Bagian - 14

68.7K 4.5K 369
                                    

Eben menatap pintu yang tertutup dengan pandangan tidak percaya. Mey baru saja pergi dengan air mata membasahi pipi, seolah apa yang dikatakan Eben adalah vonis hukuman mati untuk gadis itu.

Karena masih belum mengerti kenapa Mey bertingkah seperti tadi, Eben memilih tidak mengejar Mey. Dia sendiri tak tahu harus mengatakan apa jika melihat Mey. Eben duduk di sofa panjang yang ada di kamar itu, tangannya memijit pelipis.

Eben tidak mengira reaksi Mey adalah menangis dan meninggalkannya. Demi Tuhan, ia melamar gadis itu. Di sisi mana dari bagian itu yang salah. Eben menyukainya, menyayanginya, kemungkinan besar benar-benar telah jatuh cinta padanya. Karena setiap kali berada jauh dari Mey, Eben tidak bisa berhenti memikirkannya. Gadis-gadis cantik dan seksi yang memberi perhatian padanya tak dapat mengubah perasaannya. Mey tetap yang mengisi pikiran dan hatinya.

Eben tidak tahu kalau Mey memiliki perasaan yang berbeda. Mungkinkah lamarannya terlalu cepat? Apakah Mey tidak merasakan apa yang dirasakan Eben??

Oke, Mey masih muda. Banyak gadis muda yang belum siap berumah tangga, karena memang menjalani kehidupan pernikahan bukanlah hal mudah. Tapi haruskah Mey menangis?? Eben masih tidak bisa mengurai dengan jelas apa yang sudah terjadi.

Banyak gadis langsung mengiyakan lamaran Eben. Karena, coba pikirkan, apalagi yang diinginkan seorang perempuan dari lelaki yang tidak dimiliki Eben? Ganteng, mapan secara finansial dan usia, merupakan kakak yang baik, bertanggung jawab, walau sedikit kaku namun dia baik bati. Eben sempurna. Melihat bagaimana sabarnya dia menghadapi Rega, Eben pastilah tipe suami setia. Tuhan, dia adalah calon suami idaman.

Lalu kenapa? Kenapa Mey malah menangis.

Eben menaikkan pandangan ke jam di dinding kamar. Sudah setengah jam berlalu setelah Mey meninggalkan kamar. Eben menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan.

Sementara itu di luar kamar tersebut, tepatnya di kursi dekat kolam renang, Mey mengusap matanya dengan punggung tangan. Rega, Irfan dan Arfan yang melihat gadis itu berlari dengan berurai air mata segera mengikutinya. Mereka tidak langsung menunjukkan diri. Dengan mengintip di belakang Mey mereka mengira Mey tidak menyadarinya.

"Aku tahu kalian di sana," ujar Mey dengan suaranya yang serak. "Kalau boleh tolong tinggalkan aku sendirian."

Arfan menyikut rusuk Rega. "Kita pergi saja."

"Tapi dia menangis." Tukas Rega.

"Perempuan kan memang sering menangis," bisik Irfan kuat hingga Mey dapat mendengar.

"Pelankan suaramu," Arfan melotot.

"Aku berbisik, sarap."

"Kau yang sarap, suaramu nggak kayak bisikan, tolol."

"Berhentilah saling mengejek, kawan," Rega bergeser dari tempat persembunyian, sebuab pohon rindang yang tidak terlalu tinggi, jaraknya sekitar 7 meter dari tempat Mey duduk. "Mey menangis, kita harus bertanya dia kenapa. Kita kan temannya, jadi kita nggak boleh membiarkan dia menangis terus."

"Tapi tadi Mey menyuruh kita pergi," Irfan mengingatkan.

"Dia nggak serius." Bantah Rega.

"Dari mana kau tahu dia nggak serius," protes Irfan. "Jelas-jelas dia serius. Mungkin bang Eben membentak Mey, mereka bertengkar. Kau tahulah," Irfan mengedikkan bahu. "Pertengkaran antar kekasih."

"Macam kau pernah bertengkar dengan pacarmu," gumam Arfan sambil tertawa.

"Memang aku nggak pernah bertengkar sama pacarku."

"Karena kau nggak pernah punya pacar," ejek Arfan semakin kegirangan.

"Yah. Yah. Ejek saja terus," ujar Irfan. "Padahal kau sendiri jomlo seumur hidup."

Mine (Play Store)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang