Bagian - 12

60.3K 4.2K 164
                                    

Mey berlari sekuat yang ia bisa, sampai kakinya terasa akan patah. Napasnya kejar-kejaran di dadanya, ia terisak seraya sesekali menoleh ke belakang. Orang itu masih mengejarnya, sementara Mey tidak sanggup berlari lebih cepat lagi. Rasa takut memenuhi Mey dengan luapan menyakitkan. Laki-laki itu akan menangkapnya, membawanya kembali ke bangunan mejijikan itu, memaksanya menjual tubuhnya, kemudian hidup Mey akan berakhir untuk selama-lamanya.

Mey menggeleng dengan air mata mengalir deras di wajahnya, serta sakit di kepala. Mey berdoa, atau setidaknya itulah yang ia pikir dilakukannya. Bibirnya bergerak-gerak membisikkan kata-kata, Mey tidak yakin apa yang ia katakan.

Malam terasa dingin, namun Mey berkeringat. Kakinya semakin sakit, lututnya memar karena terjatuh dalam upaya melarikan diri dari pengejarnya. Jalanan sepi, bahkan kuburun jauh lebih menenangkan dibanding jalan yang dilalui Mey sekarang. Seharusnya ada mobil yang lewat, setidaknya Mey bisa berharap.

Ketika sekali lagi Mey membalik badan, ia terkesiap mendapati pria itu semakin dekat. Mey menangis semakin keras.

"Jangan." Rintihnya putus asa. Sedari kecil Mey jarang merasa bahagia, ia terlalu sering dipenuhi ketakutan akan masa depannya. Bagaimana dirinya kelak? Akankah ia memiliki seseorang yang menyayanginya dengan tulus? Terlalu berlebihankah jika ia berharap mempunyai keluarga? Suami, anak-anak? Hatinya dipenuhi keresahan setiap saat. Namun saat ini, semua itu terasa bukan apa-apa. Rasa takutnya sekarang melampaui segala yang pernah dirasakannya.

"Kumohon," Mey mulai kehabisan tenaga, kepalanya berputar-putar, pandangannya semakin kabur.

Dalam langkah cepat pria itu menarik tangannya, membuat Mey terkesiap.

****

Kedua bola mata Mey terbuka, melihat ke atas ke langit-langit kamar.  Pandangannya kosong, Mey bernapas dengan terengah-engah hingga dadanya bergerak naik-turun. Untuk beberapa saat Mey tidak bisa bergerak. Mimpi itu terasa begitu nyata, Nick memegang tangannya, Nick berhasil menemukannya.

Mey meremas selimut, memejam kembali, mencoba menenangkan hatinya. Ia aman, ia bersama orang-orang yang baik. Eben pasti menjaganya, bahkan si kembar peduli padanya. Nick tidak mungkin tahu di mana dia tinggal. Mey berada sangat jauh.

Butuh beberapa menit agar degup jantungnya kembali normal. Mey menyibak selimut, ia terhuyung sedikit ketika menginjak lantai yang dingin. Mey bertanya-tanya jam berapa sekarang. Di luar masih gelap, dengan lemah ia menelengkan kepalanya ke jam kecil yang ada di atas meja. Jam dua pagi.

Mey mengusap tenggorokannya yang kering. Ia menghidupkan lampu, kemudian keluar dari kamar. Mey membuat coklat panas untuk dirinya sendiri, kembali ke kamarnya lantas duduk di sofa panjang yang menghadap ke TV.

Gelasnya terasa panas di telapak tangannya. Itu bagus, Mey suka ketika tangannya hangat. Mey menaikkan kedua lututnya ke sofa, meneguk coklatnya perlahan, rasanya menenangkan.

Mey tidak tahu kenapa ia bisa bermimpi seperti tadi. Akhir-akhir ini Mey merasa sangat bahagia, belum pernah ia sebahagia sekarang. Tidak ada yang membuatnya takut, ia selalu tersenyum. Apalagi ketika bersama Rega dan si kembar.  Eben baik padanya, perhatian akan apa yang dibutuhkannya, segalanya seperti yang diinginkan Mey. Namun kenapa tiba-tiba Nick menghantuinya?

Mey menggeleng ringan. Mimpi itu tidak berarti apa pun. Mey tidak boleh memikirkannya. Itu hanyalah bunga-bunga tidur yang akan hilang dengan sendirinya.

Mey memandang foto Eben yang tergantung di dinding, foto Eben ketika diwisuda. Hati Mey dilanda rindu akan pria itu. Eben sudah pergi selama seminggu, meski setiap hari Eben meneleponnya Mey tidak merasa cukup.

Hubungannya dengan Eben berjalan baik, bahkan terlalu baik. Kadang, ada saat di mana Mey takut bahwa yang terjadi hanya ilusi. Semua ini. Tempat tinggal yang nyaman, pria yang baik, teman-teman yang menghibur, Mey takut itu tidak nyata.

Mine (Play Store)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang