#Fiksi-Fantasi
.
.
.
.
."Berhentilah menatapnya, seakan kau ingin mengulitinya hidup-hidup", celetuk Namjoon tanpa mengalihkan fokusnya pada sepiring makanan dihadapannya. Dia kembali menyuap dengan khidmat demi mengatasi rasa lapar yang melanda perutnya.
Jimin melirik sinis, sebelum berucap. "Aku membencinya", suaranya mendesis tipis bersama udara.
Namjoon tersenyum miris, merasa lumrah dengan sikap dingin yang Jimin tunjukkan akhir-akhir ini. "Kuakui dia jenius", pancing Namjoon. Sekilas dia menoleh kesamping, hanya untuk melihat bagaimana reaksi yang diberikan oleh Jimin. "——Ya... ya... ya kau juga jenius", ralatnya segera, setelah mendapat tatapan tajam dari Jimin. "Tapi sayang... kau kalah darinya", lanjut Namjoon tak jera. Dia tidak menghiraukan rupa kecut sang sahabat yang siap membunuhnya kapan saja.
Jimin menghela nafas kasar. Percuma saja berbicara dengan Namjoon, mood-nya malah semakin bertambah hancur. "Aku hanya perlu menyingkirkannya saja"
"Lalu berakhir menghadapi para profesor dan kepala sekolah?", Namjoon belum berhenti mengunyah. "Kau tahu?", menunjuk wajah Jimin dengan sendoknya. "Dia anak emas di setiap mata pelajaran yang diajarkan oleh para profesor, dia murid kesayangan..."
"Apa kau ingin mengatakan bahwa aku, tidak?", balas Jimin dengan ketus, dia telak tak terima.
"Kau juga, Jimin... kau juga! Aish... kau ini!", sekarang ganti Namjoon yang mengerutu. Sebenarnya dia hanya ingin bercanda sekaligus berniat menghibur. Tapi nyatanya, Jimin benar-benar tidak bisa dan tidak ingin untuk dihibur.
Dasar payah...
Aula utama sudah disulap menjadi ruang makan dengan berderet-deret meja panjang yang seluruhnya penuh oleh makanan.
Aula utama atau sering disebut dengan aula besar itu sendiri merupakan tempat utama berkumpulnya seluruh penghuni sekolah saat ada acara tertentu seperti upacara penerimaan siswa baru dan pesta lainnya. Murid-murid bisa duduk dalam ruangan ini sambil menunggu paket atau surat datang dari burung hantu mereka masing-masing.
Aula besar memiliki ruang yang cukup untuk menampung seluruh siswa sekolah, karyawan, bahkan tamu dari sekolah lain sekalipun. Dindingnya sangat tinggi, sedangkan bagian langit-langit ruangan ini digambarkan dengan langit siang atau langit malam sesungguhnya. Tak hanya itu, bagian bawah langit-langit pun dihiasi dengan lilin yang terlihat mengambang di udara. Dibagian depan aula besar terdapat meja panjang tempat untuk karyawan. Dibagian tengah meja panjang tersebut terdapat kursi khusus (tempat sang kepala sekolah). Mesin penghitung house points juga berada dibagian depan ruangan ini.
Sekarang aula tersebut sudah nyaris penuh dengan murid-murid yang mulai berdatangan. Seperti biasa, kali ini pasti juga akan sangat berisik.
.
.
.
.
."Sebaiknya kau menggunakan cara lain jika memang berniat untuk menyingkirkannya", bisik Namjoon memberi ide.
Jimin menyipit, seakan mempertimbangkan usulan Namjoon. "Kurasa idemu tidak akan lepas dari hal-hal yang tidak masuk akal"
"Ck! Dengar dulu", potongnya. "Kau hanya perlu mendekatinya, mengetahui kelemahannya dan boom!! Kau bisa menghancurkannya dengan itu", Namjoon tersenyum miring menatap Jimin. Seolah merasa bangga dengan usulannya barusan.
Jimin memutar maniknya. "Itu hanya akan terjadi dalam mimpimu, Kim. Karena aku masih memiliki rasa kemanusiaan", jawabnya jengah. "Lagipula aku tak akan sudi melakukannya"
"Eeiii... Hati-hati dengan ucapanmu, Park", balas Namjoon tak ingin kalah. "Kau bahkan belum mencobanya"
"Aku tidak mau dan tidak akan pernah mau. Jadi berhenti memprovokasi ku dengan pikiran-pikiran licikmu"
Namjoon menghela nafas, kini piringnya sudah bersih. "Kalau begitu, tetap simpan dia dalam otakmu, Jim. Maka yang akan kau dapat adalah kau yang benar-benar jatuh cinta padanya", kekeh Namjoon mencibir. "Kau harus ingat, jika benci dan cinta itu adalah dua hal bertolak belakang tapi tak bisa dipisahkan. Mereka saling berdampingan untuk saling mengisi dan melengkapi", seulas senyumnya terukir penuh makna.
