Bagian - 5

72K 4.5K 316
                                    

Irfan tak henti-hentinya memuji masakan Mey. Mulai dari kata-kata sederhana hingga pujian yang bisa membuat gadis-gadis tersipu malu. Siapa sangka, mulut embernya juga lihai bermanis-manis.

"Kau istri idaman, Mey," dengan mulut berisi makanan dia berkata, sendoknya menunjuk ke Mey yang tersenyum menerima pujian itu. "Andai aku sudah lulus kuliah, akan kubawa kau ke rumah orang tuaku."

Arfan menggelengkan kepala. "Mau ngapain?"

"Yah melamar Mey lah, apalagi?"

"Terus dia kau kasih makan apa? Kau saja masih minta-minta."

''Ck," Irfan merengut. "Kau macam bukan saudaraku. Nggak pernah kau membelaku. Senang kali kau memojokkanku terus."

Arfan mengedikkan bahu acuh-tak acuh. "Mey nggak akan mau menikah denganmu."

"Kalian berdua," Rega menatap bergantian kedua sahabatnya itu. "Tolong diam dan habiskan makanan kalian. Aku juga perlu ketenangan dalam mencerna makananku, kalau mulut kalian terus mengoceh bisa-bisa udang itu hidup lagi." Suasana meja makan takkan seberisik itu kalau saja Eben ada di sana. Namun Eben sedang ada urusan mendadak, hingga terpaksa melewatkan makan malam di rumah, padahal bau harum masakan Mey membuatnya ingin segera mencicipinya. "Coba ada bang Eben, kalian pasti nggak berani ribut."

Mey masih mengenakan jubah Eben, pakaiannya yang kebesaran membuatnya seperti tertelan pakaian itu. Arfan memperhatikannya. "Ga, kau nggak punya pakaian yang bisa dipakai si Mey?" Arfan cuma memiliki beberapa pasang baju yang dibawanya dari Jakarta, begitu juga dengan Irfan. Hanya Rega yang mungkin punya pakaian lebih di rumah itu, dan juga Eben.

Rega ikut memperhatikan Mey. "Itu jubah bang Eben, kan?"

"Iya," Mey mengusap mulutnya dengan tisu. "Aku nggak punya baju ganti."

"Kau mau memakai kaos laki-laki?" Rega bertanya. Mungkin ukurannya akan kebesaran tapi pasti lebih baik dari jubah itu.

Mey menggangguk. "Nggak apa-apa, aku mau." Mey tidak mau merepotkan. Apapun yang diberikan padanya pasti dia terima.

"Yasudah nanti setelah selesai makan aku akan memberimu kaosku."

Apa yang terjadi di dapur seperti tidak pernah terjadi. Tidak ada yang berani membicarakannya, setidaknya tidak dengan blak-blakkan. Tidak ada satupun di antara mereka yang ingin berakhir dipulangkan ke Jakarta.

Eben segera bangkit dan membantu Mey berdiri begitu Rega dan kedua temannya meninggalkan dapur. Keduanya menjadi canggung, mereka tahu apa yang pasti terjadi jika gangguan tidak datang. Untung bagi Eben ponselnya berbunyi, mengharuskannya pergi sehingga tak perlu berlama-lama dalam situasi aneh itu.

Mey mengobrol dengan Rega dan si kembar sepanjang makan malam, mereka semua cepat akrab. Persamaan usia mungkin menjadi penyebabnya.

"Ngomong-ngomong bang Eben nggak pulang?" Irfan bersendawa dengan keras.

"Nggak tahu," ucap Rega bersamaan dengan Arfan yang mengatakan. "Kau jorok!!!"

"Sok bersih, kau."

"Jangan mulai lagi," Rega memperingatkan. "Kalian nggak capek bertengkar terus."

Mey tertawa. "Mereka lucu." Ia melirik Irfan. "Apalagi si kembar paling kecil."

Irfan menyisir rambutnya ke belakang. "Terimakasih, sayang." Ia memainkan mata. "Tapi aku lebih suka disebut tampan."

Arfan membuat suara muntah. "Hampir saja udang yang kutelan keluar lagi."

Irfan mendengus, dia memajukan kepalanya ke dekat Mey. "Kau sudah punya pacar?"  Mey menggeleng pelan.

Mine (Play Store)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang