Another World (B & L)

13.5K 1.2K 507
                                    

Please jangan tanya Manda Migel. Ini tuh Another World. 2M lanjut sabar.

Terima kasih.
Vote sebelum baca guys..

**
***
**


Kemacetan depan rumah sakit sudah biasa terjadi. Persimpangan lampu merah, dekat kantor polisi dan juga keluar masuk mobil memasuki kawasan rumah sakit.

Brayn menggunakan hoddie jaket untuk menghalau matahari pagi. Tangannya terulur kedepan, menoleh kanan-kiri untuk menyebrang jalan. Di depan rumah sakit, terdapat penjual makanan kaki lima. Gerobak berjejer rapi dengan tenda-tenda kecil. Tempat itu selalu ramai, karena banyak anak kos yang membeli disana dan juga tempat yang pas untuk mencari sarapan pagi. Jalanan tersebut selalu dilewati.

Memesan semangkok bubur untuk Laica. Brayn juga membeli nasi uduk untuknya dan beberapa gorengan mengganjal perut. Ia ambil dan makan saat itu juga selagi miliknya dibungkus.

"Bherapha?"

Ibu penjual tersebut tertawa mendengarnya. "Telan dulu mas, baru bicara,"

Brayn mengangguk polos. Menunggu sekitar sepuluh detik. "Maaf bu, kelaperan."

"Dokter kok kelaperan," Ujar Ibu tersebut yang sudah sangat mengenal Brayn. Brayn termasuk orang yang suka membeli jajanan kaki lima ketika dinas waktu kuliah ataupun bekerja di rumah sakit seperti sekarang. Terlebih mereka bertemu tiap hari, hanya sekedar beli jus, makan gorengan dan kerupuk. Brayn bukan orang yang memilih makan di kafe di sebelah rumah sakit seperti dokter lainnya. Menurutnya makanan kaki lima lebih enak dan murah. Kecuali jika dirinya di traktir. "Ini kembaliannya."

Hanya dengan dua puluh ribu, perutnya akan di buat kenyang. "Makasih buk,"

"Tar Mas, tak tambahin sethithik." (sedikit)

"Akeh uga ora masalah buk," (Banyak juga nggak masalah buk) Brayn membuka kantung belanjaannya, ibu tersebut menambahkan beberapa gorengan. "Istriku isih ora pengin mangan, isih muntah saka wingi." (Istriku masih belum mau makan. Masih muntah dari kemarin)

"Yang sabar wae,"

"Makasih loh, buk. Aku mlebu dhisik."

Setelah berpamitan, Brayn menyebrang jalan lagi memasuki kawasan rumah sakit. Klakson motor mobil begitu berisik.

"Aa' bray! Kumaha damang?!" Brayn menoleh mendengar teriakan tersebut. Ia tersenyum dan mengangkat tangannya.

"Alus mang! Kuring balik heula!" (Baik. Aku pergi dulu!)

"Oke!"

Brayn itu paling suka belajar hal-hal baru. Ketika dirinya masih magang di rumah sakit di berbagai daerah, Brayn menggunakan kesempatan untuk belajar bahasa daerah dari tempatnya magang. Sedikit banyaknya ia tahu bahasa jawa, sunda, palembang, aceh, dan bahasa planetnya sendiri. Karena sifatnya yang konyol, siapa yang tidak ingat sosok dokter jail satu itu.

Beberapa rekan kerja, perawat dan koas menyapanya ketika Brayn lewat. Brayn mengangguk seolah artis sibuk yang dikejar seorang paparazi.

Memasuki lift untuk membawanya ke kamar utama dimana Laica dirawat. Tanpa mengetuk pintu, Brayn masuk begitu saja. Mengeluarkan bubur yang ia beli, dituangkan ke mangkuk.

"Yang makan ya," Meniup bubur, Brayn mendekati Laica. Duduk di bibir ranjang. Laica yang tidur dengan posisi menyamping terbangun.

"Kamu beli apa sih?" Laica menarik selimutnya sampai ke wajah.

Yang tersayang Allamanda [SUDAH ADA VER. E-BOOK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang