Dua garis merah yang terpampang jelas pada alat tes kehamilan membuat Meira membeku sesaat. Dadanya mendadak terasa begitu sesak. Ia berharap apa yang dilihatnya hanyalah fatamorgana. Akan tetapi, sekali lagi ia memperhatikan tespack itu tetap sama saja. Ia meremas benda tersebut, lalu membuangnya ke lantai secara asal.
Beberapa hari ia menduga-duga karena masa menstruasinya sudah lewat dua pekan ditambah belakangan ini sering mual dan muntah. Akhirnya ia meminta pembantu untuk membelikan alat tes kehamilan.
Ia menggigiti ujung kuku jari manisnya untuk sedikit mengusir kegelisahannya. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, lalu melangkah pelan ke wastafel.
Ia memandangi dirinya yang menyedihkan di cermin beberapa detik. Tangannya yang gemetar meraba perutnya. Mendung bergelayut di kedua matanya yang sayu, tak berapa lama setelah itu air mata berguguran. Ia melangkah pelan, menyalakan shower membiarkan tubuhnya basah.Tangisnya semakin menjadi-jadi seiring suara air dari shower. Ia terduduk di lantai dengan bahu berguncang. Rasa pusing tiba-tiba menyapa dan pandangannya mulai kabur.
"Bunda!" panggil Clarissa. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan bercat merah muda itu mencari sosok wanita yang begitu dicintainya, tetapi tidak ada.
Clarissa mendengar suara air mengalir. Ia pun turun dari ranjang dan mengetuk pintu kamar mandi. Namun, sudah lebih tiga kali ia mengetuk pintu sembari memanggil sang bunda, tak ada sahutan dari dalam. Ia meringis karena ingin buang air kecil segera mungkin.
"Bunda, Clarissa mau pipis!" Clarissa berkata dengan cukup keras. Akan tetapi tak ada jawaban.
Clarissa sudah tidak tahan sehingga mencoba menggerakkan gagang pintu, ternyata tidak dikunci. Ia terbelalak ketika melihat Meira terbaring di bawah guyuran air.
Clarissa berteriak sambil menangis karena panik. Ia memanggil-manggil bundanya yang tidak sadarkan diri.
"Ada apa?" Seorang pria mengenakan kimono handuk berwarna biru tua muncul di depan kamar mandi. Ia terkejut melihat Meira pingsan. Tanpa pikir panjang segera ia angkat tubuh yang kuyup itu, membawanya ke ranjang.
"Meira ...." Revan memanggil dengan pelan. Ia sedikit membungkuk ingin membenarkan posisi kepala Meira di atas bantal, tetapi belum sempat melakukannya wanita di hadapannya itu perlahan membuka mata.
Kesadaran Meira yang berangsur-angsur pulih menyadari kini berada dalam posisi yang cukup dekat dengan Revan. Sekuat tenaga yang dimiliki, ia mencoba menepis tangan pria itu yang nyaris menyentuh kepalanya. Ia menggeser tubuhnya agar menjauh dari Revan.
Menyadari ketakutan yang menggelayut di kedua mata Meira, pria itu beranjak dari sisi ranjang. Mendadak dadanya begitu sesak saat melihat Meira duduk dan menutupi tubuhya yang menggigil dengan selimut.
"Tenang, Mei. Aku hanya ingin membantumu." Revan berusaha berujar dengan suara lembut.
"Pergi ...!" usir Meira.
"Aku ... suamimu." Revan berucap pelan.
Meira merasa tersiksa saat mendengar ucapan Revan barusan. Ia tidak suka mendengar penegasan tersebut.
"Pergi!" teriak Meira.
Clarissa yang telah selesai dari kamar mandi kembali terkejut karena menyaksikan Meira berteriak mengusir Revan. Ia mematung di depan pintu. Bocah itu tidak mengerti apa yang tengah terjadi di antara bunda dan ayahnya.
Meira berhenti berteriak karena menyadari Clarissa sedang memperhatikannya. Ia memegang erat-erat, berusaha mengendalikan amarahnya demi Clarissa.
Revan mengembuskan napas. Ia menoleh ke arah Clarissa sesaat, kemudian pergi dengan perasaan yang kacau. Sempat ia menatap Meira sekilas sebelum menutup pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Tanpa Mahkota
General FictionBagaimana rasanya jika menikah dengan orang yang telah merenggut kehormatanmu?