#10. Untold

1.2K 117 2
                                    

.
.
.
.
.

Sepasang manik karamel itu hanya memandang datar, tanpa minat pada sosok dihadapannya. Segala penjelasan yang Yoongi dengar barusan, sama sekali tidak dia pedulikan. Hanya masuk telinga kanan dan keluar lagi dari telinga kirinya.

Yoongi sudah mengetahui semua kebenarannya.

Tentang kematian kedua orangtuanya. Kedatangan orang ini.
Bahkan maksud dan tujuannya.

Semuanya... Yoongi sudah tahu. Karena dia terlalu pintar, hanya untuk sekedar menyadarinya sedari awal.

"Aku yang akan mengurusmu mulai dari sekarang", ucap pria yang berpakaian rapi namun masih terlihat kasual itu, setelah mengakhiri pidato panjangnya.

Yoongi menggulirkan maniknya kesamping, menatap beberapa map yang berserakan diatas meja.

"Aku sudah mengurus semua surat-suratnya. Kau tinggal menandatangani persetujuan tersebut", ucap pria itu lagi.

"Tak ada wasiat dari Appa dan Eomma ku mengenai hal ini", Yoongi membuka suara setelah sekian lama hanya bungkam. Tatapnya beralih pada sosok lawan bicaranya. "Aku tidak bisa mempercayaimu begitu saja. Berkas-berkas ini tidak cukup konkrit untuk memperkuat semua perkataanmu"

Pria itu mendengus pelan, "Benar. Tidak seharusnya kau langsung percaya padaku", sama sekali tak membantah. Seolah dengan kalimatnya, dia tengah mengikuti alur permainan yang Yoongi berikan. "Bahkan aku kadang berpikir, apakah aku bisa mempercayai diriku sendiri?"

Kedua alis Yoongi, samar berkerut. Dia menyadari ada maksud tersirat di kalimat yang baru saja terlontar dari bibir pria itu. Dalam sekian detik mereka hanya saling pandang. "Park Jimin", suaranya terdengar sedikit tertahan saat mengeja nama pria tersebut. "Sebaiknya kau pergi", putusnya kemudian.

Jimin tersenyum, senyum manis yang selalu dia tunjukkan seperti ketika pertama kali mereka bertemu. Tak menunggu pengusiran yang kedua, dia sontak beranjak dari duduknya. "Mungkin kau membutuhkan waktu untuk memikirkannya lagi. Dan aku tidak keberatan", gelengnya pelan. "Sebaiknya kau hubungiku secepatnya", tuntutnya sembari melenggang pergi.

Yoongi menarik nafas dengan mata terpejam. Dia nampak begitu terbeban, entah karena apa. Keheningan yang menyelimutinya, benar-benar terasa memuakkan. "Cih!", ketika membuka mata, Yoongi langsung membuang semua berkas-berkas dihadapannya hingga berserakan. "Brengsek!", umpatan keluar dari bibir tipisnya.

Yoongi berjalan mondar-mandir di ruangan tersebut, dia terlihat frustasi—sangat frustasi. Susah payah mengatur nafas agar emosinya tidak benar-benar jadi melonjak.

Yoongi tahu, Jimin tidak akan menyerah dengan mudah. Pria licik itu pasti akan muncul lagi dan lagi sampai yakin jika targetnya telak menyerah dan takluk.

Terhenti didepan jendela, Yoongi menghembus nafas panjang. Dilihatnya mobil Porsche hitam milik pria Park tadi perlahan meninggalkan jejak bannya dari halaman mansionnya. "Kita lihat, siapa yang akan bertahan hingga akhir", tatapannya terseret pada mobil tersebut hingga menjauh dan menghilang. "Akan ku pastikan hanya namamu yang akan tersingkir, Park"

.
.
.
.
.

Park Jimin itu....

Misterius.

Hanya satu kata itu yang bisa menggambarkan bagaimana sosok itu muncul pertama kali dihadapan Yoongi.

Dari tatapannya, tutur katanya, bahkan senyumannya. Ada sesuatu yang tersembunyi dibalik semua hal tersebut. Namun, Yoongi tidak pernah bisa untuk menembus lebih jauh kedalam sosok itu.

Sekian pertemuan yang telah terjadi dalam beberapa bulan, Yoongi selalu saja dibuat tak tenang. Seluruh atensi dan fokusnya dipaksa untuk berotasi pada si pria Park.

Sampai saat ini pun masih tidak ada perkembangan yang berarti. Jimin terlalu sulit untuk dijamah dan dimengerti.

"Apa yang kau lakukan disini?", suara Yoongi terdengar begitu ketus, saat dirinya mendapati Jimin telah berada dirumahnya.

