"Bang Eben serius nyuruh perempuan itu pergi?" Irfan baru berani masuk ke kamar itu setelah Eben keluar. Dia dan kembarannya sama-sama menatap iba kepada Mey yang berlinang air mata. "Aku kok nggak tega ya."
"Hooh," Arfan menuding Rega yang tak kalah ibanya. "Yaudah lah, kita antar dia pulang."
"Tapi dia nangis terus." Rega belum pernah pacaran lama, jadi dia tidak tahu bagaimana menghadapi perempuan yang menangis. Kalau saja dia punya adik cewek, semuanya pasti lebih baik.
''Tanya di mana dia tinggal," Irfan menyikut Arfan. "Kalau bang Eben datang lagi dan dia belum beranjak dari sini bukan cuma dia yang kena usir, kita juga mungkin disuruh pulang ke Jakarta. Aku belum mau pulang."
"Tumben kau waras," Arfan mendapat pelototan dari Irfan, dia mendekati Mey.
Mey sesenggukan, dia tak tahu harus ke mana sekarang dan perutnya terasa melilit karena lapar. Ketiga cowok yang berdiri di depannya itu sepertinya orang-orang baik, mereka mencemaskannya, bukan seperti pria berwajah kaku tadi. Tapi ketiga cowok itu tidak bisa melakukan apa-apa untuk menolongnya.
"Kami akan mengantarmu pulang," Rega berkata pelan. "Di mana kau tinggal."
Mey memilin selimut. "Aku nggak punya rumah." Jawabnya dengan menunduk.
"Maksudnya??" Irfan sewot. "Burung hantu saja punya rumah." Sebelum kembarannya itu mengucapkan kata-kata tolol berikutnya, Arfan memukul lehernya.
"Kenapa kau terus memukulku?" Dia membentak Arfan. "Kau pikir nggak sakit."
"Biar kau sadar, kayaknya otak-otakmu belum mencair." Arfan tidak mengacuhkan adiknya, ia memandang Mey. "Selama ini kau tinggal di mana? Orang tuamu bagaimana?"
Mey menggeleng. "Aku nggak punya orang tua, aku tinggal di penampungan."
"Oh!" Mulut Irfan membulat. "Terimakasih pada Tuhan aku punya orang tua dan tempat tinggal yang nyaman."
"Baiklah," Rega memijit keningnya. "Segalanya bertambah rumit sekarang. Berapa usiamu?"
"Dua puluh."
"Sama dengan kita," Irfan mengumumkan. "Kupikir tadi kau masih SMA."
"Kau nggak bisa diam sebentar," Arfan menggeram. "Daritadi suaramu saja yang kudengar.''
"Jangan pedulikan mereka," Rega mengambil alih, berharap Irfan dan Arfan diam sama dengan menjaring angin. "Sejujurnya aku nggak tahu harus berbuat apa untuk menolongmu. Kau punya ide?"
Mey menelan ludah dengan susah payah. Ide apa? Otaknya sudah memikirkan ide sedari tadi, tapi yang ada perutnya semakin lapar. Yang pasti adalah, jika tak ada di antara mereka yang memberinya tempat tinggal dia akan berakhir di jalanan, dengan perut lapar dan tanpa uang.
"Aku...," Mey kesulitan menemukan suaranya, bibirnya yang pecah-pecah terasa kasar di lidahnya. "Kumohon biarkan aku tinggal di sini." Hanya itu harapannya. "Aku akan membereskan rumah, aku bisa memasak. Pokoknya aku akan bekerja untuk kalian."
"Sebenarnya aku mau," Rega berkata, harapan Mey melambung mendengar kalimat itu namun segera pupus ketika Rega melanjutkan. "Tapi rumah ini punya bang Eben. Aku nggak punya kuasa apa-apa.''
"Atau kita bawa saja dia ke Jakarta." Seru Irfan setelah mereka semua terdiam beberapa saat.
"Terus kau suruh tinggal di mana dia?" tanya Arfan.
"Di apartemen Rega?"
"Kau ingin bang Eben mengebiriku, hah?" Bahkan apartemen itu juga punya Eben.
"Tak ada jalan lain, kita harus membicarakannya dengan bang Eben. Mungkin bang Eben bisa dibujuk biar Mey bisa tinggal di sini, toh bang Eben belum punya orang yang bersih-bersih dan memasak." Arfan menyarankan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mine (Play Store)
RomansaNovel dewasa Everything about love... Meylan & Eben Diranta Love Story