"Lalu apa tujuanmu menyuruhku mendekatinya?", Jimin terheran sekaligus bingung dengan jalan pikiran Namjoon saat ini.
"Hn?", Namjoon mengangkat sebelah alisnya kemudian menyeringai. Seringkali apa yang Namjoon pikirkan terlalu sulit untuk Jimin tebak. "Tidak semua yang kau anggap buruk itu selalu buruk dihadapanmu, Jim. Begitu pula sebaliknya. Kau selalu berpikiran negatif tentangnya karena kau tidak mengenalnya", Namjoon menjelaskan panjang lebar. "Kau perlu mengenal seseorang jika kau ingin menilai seperti apa orang tersebut", Namjoon mengendikkan dagu sekilas kearah objek obrolan mereka.
Jimin reflek ikut menoleh. "Hn? Seokjin?", tanyanya terheran.
"Yups... Seokjin dan Yoongi sudah berteman sejak beberapa waktu yang lalu. Kau tahu? Kenapa Yoongi seringkali terlihat sendiri dan terkesan tidak memiliki teman?"
"Apa?", sahut Jimin cepat-cepat.
"Parseltongue", suaranya berubah melirih. "Dia tidak sengaja menunjukkan kemampuannya di pelajaran pertahanan terhadap ilmu hitam. Mulai saat itu, Yoongi mulai dijauhi teman-temannya", Namjoon mengulum bibir kemudian menggeleng samar, seakan tidak setuju dengan hal tersebut.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Yoongi yang bisa berbicara dengan ular, sudah menjadi rahasia umum, Jim. Itu sudah terjadi sejak di tahun pertama dia masuk Hogwarts"
Jimin masih berkerut dahi.
"Pelatihanmu di Kementrian terlalu memakan waktu, jadi kau ketinggalan berita", tambah Namjoon. "Kau tahu kan, Parseltongue selalu dihubungkan dengan sihir hitam? Maka dari itu, banyak yang mengira jika Yoongi merupakan keturunan Voldemort. Ck! Mereka hanya menyimpulkan sesuatu tanpa memiliki landasan kebenaran", Namjoon berdecak tak sependapat.
Jimin kembali mengarahkan maniknya kearah sang objek berada. Seokjin dan Yoongi sedang bercengkrama, sesekali Jimin melihat Seokjin yang tertawa lepas seakan tak menghiraukan beberapa pasang mata yang menatap mereka aneh dan risih. Berbeda dengan Seokjin, terkadang Yoongi hanya tersenyum tipis tanpa respon berarti.
Yoongi memang terlihat dingin jika disandingkan dengan Seokjin yang ceria.
"Seharusnya kalian mengenalnya terlebih dulu"
"—Kalian?", lagi-lagi Jimin dibuat terheran.
"Iya, kalian. Kalian yang hanya memandangnya dari satu sisi, bukan dari beberapa sisi yang mungkin akan membuat kalian tak pernah menyangka dengan kenyataan yang sebenarnya", setelah berucap, segera saja Namjoon berdiri. Disempatkan melirik Jimin dari susut maniknya. "Atau mungkin... terpesona", lagi. Namjoon tersenyum penuh arti kearah Jimin yang menatapnya sangsi.
Jimin menggeleng pelan, sama sekali tak mengerti dengan apa yang telah Namjoon katakan.
Namjoon mencibir dalam dengusan. "Aku duluan", pamit Namjoon menepuk dua kali pundak Jimin, sebelum dirinya beranjak pergi.
Jimin yang masih menatapi kepergian Namjoon, berakhir membelalakkan mata begitu tahu jika Namjoon malah menghampiri Yoongi—tidak! Bukan Yoongi. Namjoon menghampiri Seokjin tapi kan... mereka duduk bersebelahan, jadi?
Kedua alis Jimin masih menukik tajam dengan maniknya yang tak mau lepas dari ketiga objek diseberang sana.
Mereka nampak akrab tanpa mau repot-repot acuh pada keberadaan lautan manusia yang lain.
.
.
.Lama dalam diam dengan seluruh perhatiannya pada sosok Yoongi. Jimin terperangah, begitu dirinya berhasil menemukan sesuatu yang menurutnya semakin mengganggu ketenangannya.
Yoongi yang tersenyum adalah satu hal yang efeknya tak pernah Jimin sangka.
Entah kenapa senyum sederhana yang tulus itu, nampak begitu manis dimata Jimin?
Perpaduan yang indah tatkala dingin dan manis saling menyapa.
Hingga membuat Jimin terhenyak dalam bimbang.
.
.
.
.
.Voment jusseyo~
KAMU SEDANG MEMBACA
Minyoon
Fanfic(One-double shot) Jujur... aku menyukai Taegi sama Kookga. Suka sama interaksinya mereka. Tapi, entah kenapa... dan tak tahu alasannya... Aku tetap gak bisa move on dari yang namanya Minyoon. Dan terciptalah ide ini. Isinya drabble Minyoon. Disetiap...