"Entahlah", Jimin mengendikkan bahu. "Aku tidak yakin jika aku berkunjung kerumahku sendiri"

Yoongi menaikkan sebelah alisnya, sedangkan tangannya terlipat didepan dada. Tatapannya menyorot dingin dan angkuh, satu-satunya pertahanan yang bisa dia tunjukkan agar tidak terlihat lemah. "Dan aku tidak pernah ingat jika aku sudah menandatangani berkas perjanjian konyol yang bahkan sudah hilang entah kemana"

Jimin terkekeh pelan. "Tidak masalah. Toh cepat atau lambat, semua akan jadi milikku", kali ini bukan lagi senyuman, melainkan sebuah seringaian mengancam yang sulit diartikan.

Dan Yoongi teramat sadar bahwa hal tersebut bukanlah pertanda yang baik untuknya.

"Apa maumu Park?"

Jimin mulai mengikis jarak, langkah kakinya nampak begitu santai. Bahkan suara ketukan sepatunya terdengar berirama. "Semuanya... Semua yang aku inginkan harus menjadi milikku, Nona Min", nadanya berubah lirih. "Bahkan jika itu... kau"

Ada keterkejutan yang berhasil Yoongi samarkan. Jimin telah berhenti tepat didepannya. Saling melempar tatapan tajam seolah mengunci satu sama lain. "Apa kau berpikir dunia berputar hanya tertuju padamu? Aku tidak menyangka kau akan senaif itu, Tuan Park", cibir Yoongi melalui kata-kata. Dan Jimin tergelak karenanya.

"Ya. Kuharap juga begitu, Nona. Tapi sayangnya duniaku sulit ditaklukkan",  maniknya menjurus lurus pada Yoongi dan tak teralih.

Yoongi hanya mendengus ketika mendengarnya, dia merasa pria ini benar-benar sudah gila.

"Lalu... bagaimana jika duniaku adalah dirimu?"

Ini bukan yang pertama kali, ucapan Jimin membuat Yoongi terkejut. Namun, bagaimana jika bibir yang selalu membuatnya terkejut dengan untaian kata-kata tersebut, sekarang berhasil mengejutkannya dengan cara yang lain?

Yoongi reflek memberontak, dia tidak menyangka jika Jimin akan memperlakukannya seperti ini. Meski usahanya terasa sia-sia, Yoongi tidak ingin menyerah. Jimin dan kekuatannya, telak mengunci pergerakan tubuhnya.

Jimin telah menarik Yoongi dalam pagutan halus yang menuntut. Perlakuan paling kurang ajar yang pernah dia lakukan terhadap seseorang. Selama ini, Jimin selalu mendapat apa yang dia inginkan tanpa perlu paksaan. Tak terkecuali untuk kebutuhan biologisnya, karena partner-nya lah yang akan mengemis dikakinya.

Tapi, Yoongi ini, lain... Dia yang terlihat dingin dan angkuh dengan segala gengsinya, berhasil membuat Jimin memunculkan sisi gelapnya. Eksistensi Yoongi, telak memaksa Jimin untuk membongkar pertahanannya.

Melupakan seluruh rencana yang telah tersusun, Jimin benar-benar dibuat tergila-gila pada sosok Yoongi.

Sekian lama dalam hening, Jimin perlahan memisahkan diri. Ditatapnya Yoongi dengan begitu memuja. Mengusap pelan bibir merona merah itu dengan ibu jarinya. Kemudian tersenyum. "Sekarang aku sadar, jika hidup di dunia itu butuh perjuangan"

"Brengsek!! Lepaskan!", Yoongi menepis kasar tangan Jimin namun gagal, karena Jimin lebih cepat mengunci pergerakan kedua lengannya agar tak bisa lagi memberontak. Dia balas menatap sepasang manik elang didepannya dengan amarah yang berkobar.

"Kau pasti sudah tahu segalanya", kali bukan senyum menawan ataupun seringaian menyebalkan yang Jimin tunjukkan, melainkan seulas senyum sendu sarat akan penyesalan. "Kuharap kau bisa memaafkanku", punggung jemarinya beralih mengelus pipi pucat Yoongi hingga dia tersihir dengan tindakannya sendiri. "Aku mencintaimu, sejak kau hadir dihadapanku"

Yoongi jelas tercekat, setelah mendengar ungkapan itu. Dia bahkan hanya bisa membisu tanpa tahu harus mengatakan apa. Jimin yang selama ini bersikap dingin padanya, ternyata menyimpan perasaan yang seperti itu.

"Maafkan aku...", tulus Jimin berucap sarat berharap maaf. Direngkuhnya tubuh Yoongi dalam pelukan. Dia menyesal, namun dia juga tidak bisa membiarkan Yoongi pergi jauh dari dirinya. Jimin tidak akan rela jika dunianya kembali direnggut. Jimin tidak mau.

Haruskah Yoongi langsung percaya jika pria brengsek ini telah menyesali perbuatannya? Atau mungkin malah dia bisa menggunakan kelemahan si pria Park tersebut untuk membalas dendam?

.
.
.
.
.

Voment jusseyo~

MinyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang