Bagian - 4

73.8K 4.5K 243
                                    

"Jadi sekarang apa penjelasanmu untuk tagihan sialan yang kau kirim beberapa hari lalu?" Eben melipat tangannya di meja kerjanya. Matanya merah karena butuh istirahat, setibanya di Medan dengan penerbangan pertama dari kalimantan dia belum ada istirahat. Punggungnya sakit begitupun kepalanya dan sekarang dia tidak tahu harus tidur di mana. Semuanya karena adik satu-satunya itu.

Rega menunduk di kursinya, tahu bahwa dirinya bersalah. "Aku nggak bermaksud merusakkan mobilnya." Dia hanya kurang hati-hati sehingga tidak memperhatikan jalan. "Tagihan yang kukirim sama abang itu nggak semuanya, sebagian aku pakai tabunganku." Uang bulanan dari Eben yang disimpannya sedikit-sedikit.

"Dua puluh juta? Dan kau bilang itu bukan semuanya? Apa kau sudah gila? Padahal itu bukan tagihan pertama yang kau kirim dalam bulan ini. Kau pikir aku mesin uang?" Eben tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Rega berhenti hura-hura dan bermain-main. Satu minggu yang lalu dosen pembimbing adiknya itu meneleponnya, memberitahu bahwa Rega sering tidak masuk kuliah, nilai-nilainya menurun. Eben merasa terlalu memanjakan Rega, setiap masalah yang ia timbulkan selalu dia yang menyelesaikannya untuk Rega.

"Aku minta maaf, Bang. Aku janji itu yang terakhir." Itulah yang selalu terjadi. Rega meminta maaf, memasang wajah menyedihkan, berjanji takkan mengulanginya, namun kembali berulah beberapa waktu kemudian.

"Yang terakhir dalam minggu ini maksudmu? Karena janjimu selalu janji palsu."

Rega menggaruk kepalanya, ujung bibirnya melengkung sedikit. "Mau bagaimana lagi bang," dia menatap abangnya. "Aku berupaya semampuku supaya nggak membuat masalah lagi, tapi kayaknya masalah itu terus membuntutiku ke manapun aku pergi. Yang penting kan aku nggak pakai obatan-obatan."

Darah Eben rasanya membeku. ''Berani kau mencobanya," nada suara Eben kaku. "Kuhabisi kau."

"Aku bersumpah nggak akan menyentuh barang haram itu, Bang." Rega membentuj huruf V dengan jarinya.

Eben memijit keningnya, tatapannya mengarah ke meja kerjanya yang dilapisi kaca. "Usiaku bertambah sepuluh tahun setiap harinya karena kau! Tidak bisa, kah, kau menenangkan pikiranku sekali saja?"

"Aku akan berusaha, Bang."

"Itulah yang selalu kau bilang."

''Yang penting aku mau berusaha."

"Hasilnya tidak ada."

"Itu berarti aku belum berhasil."

"Ya, Tuhan." Eben memelototi Rega. "Sekarang kau jelaskan kenapa nilai-nilaimu menurun di kampus?"

"Abang mengorek-ngorek sampai ke sana?" Rega menatap ngeri abangnya itu.

"Kau pikir kau mau jadi apa kalau terus bermain-main dengan kuliahmu, hah? Pekerjaan bagus tidak dilempar ke depanmu begitu saja, Rega."

"Aku bisa membantu perusahaan."

"Dan kau pikir perusahaan butuh orang tolol yang suka hura-hura?"

"Ck," Rega mengerang. "Aku tahu. Aku tahu. Baiklah, aku akan memperbaiki nilai akademisku."

Eben menatap lama Rega kemudian mengangguk. "Bulan depan, kalau tidak ada perubahan pada nilai-nilaimu semua fasilitas yang kau dapat sekarang akan kutarik. Kau paham?"

"Iya, Bang."

"Mulai sekarang setiap tagihanmu akan dipotong dari uang bulananmu."

Rega terpelongo. "Itu nggak adil?"

"Tidak adil untuk siapa? Untukmu? Jadi berhentilah membuatku bangkrut."

Rega keluar dari ruangan itu sambil menggerutu, tapi dia masih punya sopan santun dengan tidak membantung pintu.

Mine (Play Store)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang