#11. Partner for Life

1.2K 121 7
                                    

.
.
.
.
.

Siapa bilang jadi anak konglomerat itu enak?

Terus... siapa juga yang bilang jadi anak konglomerat itu bisa hidup bebas?

Jika kalian berpikir seperti itu, maka segera buang jauh-jauh pikiran tersebut dari otak kalian. Karena apa yang dirasakan Jimin sekarang, sangatlah bertolak-belakang dengan apa yang ada didalam bayangan kalian.

Park Jimin——sesosok pria muda tampan nan mapan dengan sejuta pesona, yang pasti diimpikan oleh semua orang. Namun sayang, diantara sisi membanggakan itu, Jimin nyatanya tengah terkurung didalam dunia yang sengaja diciptakan untuknya.

Menjadi putra tunggal pewaris Park company benar-benar membuat Jimin terikat dengan yang namanya aturan mutlak yang tidak bisa dibantah maupun ditolak.

Seperti saat ini, Jimin tengah terjebak diantara kerumunan para kolega, karena dipaksa untuk menghadiri grand opening perusahaan cabang ke-99 di Korea milik sang kakek. Menjadikannya sebagai pusat sorot camera yang otomatis mengarah pada setiap gerak-geriknya.

"Senyummu kurang terlihat natural, Jim"

Jimin melirik sinis kearah Namjoon yang baru saja berbisik ditelinganya. Hanya sejenak, sebelum dia kembali mengedar pandang ke seluruh puluhan lensa yang memotret eksistensinya.

Begitu selesai.

.
.

"Seharusnya sekarang aku sedang liburan di Malta, menikmati sunset dengan segelas wine ditanganku", gerutu Jimin terdengar malas. Dirinya sudah berada di kursi penumpang dalam perjalanan pulang. Membiarkan sang supir memegang kendali penuh atas tur malamnya kali ini.

Namjoon yang berada disamping Jimin pun tersenyum ketika dia mendengar racauan Jimin. "Katakan hal itu pada kakekmu yang memilih terbang ke London daripada menemani cucu kesayangannya disini", kekehnya kemudian.

"Semoga saja dia tidak mati di pesawat karena serangan jantung", sarkas Jimin dengan ketus.

"Jaga mulutmu, nak. Memangnya kemana kau akan pergi, jika kau tidak punya uang, heh?", cibiran Namjoon telak menusuk tanpa belas kasih.

Menjadikan Jimin meringis dalam hati dan melirik tak suka. "Kau selalu benar jika sedang berbicara", ucapnya balas mencibir.

"Ingatkan lagi jika aku mengenalmu tidak setahun-dua tahun yang lalu, Jim"

Jimin menggulirkan maniknya kesamping. Membenarkannya meski dengan kecut hati. Kenyataan, bahwa mereka sudah seperti keluarga sejak kejadian ayah dan ibunya meninggal, sedikit membuat Jimin trenyuh ketika mengingat kembali.

Namjoon tertawa seraya menepuk beberapa kali pundak Jimin, sarat akan gurauan. "Ayolah, Jim. Kau sudah tidak memiliki jadwal setelah ini, aku akan segera membebaskanmu. Kau bisa kemanapun yang kau mau"

"Aku tidak yakin, jika 'kemanapun' yang aku maksud dengan 'kemanapun' yang kau maksud, punya artian yang sama, Hyung", gumam Jimin, sebelum bibirnya kembali menyesap minuman kaleng bersoda yang ada ditangan, entah sedari kapan dia mendapatkannya.

Seulas senyum kembali tercipta dibibir Namjoon. "Kau selalu tahu apa yang aku mau, Jim. Jadi... lakukan apa yang menurutmu baik untuk dirimu. Kau pasti sangat tahu dimana batasmu berada", suaranya merendah, bertujuan agar hanya mereka berdua saja yang bisa mendengar.

"Kau tahu, Hyung? Pak tua itu hanya ingin mengekploitasi cucunya sendiri", protes Jimin setengah jengkel.

"Salahkan saja, 'dia' yang berani menolak dijodohkan oleh seseorang yang kau sebut Pak tua barusan", balas Namjoon tanpa menghiraukan protes yang Jimin ajukan. "Apa yang ditanam, maka itu pula yang akan 'dia' tuai"

MinyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang