.
.
.
.
.Kali ini Namjoon yang mengambil alih kemudi. Jalanan sepi di Seoul benar-benar menandakan jika saat ini sudah cukup larut bagi manusia untuk berkeliaran diluar. Beberapa toko pinggir jalan pun bahkan terlihat temaram karena sudah tutup.
Laju mobil itu teramat santai, mereka tengah tenggelam dalam pikiran masing-masing. Banyak kejadian yang akhir-akhir ini terjadi. Dan sayangnya, semua yang ada seolah-olah disengaja agar menyudutkan salah satu pihak.
Meski terbagi fokus, tak menjadikan Namjoon gagal menangkap sesuatu yang cukup menarik baginya. Seringaian tipis tercetak samar.
"Hei... Jimin?"
"Hn?", tepat disebelah Namjoon, Jimin bergumam seadanya. Dia terlihat lelah dan malas, kepalanya bersandar pada lengannya yang tertekuk di di pintu mobil yang jendelanya sedikit terbuka.
"Apa kau benar-benar membenci Yoongi?"
Melirik sekilas, Jimin setengah sangsi mendengar pertanyaan Namjoon barusan. "Kenapa memangnya?", bukannya menjawab, dia malah balik bertanya.
Namjoon mendengus. "Aku bertanya..."
"Kau sudah tahu jawabannya", tukasnya begitu dingin.
Semakin menyunggingkan senyum miringnya, Namjoon menggaruk pelipisnya yang tak gatal. "Kau yakin kau tak peduli padanya?"
"Sudahlah Hyung, kau membuatku muak hanya dengan membahasnya"
Namjoon melirik Jimin yang tengah menatap keluar jendela. "Kalau begitu, bagaimana dengan ini?"
Jimin sedikit terheran dan reflek menoleh pada Namjoon yang tiba-tiba saja melajukan mobilnya dengan kencang. Memang jalanan sepi, tapi kebut-kebutan di jalan sama sekali bukanlah gaya Namjoon.
Sepertinya tidak butuh waktu lama agar Jimin menyadari sesuatu. Didepan sana, ada seseorang yang terlihat tengah melamun ingin menyeberang jalan.
Seolah menikmati deru mobilnya yang semakin menjerit kencang, Namjoon hanya menatap lurus pada jalanan didepannya. "Kau yakin, Jimin?"
Sementara itu, Jimin hanya menghembus nafas jengah. Tinggal beberapa meter lagi, hingga tubuh itu akan mengenai moncong mobil yang mereka kendarai.
Semakin dekat dan bertambah dekat, hingga...
Namjoon menghentikan mobilnya dengan mengerem mendadak setelah melewati beberapa meter dari tempat penyeberang tadi berada. "Cih... Itu yang kau sebut tidak peduli?", sarkasnya entah pada siapa. Karena yang terjadi, Jimin sudah tidak ada di kursi penumpang, dan meninggalkan pintu mobil yang masih menganga terbuka. Namjoon tersenyum miring.
.
.
.Yoongi kaget bukan main, begitu sadar sinar lampu menyorotnya sangat dekat. Itu sorot lampu mobil, terlambat sudah untuknya menghindar. Yoongi hanya mematung di tengah jalan dengan segala ketakutan yang berkelebat diotaknya. Tubuhnya terlalu lambat untuk merespon ingin hati dan isi kepalanya. Yang ada ia hanya bisa pasrah kalau pun tubuhnya akan terhantam dan...
"Aargh...!", bunyi gedebuk pelan mengiringi teriakannya. Maniknya masih terpejam begitu ia merasakan sakit. Tapi ada yang aneh, Yoongi tidak merasakan sakit yang teramat sakit jika benar ia sudah tertabrak oleh mobil.
Apa tidak sesakit yang dirinya bayangkan ketika tertabrak mobil? Kenapa yang Yoongi rasakan hanyalah hawa malam yang bertambah dingin?
Dan juga... ia merasa seseorang tengah mendekapnya.
Memilih membuka mata dan menengadah, Yoongi menyadari jika ia memang tengah berada dalam pelukan seseorang. "Uh?", sontak melepaskan diri.
"Kau memilih waktu dan tempat yang tepat untuk bunuh diri. Apa sebegitunya kau sudah putus asa?"
Mengerjap beberapa kali, "Eung? Jimin—apa yang kau lakukan disini?", setengah kosong, Yoongi masih disorientasi dengan apa yang ia alami barusan.
"Ck!", Jimin yang berdecak, langsung berdiri. "Seharusnya aku yang bertanya", berkacak pinggang seraya menatap Yoongi dari sudut matanya. "Berkeliaran malam-malam. Kau tahu ini jam berapa, hah?"
Yoongi mengerjap lagi, ia masih berusaha mengumpulkan kesadarannya. "Oh...", ucapnya pelan. Baru ingat jika tadi dirinya yang kelaparan berniat mencari makan, tapi yang ia dapat adalah kejadian tak terduga ini.
"Lebih baik kau pulang. Ini hampir pagi"
Suara Jimin mengalihkan atensinya lagi. Yoongi sontak saja bangun dari duduknya. Jimin telah menyelamatkan dirinya.
Dengan patuh dan langsung menurut, Yoongi hendak berbalik dan menjauh ketika menyadari jika kakinya terluka. Ia nyaris terjungkal dan jatuh jika saja Jimin tidak dengan cepat menangkap dan menahannya agar tidak terjerembab. "—Uh?!"
Jimin terdengar mendengus, sesaat setelah menoleh pada kaki Yoongi. "Kau selalu merepotkan"
Yoongi membelalak tak terima, namun ketika ingin menepis tangan Jimin yang menahan pinggangnya. Tangan lelaki itu malah semakin mengerat. "Jika aku merepotkan, sebaiknya kau pergi saja—"
"Dan mudah tersinggung"
"Apa?!", Yoongi benar-benar tak habis pikir. "Kalau begitu lepaskan aku!", teriaknya berusaha memberontak.
"Kau pemarah"
"Yak!", teriak Yoongi benar-benar marah.
"Benarkan...", kekeh Jimin kemudian.
Yoongi jelas bingung, Jimin terlihat aneh. "Astaga!?", tanpa diberi aba-aba, tubuhnya sudah melayang berada dalam gendongan Jimin. Salahkan saja reflek tangannya yang memilih mengalung dileher si pemuda karena takut jatuh. Yoongi hanya menatap Jimin antara heran dan canggung. "Jimin..."
"Kakimu terluka", langkahnya yang ringan, teriring oleh suara sepatunya yang membelah kesunyian malam. Masih memilih memandang lurus jalan setapak didepannya, "Kau menghindari ku akhir-akhir ini", ujarnya tanpa disangka.
Yoongi terhenyak saat mendengarnya. Rahangnya mengatup rapat, ia menunduk dalam diam.
"Aku tidak akan menyalahkanmu, jika memang itu pilihanmu", Jimin kembali berujar, suaranya mengalun lirih terdengar sendu. "Maafkan aku karena telah menyembunyikannya selama ini", senyum penuh penyesalan terukir tipis.
Yoongi memejamkan mata, ada gejolak yang mendesak dadanya hingga terasa sesak. Seluruh beban seolah menumpu dikedua pundaknya. Masalah yang belakangan ini ia dihadapi, nyaris membuatnya setengah gila. Banyak hal yang berhasil mengusik harinya, termasuk sosok pemuda yang tengah mendekapnya saat ini.
Tanpa sadar tangannya semakin mengalung begitu erat. Aroma yang beberapa hari terakhir ini yang sangat ingin ia hirup. Dekapan seperti ini yang selalu menghantuinya dalam rindu. Pria ini juga yang selalu terbayang dalam ruang pandang disetiap kali ia terjaga.
Jimin tersenyum. "Merindukanku, heoh?", suara kekehan menyapa pendengaran.
Yoongi menggeleng didada Jimin.
"Kalau begitu kenapa harus menangis?"
Ya... Yoongi menangis dengan isakan lirih. "Kau bodoh!"
Jimin semakin terkekeh keras.
"Jimin bodoh!"
Tak berlangsung lama, kekehannya terhenti. "Hmm... Aku memang bodoh, Yoon. Maafkan aku"
Yoongi yang mendengarnya hanya bisa menangis kencang. Jimin benar-benar membuatnya tak karuan. Bagaimana sosok itu telah bertengger dan mendominasi hatinya, ternyata bisa mengendalikan seluruh semestanya. "Aku membencimu, Park Jimin bodoh!"
Sementara itu, Jimin hanya memilih tersenyum dan melanjutkan langkahnya untuk membelah keheningan malam. 'Tak masalah kau membenciku, asal jangan pernah meninggalkanku', batinnya melirih.
[] []
Masih membuka vote dan komen.😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Minyoon
Fanfiction(One-double shot) Jujur... aku menyukai Taegi sama Kookga. Suka sama interaksinya mereka. Tapi, entah kenapa... dan tak tahu alasannya... Aku tetap gak bisa move on dari yang namanya Minyoon. Dan terciptalah ide ini. Isinya drabble Minyoon. Disetiap...