#9. Doctors

1.4K 128 2
                                    

.
.
.
.
.

"Ada pendarahan didalam kepalanya, kemungkinan besar dia akan mengalami gagar otak jika tidak segera dioperasi"

"Kalau begitu, siapkan ruang operasi sekarang juga, Hyung!"

"Belum ada wali yang berhasil dihubungi oleh pihak rumah sakit, Jim. Kau tidak bisa mengambil keputusan seenaknya sendiri"

"Aku yang akan bertanggung jawab disini!", sahut Jimin terdengar frustasi. Dia masih dilanda kepanikan sedari tadi.

Namjoon yang menjadi dokter residen sekaligus dokter pendamping untuk Park Jimin, mengerutkan dahi tanda dia sedang terheran. Dia tidak menyangka jika hal itu yang akan dikatakan oleh dokter muda yang baru saja lulus setahun lalu dengan predikat cumlaude itu. Dokter tampan lulusan universitas ternama yang langsung diangkat sebagai dokter spesialis bedah utama dirumah sakit tempat dimana mereka bernaung sekarang. "Apa?!"

"Aku yang akan bertanggung jawab, Hyung. Seperti yang kau katakan, kita harus segera menyelamatkan nyawanya", dia tengah mencuci tangan guna mensterilkannya, bersiap untuk melakukan operasi.

"Ada prosedur yang harus kita lalui sebelum melakukan operasi ini, Jim. Kau bisa dipanggil pihak kedisiplinan jika kau melakukan pelanggaran lagi", ucap Namjoon mencoba mengingatkan.

Pasalnya ini sudah kesekian kalinya Jimin bertindak gegabah. Namun sikap gegabah yang Jimin lakukan memiliki dasar kemanusiaan, dia hanya ingin menyelamatkan nyawa manusia sebanyak yang dia mampu.

Hanya se-sederhana itu, dan sayangnya prosedur yang diterapkan oleh rumah sakit, seakan menghalangi niatan baiknya.

Jimin melirik sekilas. Ada gejolak yang berusaha dia tahan disetiap hembusan nafas beratnya.

"Jika kau tetap memaksa untuk melakukannya tanpa lolos dari persyaratan yang ada, aku tidak bisa membantumu lagi", Namjoon menggeleng samar. "Apa kau tidak ingat dengan surat peringatanmu yang terakhir? Kau baru saja masuk setelah masa skorsing mu!"

Jimin menarik nafas panjang.

"Jangan bertindak bodoh dan mempertaruhkan gelar doktermu yang susah payah kau gapai, Jim?!", Namjoon jelas emosi. Jimin yang keras kepala memang selalu sukses menyulut amarahnya.

Jimin menghela nafas sejenak, menoleh kearah Namjoon yang juga tengah menatapnya nyalang. "Dan ini kesempatan terakhir ku untuk menebus kesalahanku, Hyung. Aku hanya tidak ingin kehilangannya untuk yang kedua kali...", ucap Jimin terdengar merana, nyaris putus asa hingga terseret frustasi. Dia benar-benar kalut.

Tatapan Namjoon yang semula tajam, perlahan berubah menyendu begitu mendengar alasan kenapa Jimin yang teramat bersikeras dengan keputusannya.

"Aku mohon...", pintanya melirih dengan seluruh kesungguhan hati. "Aku tidak masalah jika dia harus membenciku diseumur hidupnya, tapi tidak dengan dia yang pergi dariku, Hyung", tiba-tiba ada sesuatu yang menghimpit dadanya. Rasa sesak itu menjalar bagai api yang membakar daun kering. Begitu cepat dan menghanguskan.

Namjoon berdecak frustasi, dia berkacak pinggang sembari mengusap wajahnya kasar. "Kali ini, aku tidak akan bisa membantu mu untuk menghadapi pihak kedisiplinan, Jim", dia menyerah, kembali menatap Jimin dengan sepasang maniknya. "Setidaknya jangan sampai terjadi apa-apa dengan pasien kita. Mungkin hal itu bisa menjadi pembelaanmu nanti agar mendapat keringanan hukuman"

Jimin tersenyum tipis, antara ingin mencoba meyakinkan Namjoon dan menguatkan dirinya sendiri. "Aku tahu", angguknya mantab.

"Ruang pertama sudah siap", Namjoon memberitahu. Ruangan itu sudah disiapkan sejak tadi, hanya saja menunggu persetujuan dari pihak keluarga lah yang sedikit menghambatnya. Lolos dari prosedur rumah sakit adalah hal terpenting setelah keselamatan pasien. "Waktu kita tidak banyak"

.
.
.
.
.

Denting suara mesin electrocardiograph yang mengindikasikan bahwa nyawa pasien masih dalam kendali tim bedah tersebut, telah menghilang dibeberapa detik terakhir.

"Tambah tegangannya!", Suara teriakan Jimin sama sekali tak mengurangi kepanikan yang saat itu tercipta. Bahkan nafasnya ikut memburu karena perasaan panik tersebut telah menggerogoti hati dan pikirannya. "Kumohon... Kumohon...", rapalnya dalam bisikan yang tak kunjung berhenti, layaknya mantra yang seakan-akan bisa menyelamatkan nyawa si pasien.

"Dalam hitungan ketiga. Satu, dua, tiga!", Namjoon memberi aba-aba, seraya menempelkan sepasang defibrillator guna memancing detak jantung pasien agar kembali berirama. Sekali coba, tak ada perubahan. "Lagi! Satu, dua tiga!"

Tubuh pasien tersentak begitu alat picu listrik itu lagi-lagi menyentuh dadanya.

Jimin hampir menangis, menggigit bibir bawahnya frustasi. Maniknya terpejam, dia menunduk untuk meraih sebelah sisi kepala sang pasien. "Ya Tuhan, Yoongi... dengarkan aku. Kumohon, beri aku kesempatan... Hanya sekali, dan aku tidak akan jadi pria bodoh yang menyia-nyiakan mu", bisiknya pelan tepat ditelinga.

"Tambah, jadi 150 joule! Satu, dua, tiga!", instruksi Namjoon memecah keheningan yang menegangkan.

"Yoongi... Aku mencintaimu... Kumohon..."

"Satu, dua, tiga!"

"Hanya sekali... Yoongi... Beri aku kesempatan"

"Sekali lagi, 200 joule! Satu, dua, tiga!"

"Yoongi...", Jimin sudah diambang putus asa, ketika suara alat tersebut tak kunjung terdengar, tapi...

Tiit, tiit, tiit...

Bagai sebuah keajaiban. Tatkala mendengar bunyi dengung mesin electrocardiograph tersebut, sontak membuat Jimin dan tim bedahnya bisa bernafas lega. Mereka tersenyum di balik masker operasi yang tengah mereka kenakan.

"Terimakasih... Terimakasih...", ucap Jimin begitu bersyukur. Menarik dan menghembus nafas panjang setelah tadi sempat tertahan, kemudian Jimin kembali mendongak. "Kita selesaikan ini, secepatnya"

"Baik, dok!"

.
.
.
.
.

Beberapa jam dalam ketegangan yang mematikan, terbayar dengan keadaan Yoongi yang terlihat stabil di layar monitor pasien.

Suara mesin yang memantau kondisi detak jantung Yoongi, samar-samar terdengar dari ruangan ICU itu.

"Kau berhasil"

"Hm... Dia selamat", mengangguk Jimin pelan.

"Kau yang telah menyelamatkannya, Jim"

Jimin melirik dari balik celah pintu kaca yang tertutup rapat. "Itu karena keinginannya untuk tetap hidup begitu kuat, Hyung"

Namjoon ikut tersenyum, dia sempat melarikan tatapnya kearah yang sama. "Kita tunggu hingga dia sadar", ditepuknya pelan pundak sang sahabat. "Min Yoongi. Dia sedikit membuatku iri karena mendapatkan kegigihanmu, Jim"

Jimin menarik sebelah alisnya keatas, lalu menoleh. "Dan dia yang selalu membuatku bertanya-tanya, kenapa hanya dia yang ada dihati dan pikiranku, Hyung", bibirnya tertarik kebawah, seolah tengah merajuk. "Apakah aku harus melakukan operasi juga setelah ini?", tanyanya setengah bergurau.

"Untuk mengeluarkannya dari pikiranmu?", tawa Namjoon menggema. "Ayolah... Kurasa kalau kau amnesia sekalipun, yang bisa kau ingat hanyalah dia", diikuti suara kekehan setelahnya.

Jimin ikut terkekeh. "Mungkin..."

"Perjuangkan dia, Jim. Dia pantas untukmu...", Namjoon menatap Yoongi sejenak. "Kau pun juga", kemudian mengendik dagu kearah Jimin.

Kali ini senyumnya berubah sendu, Jimin menghembus nafas panjang. "Kuharap begitu"

"Serahkan saja pihak kedisiplinan padaku. Jika aku berhasil, kau berhutang traktiran seminggu di kedai biasa" Namjoon tersenyum seraya menepuk pundak Jimin dua kali, sebelum dia pergi.

Sementara Jimin hanya menatap punggung tegap Namjoon yang mulai berjalan menjauh.

Ini hari yang melelahkan.

.
.
.
.
.

Voment jusseyo~

MinyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang