#12. My Heart is Broken Even Before Fallin

1.1K 92 1
                                    

Suasana rapat, pasti selalu sama.

Ini bukan pertama bagiku mengikuti rapat resmi seperti ini.

Yang berbeda kali ini adalah, masa depanku dipertaruhkan. Perjanjian antara dua perusahaan, dengan dalih ingin mempererat kerjasama.

Pernikahan...

Ya... Aku dijodohkan dengan seorang anak dari sahabat ayahku. Bahkan aku sendiri belum tahu bagaimana wujud dan rupa dari calonku.

Tak perlu repot untuk kedua sahabat itu, mengetahui bagaimana pendapat ku akan perjodohan ini. Tentu saja mereka lebih memilih menutup mata dan telinga untuk sekedar mendengar argumentasi ku. Dan parahnya aku tidak keberatan akan hal itu.

Asal kalian tahu, meski ayahku memintaku agar terjun ke sumur pun aku akan melakukannya.
Karena apa? Ia adalah seorang diktator ulung penuh ancaman mematikan.

Lalu bagaimana aku bisa hidup sampai sekarang?

Selama ini aku menjadi anak penurut yang selalu mengikuti aturan mainnya. Jadi aku aman.

Atau teman-teman ku bilang dalam bahasa kasar, aku bagai anjing yang harus mengendus kakinya jika ingin mendapat makan.

Kejam memang.

Tapi aku belum menginginkan kematian untuk hidupku.

Dulu pernah sekali aku membangkang. Dan apa yang terjadi? Seluruh fasilitas ku ditarik dengan penuh pengawasan. Tak ada yang bisa membantuku, bahkan toko kecil yang mempekerjakan ku saja harus mengalami kerugian karena ulah sang diktator.

Aku bagai ancaman bagi seluruh benda yang berada dekatku. Bisa dipastikan mereka akan hancur berkatku, meski secara tidak langsung.

Karena aku sendiri tidak ingin mengakuinya, karena aku bukan ancaman.

Sejak saat itu, aku mendeklarasikan bahwa mencari aman adalah pilihan terbaik.

Saat ini pun, aku memilih untuk melakukannya.

Gerakan pintu terbuka dari luar membuyarkan lamunanku.

Pelan namun pasti, kemudian memunculkan sesosok gadis ramping nan tinggi dengan surai panjang kecoklatan yang membingkai wajah manisnya.

Senyumnya terkembang, menampakkan dua gigi depannya yang menggemaskan. Pancaran maniknya berbinar penuh keceriaan. Polesan make up menghias pas diwajahnya, terkesan seperti wanita dewasa dengan karir gemilang.

Tipe gadis manis yang menjadi incaran, itulah hal pertama yang aku tangkap. Dan setelahnya––

––Ada sosok manis lain yang berada dibelakangnya, mengekor patuh. Surai hitamnya yang bergelombang alami mencapai punggung membuatnya nampak lebih manis dengan warna kulitnya teramat kontras.

Beda dengan yang pertama, ia lebih terlihat lebih kalem tanpa make up berarti—ah... polosnya.

Seorang gadis yang baru saja menginjak dewasa, baru menapaki dunia perkuliahan dan berusaha mengikuti kejamnya alur kehidupan.

Ia begitu manis tapi ekspresi dingin yang ia tunjukkan, berhasil meninggalkan kesan misterius penuh teka-teki.

Hal pertama yang ada dalam benakku saat melihatnya adalah rasa penasaran yang membuncah.

Mereka duduk berjajar, menempati kursi masing-masing.

Sorotku masih saja lekat pada si gadis dingin.

Kami saling tatap untuk sekian detik sebelum ia yang memilih untuk memutus pandang.

Apa itu tadi?

Desir aneh melingkupi dadaku. Kenapa hanya melalui tatapannya aku merasakan gelenyar aneh yang menggelitik didasar perut?

Tak beda jauh dengan raut datarnya, tatapannya yang terkesan dingin, sukses menyeret ku untuk tenggelam. Maniknya seolah tengah berbicara, bahwa ia tidak ingin seorang pun masuk dalam hidupnya.

Memberikan batas untuk siapapun agar tidak menyentuhnya. Seperti ada dinding tebal yang sengaja ia bangun dan melarang setiap orang supaya tidak mendekatinya.

Ia terkurung tapi ia juga tak ingin keluar dari kurungan tersebut.

Apa ia?

Apa ia yang akan dijodohkan denganku? Dari raut keduanya bisa disimpulkan bahwa si surai kelam lah yang terlihat sedikit tertekan.

Apa ia tidak menyetujui perjodohan ini?

Apa karena ia masih muda?

Jika benar itu alasannya, maka aku tidak keberatan untuk menungguinya. Astaga, apa yang baru saja terlintas diotakku? Dari sekian aturan yang diberikan oleh ayahku, kenapa baru kali ini, aku merasa adrenalinku berpacu?

"Ini anak kandungku...", Tuan Jeon––sahabat ayah–– mulai memperkenalkan anaknya. "Jeon Jungkook", menunjuk gadis manis disebelahnya yang membuatnya tersenyum ramah penuh persahabatan.

Semua mata tertuju padanya, termasuk aku. Ia mempesona, kuakui itu.

"Dan disebelahnya, dia Min Yoongi. Putri dari istri keduaku", jelasnya.

Min Yoongi? Si surai kelam?

Kenapa ia tidak memakai marga tuan Jeon?

"Dia menginginkan marga dari orang tuanya yang terdahulu, dan aku tidak keberatan", lanjut tuan Jeon menjawab benak tanya orang-orang yang ada dalam ruangan tersebut.

"Lalu bagaimana tuan Jeon? Apa segera saja kita umumkan?"

Itu ayahku bersuara.

"Ah... Tentu saja", senyum tuan Jeon mengembang. "Dengan ikatan pernikahan ini, aku harap kerja sama kita bisa berjalan lancar"

Ayahku mengangguk menyetujui.

"Jadi?"

"Aku akan menikahkan putriku, Jungkook dengan anakmu, Tuan Park"

Aku tersentak kaget, memaksa sorot pandangku dari si manis pucat menuju tuan Jeon.

Jadi bukan Min? Melainkan Jeon?

Ayahku––Tuan Park–– mengangguk setuju.

Tunggu... Aku kira–

Aku menatap ayahku, meminta penjelasan. Tapi jika kalian mengira bahwa ia akan memberi penjelasan satu-dua patah kata padaku, maka itu salah besar.

Dan yang aku rasakan saat ini, sudah seperti pesakitan yang patah hati bahkan sebelum merasakan indahnya cinta. Miris sekali.

Aku sejenak lupa akan sikap diktator ayahku. —Ya, karena aku terlanjur terjerat dalam sosok manis tersebut.

[] []

Dari pada nge-draf 😅

MinyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang