya berhenti di sebuah bangunan rumah minimalis dengan dominasi cat warna putih gading dan hitam. Gia melirik ke arah garasi rumah tersebut. Tidak ada tanda-tanda mobil Bara terparkir di sana, itu berarti kemungkinan Bara tidak ada di rumah.
Gia lantas tak segera memasukinya. Dia agak ragu untuk datang ke rumah Bara padahal Bara sedang tidak ada di rumah.
“Non, Gia?” pembantu rumah tangga di rumah Bara menyapanya, dia baru saja kembali dari warung. “Non kenapa di luar? Yuk atuh masuk?”
Gia menggeleng pelan. “Bara, enggak ada di rumah kan?”
“Iya, Den Bara belum pulang. Tapi kalau non Gia mau menunggu, masuk aja ke dalam.”
Gia tak menjawab, dia sedikit ragu. Berkali-kali dia melirik wanita paruh baya di hadapannya itu. Bingung apakah lebih baik menunggu Bara atau tidak.
“Den Bara mungkin sebentar lagi pulang, Non Gia sebaiknya nunggu di dalam saja.”
Akhirnya, Gia memutuskan untuk menunggu Bara namun sebelumnya dia memberi pesan pada Mas Tedjo untuk menunggunya.
“Sebentar ya non, saya buatkan minuman. Non Gia, duduk saja di sini. Ibu Juliana juga belum pulang, cuma ada Dek Aira.” Gia tersenyum dan mengangguk.
Belum berapa lama pembantu rumah tangga itu berlalu, Aira yang hendak pergi agak kaget melihat Gia di ruang tamu rumahnya.
“Loh? Ada bakpau…,” Aira diam sejenak. “Kak Gia?”
Gia tersenyum ramah kepada Aira.
“Kak Gia mau ketemu Bara?” Gia mengangguk. “Setahu Aira sih, Bang Bara udah beberapa hari ini bolak-balik ke rumah sakit.”
“Rumah sakit?” Dahi Gia berkerut.
“Hmm-mm,” Aira mengangguk. “Awalnya Aira pikir Kak Gia sakit terus minta Bang Bara nemenin,” Aira diam sejenak. “Tapi ternyata Kak Ica yang sakit.”
“Kak Ica?”
“Iya, Kak Ica.” Aira menghela napas. “Kak Gia tau kan pacarnya Bang Bara? Clarissa?” Gia mengangguk. “Ya itu dia Kak Ica, Aira biasa manggilnya Kak Ica.”
KAMU SEDANG MEMBACA
THE UGLY BRIDE [SUDAH DITERBITKAN]
RomanceTELAH DITERBITKAN! SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS ==================== Asmara Bahagia, akrab dipanggil Gia. Cewek gemuk, pake behel, manja, cengeng dengan sikap dan tingkah seperti anak kecil. Baginya, Bara adalah cinta hidup matinya. Kumbara Pancakawi...